Site icon PinterPolitik.com

Operasi Bawah Tanah Jokowi

oig3 (24)

Jokowi dan Banteng (Foto: generated using AI)

Dengarkan artikel ini:

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/12/jokowi-1-jx4aatkl.mp3
Audio dibuat dengan menggunakan AI.

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia politik Indonesia diguncang oleh isu yang cukup kontroversial: dugaan keterlibatan Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya mengambil alih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Isu ini mencuat menjelang Kongres PDIP yang direncanakan akan digelar pada tahun 2025. Gonjang-ganjing ini menjadi perbincangan hangat seiring dengan rumor bahwa Jokowi ingin menggantikan beberapa elite partai, salah satunya Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, yang dikenal kerap melontarkan kritik pedas terhadap Jokowi.


PinterPolitik.com

Hubungan antara Jokowi dan PDIP memang penuh dinamika. Sebagai salah satu kader terbaik partai banteng, Jokowi berhasil meraih jabatan Presiden Republik Indonesia selama dua periode. Keberhasilan ini tentu tak lepas dari dukungan penuh PDIP. Kalau mau diukur dari tingkat pencapaian posisi politik itu, Jokowi bisa dibilang lebih unggul dari Megawati Soekarnoputri yang hanya jadi presiden selama 3 tahun.

Hal inilah yang membuat Jokowi kerap dianggap sebagai salah satu kader paling sukses yang pernah dimiliki PDIP dan Megawati.

Namun, tak dinyana, hubungan keduanya mulai merenggang ketika Jokowi dinilai lebih memilih langkah-langkah pragmatis yang bertentangan dengan garis ideologis partai. Jokowi juga seolah ingin keluar dari bayang-bayang status sebagai “petugas partai” yang kerap membelenggunya.

Hal ini makin memuncak di Pilpres 2024, ketika Jokowi malah mendukung Prabowo Subianto – lawan politik PDIP. Bahkan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka didorong menjadi cawapres Prabowo. PDIP akhirnya terpuruk dan terus menjadi “musuh” Jokowi pasca kalah dalam gelaran kontestasi elektoral itu.

Walaupun demikian, banyak yang tetap menilai bahwa pengaruh Jokowi masih sangat kuat di internal PDIP. Bahkan, tidak sedikit kader PDIP yang menjadi loyalis Jokowi.

Makanya, ketika kritik tajam datang dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto misalnya, yang kerap menyoroti kebijakan-kebijakan Jokowi, banyak pihak menilai ini jadi bukti nyata adanya friksi di internal partai.

Hasto bahkan secara terbuka mengkritik beberapa kebijakan ekonomi Jokowi yang dianggap tidak sesuai dengan visi kerakyatan PDIP. Inilah dasar-dasar spekulasi yang kemudian berkembang bahwa Jokowi tengah merancang strategi untuk menggantikan Hasto dengan sosok yang lebih sejalan dengannya.

Seperti apa konflik ini dimaknai?

Kader Loyalis Jokowi

Di tengah konflik ini, muncul fakta bahwa Jokowi masih memiliki pengaruh kuat di kalangan kader dan simpatisan PDIP. Banyak di antara mereka yang menganggap Jokowi sebagai simbol kesuksesan partai, mengingat ia adalah satu-satunya kader PDIP yang berhasil memimpin Indonesia selama 10 tahun. Loyalitas ini menjadi modal penting bagi Jokowi jika benar ia ingin merebut kendali partai.

Namun, langkah PDIP yang secara terbuka mengumumkan pemecatan Jokowi dianggap sebagai upaya untuk mengurangi legitimasi sang mantan presiden. Pemecatan ini juga dibaca sebagai langkah strategis untuk mengonsolidasi kekuatan di internal partai, mengingat kemungkinan adanya faksi-faksi yang mendukung Jokowi.

Jokowi bereaksi secara halus dengan menyebut “biarkan waktu yang menjawab” terkait pemecatannya tersebut. Kata-kata ini menjadi sangat multi-interpretatif: bisa bermakna bahwa ia menerima pemecatannya dan memberikan bola ke PDIP yang mungkin akan mengalami kerugian secara politik – mengingat pengaruh Jokowi masih besar – atau bisa bermakna bahwa akan ada reaksi dari Jokowi terkait kebijakan itu.

Untuk memahami fenomena ini, teori elite yang dikemukakan oleh Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca dapat memberikan pencerahan. Pareto menyatakan bahwa pergantian elite adalah fenomena alami dalam politik.

