Site icon PinterPolitik.com

Operasi Bawah Tanah Hantui Megawati?

jokowi megawati

Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo. (Foto: Kompas)

Target meraup suara kaum muda digaungkan di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP yang secara kepemimpinan justru kontras dengan upaya representasi ceruk pemilih tersebut. Lantas, seberapa mendesak regenerasi Ketua Umum (Ketum) Megawati Soekarnoputri saat ini?


PinterPolitik.com

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP telah berlangsung sejak 21 Juni lalu dan rencananya akan berakhir hari ini. Acara yang bertempat di Jakarta itu dihadiri petinggi partai dan sejumlah sosok kunci.

Selain Ketua Umum (Ketum) Megawati Soekarnoputri dan sang putri yang juga Ketua DPP PDIP Puan Maharani, Rakernas turut dihadiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, serta Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan.

Secara umum, rapat partai banteng membahas strategi pemenangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, khususnya mengenai struktur dan kerangka operasional pemenangan. Satu yang menarik tak lain adalah soal calon presiden (capres) yang akan diusung mengingat PDIP seolah tertinggal dari partai politik (parpol) lain terkait hal itu.

Salah satu upaya memenangkan pemilu yang digemakan di Rakernas adalah menyasar suara kelompok usia muda. Ihwal itu menjadi penekanan kader PDIP Bane Raja Manalu saat menjadi narasumber dalam Rakernas kemarin.

Menengok ke Pemilu 2019, Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu serentak kala itu menunjukkan bahwa pemilih berusia 20 tahun mencapai 17.501.278 orang, sedangkan yang berusia 21-30 tahun sebesar 42.843.792 orang.

Sementara untuk Pemilu 2024, jumlah pemilih milenial dan generasi Z diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 60 persen dari total suara pemilih. Tentu, data statistik ini sebuah sangat menggiurkan bagi aktor politik yang akan berkontestasi kelak.

Akan tetapi, target PDIP untuk mengkapitalisasi ceruk pemilih muda kiranya bertolak belakang dengan bagaimana kepemimpinan dan gestur politik mereka saat ini.

Sebagai personalized party atau parpol yang mengutamakan ketokohan satu figur, sosok kawakan Megawati dan gaya kepemimpinannya seolah kurang mendapat respons positif dalam sejumlah kesempatan.

Pernyataan maupun intensi candanya berulang kali justru menjadi bahan kritik dan gurauan dari para netizen yang didominasi kelompok muda. Teranyar, lelucon Megawati di Rakernas yang tidak mau menantu tukang bakso dan “kopi susu” mendapat reaksi minor dari rakyat linimasa.

Di titik ini, rangkaian sentimen kurang positif itu agaknya memiliki korelasi dengan urgensi ceruk pemilih suara kaum muda yang kian mendominasi plus urgensi lainnya dari internal PDIP dalam hal regenerasi yang tak menutup kemungkinan dapat memperbaiki citra partai.

Akan tetapi, “daya magis” dan kekuatan putri Presiden RI pertama Soekarno itu tampak masih terlalu tangguh untuk digantikan. Bahkan, prospek penggantinya pun diperkirakan tak jauh-jauh dari nama Puan Maharani.

Lantas, apakah mustahil PDIP dipimpin oleh trah non-Soekarno atau non-Megawati?

Trah Jokowi Balikkan Mitos?

Diskursus mengenai pengganti Megawati dalam kepemimpinan PDIP kiranya memang bukanlah barang baru. Akan tetapi, membahas siapa pengganti beliau dari non-trah Soekarno atau selain ahli waris Megawati sepertinya menjadi hal tabu di internal partai, paling tidak sejak peristiwa kerusuhan dua puluh tujuh Juli (Kudatuli).

Kala itu, PDIP yang masih bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berhasil melengserkan Megawati dari kursi pimpinan melalui kongres luar biasa (KLB) pimpinan Soerjadi yang berlangsung pada 22 Juni 1996 di Medan, Sumatera Utara.

Upaya pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat lantas berujung kekerasan tak terhindarkan. Markas yang saat itu dikuasai pendukung Megawati diserbu oleh massa pendukung Soerjadi. Sikap kritis Mega kepada rezim Soeharto ditengarai kuat menjadi penyebab kudeta PDI.

Kendati demikian, massa partai tampak lebih loyal kepada kepemimpinan Megawati dan terlihat dari hasil Pemilu 1997 yang mencatatkan penurunan suara secara drastis PDI pimpinan Soerjadi.

Pasca Soeharto tumbang dan Pemilu 1999 dilangsungkan, PDI Megawati berubah nama menjadi PDI Perjuangan (PDIP) serta berhasil memenangkan pemilu. Sejak saat itulah kiranya, karakteristik personalized party yang disinggung Indonesianis Marcus Mietzner tersemat pada PDIP.

Kendra Cherry dalam tulisannya Autocratic Leadership: Key Characteristics, Strengths, and Weaknesses menyebut bahwa gaya kepemimpinan autocratic atau otokratis ditandai dengan sosok pemimpin yang mengontrol semua keputusan tanpa dipengaruhi anggota kelompok.

