Dalam pidato pelatikannya, Presiden Jokowi memaparkan lima program kerja utama pemerintah untuk lima tahun ke depan. Salah satu program tersebut adalah pembentukan Undang-Undang (UU) besar alias “omnibus law” yang secara spesifik disebut Jokowi akan hadir dalam bentuk UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Lalu mengapa omnibus law ini dibutuhkan?
PinterPolitik.com
Secara etiomologi, omnibus law berasal dari kata Bahasa Latin omnibus yang berarti semua atau untuk semua. Sementara menurut Marc Bosc and André Gagnon, omnibus law adalah suatu hukum yang bertujuan untuk mengamandemen, mencabut, atau menetapkan secara sekaligus beberapa hukum. Omnibus law ini juga terdiri atas beberapa inisiatif (aturan) terkait yang sebelumnya terpisah.
Terkait hal tersebut, dalam pidatonya, Jokowi mengatakan bahwa omnibus law yang nantinya ia terbitkan adalah satu UU yang sekaligus merevisi berberapa bahkan puluhan UU.
Tujuannya, menurut Jokowi, adalah untuk menyederhanakan, memotong, dan memangkas regulasi yang dilihatnya sebagai kendala ekonomi.
Praktik omnibus law ini sendiri belum pernah hadir dalam dunia hukum Indonesia, namun sudah dipraktikkan di beberapa negara lain seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia yang – menurut World Bank – digunakan secara efektif.
Kebutuhan Ekonomi
Bisa dipastikan bahwa kepentingan ekonomi menjadi salah satu alasan utama Jokowi untuk menerbitkan dua UU Besar ini.
Sebenarnya pada September 2019 lalu, kebutuhan akan omnibus law ini pernah disinggung atau mungkin bisa juga dikatakan disetujui oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Darmin Nasution, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman (Menko Kemaritiman) Luhut Binsar Panjaitan, dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Pada saat itu, ketiganya mengatakan bahwa pemerintah akan merombak 72 UU terkait perizinan investasi dengan skema omnibus law sebagai payung hukum baru.
Tujuan perombakan ini adalah untuk mempermudah dan mendorong investasi di Indonesia.
Ya, banyak pihak menilai bahwa Indonesia memiliki terlalu banyak regulasi.
Menurut data Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), saat ini Indonesia memiliki 42.688 regulasi mulai dari aturan di tingkat pusat seperti UU, hingga di level daerah seperti daerah (Perda).
Kondisi ini bahkan membuat pemerintah sendiri mengakui bahwa Indonesia mengalami “obesitas” regulasi.
Obesitas regulasi ini kemudian berdampak negatif salah satunya terhadap perekonomian Indonesia, yaitu terhambatnya pertumbuhan ekonomi.
Selain keperluan untuk mengurangi jumlah regulasi, pemilihan sektor lapangan kerja dan UMKM sebagai target deregulasi ini menjadi penting, mengingat peran sentral keduanya dalam perekonomian Indonesia.
Menurut data Kementerian Kooperasi dan UKM, 99,99 persen dari total pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM. Selain itu UMKM juga menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja nasional.
Kemudian, pada tahun 2018 lalu, 60 persen atau sekitar Rp 8.400 triliun Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia juga berasal dari UMKM.
Tidak berhenti di situ, bahkan menurut Arif Budimanta, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), UMKM menjadi kunci jika Indonesia ingin keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi 5 persen. Bahkan, lanjut Arif, jika memanfaatkan UMKM, ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih dari 7 persen setiap tahunnya.
Pertumbuhan ekonomi ini juga, secara teori, akan berdampak positif pada penyerapan tenaga kerja, di mana menurut pemerintah, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat membuka 350 ribu lapangan kerja baru.
Pemerintah sendiri menaikkan target penciptaan lapangan kerja baru dari 10 juta selama 2014-2019, menjadi 12,8 juta selama 2020-2024.
Kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi di atas lima persen ini juga berkaitan dengan target pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2045 dengan pendapatan per-kapita mencapai Rp 320 juta per-tahun, PDB US$ 7 triliun, kemiskinan mendekati nol persen, dan Indonesia masuk lima negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Selain kepentingan ekonomi masyarakat dan negara, perbaikan disektor ekonomi ini juga sarat akan kepentingan politik Jokowi itu sendiri.
Hal ini berkaitan dengan menurunnya tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi, di mana sektor ekonomi, termasuk lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi, menjadi salah satu sektor dengan tingkat kepuasaan terendah.
Keperluan untuk meningkatkan popularitas serta legitimasi periode pemerintahannya yang kedua melalui UU Cipta Lapangan Kerja dan Pemberdayaan UMKM dapat menjadi strategi yang tepat, mengingat kedua UU ini secara langsung mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Jokowi dan Hukum
Yang juga menarik adalah niat Jokowi untuk memangkas dan mengefisiensikan jumlah regulasi di Indonesia.
Pada debat pertama Pilpres 2019 lalu, Jokowi memang sudah mengumumkan niatnya tersebut dengan mengatakan bahwa di periode pemerintahannya yang kedua ia akan membentuk Badan atau Pusat Legislasi Nasional.
Rencana ini pun disambut baik oleh sebagian pihak, seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dan Setara Institute.
Rencana ini bisa jadi juga merupakan usaha Jokowi untuk “menebus dosa” dirinya serta kabinetnya lima tahun ke belakang di bidang hukum.
Menurut Nur Sholikin, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), selama masa pemerintahan Jokowi-JK, terjadi hiper regulasi di mana lembaga eksekutif menerbitkan lebih dari 8.000 peraturan presiden, peraturan pemerintah, hingga peraturan menteri.
Hiper regulasi ini menurut Sholikin dapat menyebabkan hukum di Indonesia semakin tumpang tindih dan tidak efektif.
Hiper regulasi ini juga nampaknya bertentangan dengan kebijakan reformasi hukum Jokowi dalam periode pemerintahannya yang pertama, di mana penataan regulasi menjadi salah satu prioritasnya.
Lalu apakah omnibus law ini akan terwujud?
Seperti produk UU pada umumnya, omnibus law membutuhkan dukungan dan persetujuan dari DPR. Dukungan ini tidak akan lepas dari bagaimana hubungan sang presiden dengan DPR ke depannya
Hal senada juga diungkapkan oleh ahli hukum tata negara Bivitri Susanti.
Menurutnya, pembahasan omnibus law tidak akan mudah mengingat dibutuhkannya negosiasi dengan fraksi-fraksi di DPR serta banyaknya isu yang dibahas sekaligus dalam hukum ini.
Sejauh ini, belum ada pihak yang kontra terhadap renana Jokowi. Sementara sudah ada Sandiaga Uno dan Sekretaris Jendral Partai Nasdem Johnny G. Plate yang mendukung omnibus law masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Terakhir, omnibus law bukanlah “obat ajaib” yang dapat menyembuhkan semua penyakit perekonomian Indonesia.
Masih ada hambatan lain seperti institusi, korupsi, ego sektoral, hingga penyerapan teknologi dan kualitas tenaga kerja.
Pun pertumbuhan ekonomi akan sangat bergantung pada siapa yang menduduki kursi-kursi menteri terkait ekonomi untuk lima tahun ke depan. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.