Dalam konteks ini, Jokowi dapat dilihat sebagai elite lama yang mencoba mempertahankan kekuasaannya dengan cara merebut kendali PDIP. Di sisi lain, Mosca menyoroti bahwa kekuatan elite terletak pada kemampuannya untuk mengorganisasi dan mengontrol massa. PDIP, sebagai organisasi politik, tentu memiliki mekanisme untuk melindungi dirinya dari ancaman internal maupun eksternal.

Selain itu, teori hegemonik Antonio Gramsci juga relevan untuk menganalisis upaya Jokowi. Gramsci menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya ditentukan oleh dominasi fisik, tetapi juga oleh hegemoni ideologis. Dalam hal ini, Jokowi tampaknya mencoba membangun hegemoni baru di PDIP dengan memanfaatkan pengaruhnya sebagai mantan presiden dan dukungan loyalisnya.

Apa Strategi Jokowi? Apa Strategi PDIP?

Jika benar Jokowi ingin mengambil alih PDIP, langkah-langkah strategis yang mungkin ia ambil antara lain adalah membangun koalisi di internal PDIP. Jokowi perlu menggalang dukungan dari kader-kader yang loyal dan memiliki pengaruh di daerah. Ini akan sangat sulit karena yang ia hadapi adalah Megawati yang notabene adalah Ketua Umum sekaligus elite utama partai itu.

Jokowi juga bisa mendekati figur kunci PDIP. Bukan rahasia kalau beberapa elite PDIP – misalnya Puan Maharani – cenderung memiliki hubungan yang baik dengan Jokowi. Jokowi juga bisa menjalin hubungan dengan elite-elite partai yang tidak puas dengan kepemimpinan Mega saat ini.

Faktor media juga sangat penting. Jokowi bisa menggunakan media untuk membangun narasi bahwa perubahan di PDIP adalah hal yang diperlukan demi keberlanjutan partai. Ini bisa melahirkan tekanan eksternal bagi partai. Jokowi bisa memanfaatkan pengaruh politiknya di luar PDIP untuk menciptakan tekanan terhadap kepemimpinan partai saat ini.

Di sisi lain, PDIP juga memiliki strategi untuk melawan upaya Jokowi. Sebagai partai yang sudah matang secara organisasi, PDIP memiliki struktur yang solid untuk menghadapi ancaman internal. Salah satu langkah penting yang sudah diambil adalah pengumuman pemecatan Jokowi, yang bertujuan untuk mempertegas garis ideologis partai dan menghilangkan legitimasi politik sang mantan presiden.

Pada akhirnya, Megawati Soekarnoputri, sebagai Ketua Umum PDIP, memainkan peran kunci dalam konflik ini. Dengan otoritas tradisional yang dimilikinya, Megawati dapat dengan mudah mengonsolidasikan kekuatan partai untuk melawan upaya pengambilalihan dari Jokowi.

Konsep “otoritas tradisional” yang dikemukakan oleh Max Weber sangat relevan dalam konteks ini, di mana kepemimpinan Megawati didasarkan pada warisan sejarah dan kepercayaan kader terhadap nilai-nilai yang diusungnya.

Bagaimanapun juga, konflik antara Jokowi dan PDIP tidak hanya berdampak pada internal partai, tetapi juga pada dinamika politik nasional. Sebagai salah satu partai terbesar di Indonesia, perubahan kepemimpinan di PDIP dapat memengaruhi peta politik nasional. Jika Jokowi berhasil mengambil alih PDIP, maka ia dapat menggunakan partai tersebut sebagai kendaraan politik untuk tetap berpengaruh di pemerintahan, meskipun masa jabatannya sebagai presiden telah berakhir.

Sebaliknya, jika PDIP berhasil mempertahankan kepemimpinannya, maka partai ini akan semakin solid dalam menghadapi tantangan politik di masa depan. Namun, risiko perpecahan di internal partai tetap ada, mengingat banyaknya loyalis Jokowi di PDIP.

Apakah Jokowi mampu mengambil alih PDIP? Jawabannya masih sangat bergantung pada dinamika internal partai dan langkah-langkah yang diambil oleh kedua belah pihak. Jika Jokowi berhasil memanfaatkan pengaruhnya dan membangun koalisi yang kuat, maka peluangnya cukup besar. Namun, dengan struktur organisasi PDIP yang solid dan kepemimpinan Megawati yang kuat, upaya Jokowi tentu tidak akan mudah.

Dalam konteks teori Pareto, Mosca, dan Gramsci, konflik ini mencerminkan perjuangan antara elite lama dan elite baru, serta upaya untuk menciptakan hegemoni ideologis di dalam partai. Apapun hasilnya, konflik ini akan menjadi salah satu episode penting dalam sejarah politik Indonesia, yang akan menentukan arah PDIP dan peran Jokowi di masa depan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

Exit mobile version