Karakteristik autocratic leadership dalam personalized party itu yang kiranya menasbihkan semacam “mitos” bahwa Megawati dan trah-nya sulit untuk tergantikan dalam aspek kepemimpinan.

Dalam sebuah publikasi di The Economist berjudul Dynasties, konsep family power muncul untuk melihat fenomena dinasti politik, yang nyatanya dalam realita politik dan pemerintahan di berbagai belahan dunia, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Mulai dari “marga” Clinton dan Bush di Amerika Serikat, ketokohan Trudeau di Kanada, hingga kecenderungan serupa di Filipina, menggambarkan bagaimana family power bekerja dan memperoleh kekuatan esensial dari spotlight atau publisitas.

Nah, yang menarik dalam konteks PDIP saat ini, selain trah-Soekarno ada satu lagi yang mendapat panggung kekuasaan dan spotlight, yakni trah-Jokowi yang diteruskan oleh sang putra Gibran Rakabuming Raka yang menjadi Wali Kota Solo.

Sayangnya, Presiden Jokowi kerap dilabeli oleh elite internal PDIP sebagai sosok yang hanya petugas partai. Terbaru, dalam agenda Rakernas, mantan Gubernur DKI Jakarta itu dinilai oleh khalayak kurang mendapat penghormatan etis sebagaimana mestinya seorang Presiden kala tertangkap kamera duduk di hadapan Megawati, tetapi Puan justru sibuk membuat vlog di ruangan yang sama.

Namun, mengacu pada konsep sirkulasi elite dari filsuf Italia, Vilfredo Pareto, cepat atau lambat Megawati akan lengser dari pucuk pimpinan PDIP. Termasuk pula berbagai aktor penyokongnya.

Lantas, mungkinkah sosok Jokowi menghimpun kekuatan bawah tanah untuk melakukan probabilitas pembalasan itu pada PDIP? Atau dalam derajat ekstremnya yakni melakukan “kudeta”?

Sebagai seorang Presiden, jika menginginkannya, bukan tidak mungkin Jokowi bisa saja memanfaatkan koneksi relawan hingga militer yang telah dibangunnya selama ini untuk menggagas operasi rahasia mengambil alih PDIP sepeninggal Megawati.

Namun, apakah hal itu memungkinkan?

PDIP Partai Beringin?

Jawabannya dari pertanyaan terakhir yang mengemuka kiranya bisa saja. Akan tetapi skenario radikal itu agaknya hampir mustahil untuk terjadi saat ini. Mengapa demikian?

Berdasarkan telaah dari tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik, PDIP merupakan parpol simbolis yang memiliki cara kerja layaknya pohon beringin.

Jika dilihat dari jauh akan terlihat besar, dan jika dari dekat akan tampak karakteristik akar yang merepresentasikan kader, batang yang mewakili para pemilik modal, serta dahan serta daun yang mewakili ahli taktik dan strategi partai.

Selain itu, Francis Fukuyama dalam bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century mengatakan bahwa individu-individu dalam organisasi memiliki rasionalitas yang terbatas.

Itu pula yang agaknya terjadi pada PDIP. Partai membutuhkan simbolisasi dan “mitos” sosok berdarah Soekarno, bukan karena tidak rasional, melainkan tanpanya PDIP berpotensi mengalami disintegrasi.

Sri Iswidayati dalam The Function of Myth in Social Cultural Life of Its Supporting Community mengatakan mitos digunakan sebagai pegangan bagi individu dalam suatu kelompok untuk menciptakan persatuan membina kesetiakawanan sosial.

Berdasarkan sejarahnya, trah-Soekarno – atau dapat dikatakan trah Megawati – dapat dikatakan merupakan the chosen one dalam grand design politik.

Dalam dinamika permulaan, nama Guntur Soekarnoputra semestinya lebih representatif dari aspek sosial-politik maupun religiositas untuk menjadi pemimpin mengingat dirinya adalah putra tertua Soekarno dan Fatmawati.

Akan tetapi dugaan adanya operasi intelijen di balik kemunculan Megawati di PDI pada tahun 1986-1987, hingga puncaknya pada naiknya ia sebagai Ketum pada 1993, membuat eksistensi Mega kiranya bukan skenario biasa.

Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Operasi Intelijen di Balik Lahirnya PDIP, telah dijabarkan bahwa berbagai aktor intelijen seperti Benny Moerdani, Hendropriyono, dan Syamsir Siregar merupakan sosok yang membantu Megawati menjadi Ketua Umum PDI. Ihwal ini kiranya yang membuat kiranya akar pohon Beringin beringin PDIP itu cukup sulit “membusuk” hingga kini.

Selain itu, kemungkinan operasi bawah tanah yang bisa saja dilakukan Jokowi agaknya tak menemui relevansinya. Hal itu berkaca pada riwayat kegagalan “kudeta” Partai Demokrat beberapa waktu lalu, serta personalitas politik Jawa mantan Wali Kota Solo itu yang mengutamakan harmoni.

Oleh karena itu, akan cukup menarik untuk menantikan seperti apa regenerasi dalam konteks sirkulasi elite di PDIP setelah Megawati kelak. (J61)

Exit mobile version