Pekan lalu, Istana menjadi arena negosiasi antara gabungan serikat buruh dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait Omnibus Law Cipta Kerja serta rencana aksi May Day pada 30 April mendatang. Meskipun berakhir dengan konklusi diplomatis bagi kedua belah pihak, namun menarik untuk melihat makna serta konsekuensi apa saja dibalik keputusan resiprokal tersebut.
PinterPolitik.com
Angin segar seolah berhembus dari Istana ketika Presiden Jokowi pada akhir pekan lalu memutuskan menunda pembahasan Omnibus Law atau Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, khususnya kluster ketenagakerjaan.
Keputusan diambil setelah pada tengah pekannya, gabungan tiga serikat buruh yang diwakili oleh Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) melakukan pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta.
Tidak lama bagi publik untuk melihat bahwa ada semacam “barter” di baliknya, gabungan serikat buruh kemudian merespon dengan keputusan pembatalan aksi besar peringatan hari buruh atau May Day, di mana sebelumnya diagendakan pada 30 April 2020. Perwakilan dari KSPI, Said Iqbal menilai saat ini adalah waktu yang lebih tepat untuk digunakan bersinergi menangani pandemi Covid-19.
Di satu sisi, negosiasi gabungan serikat buruh tersebut dinilai berhasil untuk membuat Presiden Jokowi memberikan sedikit perhatian terhadap Omnibus Law Cipta Kerja yang kontroversial. Hal ini dikarenakan sebelumnya Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan bersedia menunda pembahasan apabila Pemerintah Pusat, sebagai pengusul regulasi ini, mengambil sikap serupa.
Namun di sisi lain, beberapa pengamat menyoroti kluster ketenagakerjaan yang ditunda justru menjadi urgensi yang harus dibahas secara komprehensif di dalam RUU yang utuh saat ini. Solusi atas terpaan badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selama mewabahnya Covid-19 di Indonesia, dinilai harus menjadi prioritas agar bisa dimaksimalkan setelah pandemi mereda.
Berdasarkan kontradiksi dua dinamika yang mengemuka tersebut, bisa dipastikan bahwa perspektif publik saat ini turut berada di persimpangan jalan terkait prioritas mana yang harus ditempuh bagi kemaslahatan bersama. Untuk dapat sedikit menguak hal tersebut, terlebih dahulu sorotan harus ditujukan kepada Presiden Jokowi sebagai pihak penentu navigasi Omnibus Law Cipta Kerja.
Penyelarasan kepentingan atas Omnibus Law yang telah diperlihatkan dari Istana memberikan berbagai impresi tersendiri. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan terkait dengan apakah bergulirnya dinamika tersebut mengindikasikan bahwa Presiden Jokowi benar-benar berhasil “ditaklukkan” oleh serikat buruh? Ataukah justru sebaliknya?
Jokowi Kehilangan Arah?
Sedikit ada keganjilan rasanya ketika Presiden Jokowi memutuskan untuk menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan pada Omnibus Law Cipta Kerja semata-mata karena pandemi Covid-19. Hal tersebut dinilai kontradiktif dan mengurangi elemen penting dari ambisi mahsyurnya dalam mendorong perekonomian dan investasi di Indonesia.
Tamer Başar dalam publikasinya yang berjudul “Stochastic Incentive Problems with Partial Dynamic Information and Multiple Levels of Hierarchy” menyebutkan bahwa struktur informasi yang dimiliki oleh hierarki di level bawah hanyalah informasi yang bersifat statis. Sementara pemimpin di level atas memiliki kelengkapan fundamental informasi statis dan dinamis pada berbagai variabel dan situasi.
Esensi pernyataan Başar tersebut cukup merepresentasikan bahwa Presiden Jokowi sesungguhnya memiliki basis informasi, baik statis maupun dinamis, yang paling komprehensif saat ini untuk menilai urgensi pembahasan Omnibus Law. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, prioritas Jokowi dalam pembangunan ekonomi, investasi, hingga pengentasan tunakarya seharusnya menjadi pendorong lanjutan pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja.
Terlebih ketika pandemi Covid-19 di Indonesia telah menggerogoti aspek perekonomian secara paralel namun menyeluruh dari waktu ke waktu. Persoalan ketenagakerjaan kemudian menjadi poin penting dalam menopang kebijakan perekonomian dan investasi pasca pandemi. Selain itu, payung hukum yang berkualitas dinilai jauh lebih urgen daripada sekadar menunda kluster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law.
Data terbaru di sektor ketenagakerjaan Indonesia di tengah pandemi Covid-19 dinilai membisikkan kekhawatiran tersendiri. Bagaimana tidak, dari jumlah angkatan kerja sebanyak kurang lebih 133 juta orang, sekitar 60 persen di antaranya, yang tergolong tunakarya, korban PHK dan pekerja informal, telah atau perlahan semakin terenggut mata pencahariannya.
Selain itu, bonus demografi angkatan usia produktif dinilai akan menjadi bumerang berbahaya bila tidak disikapi dengan strategi jitu. Terutama semakin bertambah rumit dengan penambahan kalkulasi matematis dan strategis multi aspek sebagai dampak pandemi Covid-19.
Berbagai data yang oleh Başar disebut sebagai struktur informasi dinamis tersebut bisa dipastikan telah mendarat ke meja Presiden dan terus diperbarui perkembangannya. Akan tetapi entah mengapa hal tersebut seolah tersembunyi di balik tumpukan dokumen pekerjaan rumah Presiden Jokowi lainnya ketika keputusan menunda regulasi esensial di kluster ketenagakerjaan dinilai kurang tepat saat ini.
Secara keseluruhan, misleading berpotensi terjadi di dalam klaster-klaster lain Omnibus Law Cipta Kerja yang tetap berjalan pembahasannya. Penundaan parsial itu juga dinilai akan menimbulkan persoalan baru saat kaidah prioritas ketenagakerjaan mengemuka, namun mengalami ketimpangan dengan regulasi lain.
Bagaimanapun, publik dapat melihat pula indikasi lain setelah sampai pada perspektif ini. Kembali merujuk pada tulisan Başar, di mana dengan hanya berlandaskan pada basis informasi statis, perwakilan tiga serikat buruh yang berada di level bawah mampu memaksa Jokowi menunda kluster ketenagakerjaan Omnibus Law Cipta Kerja. Kekuatan tawar seperti apa yang sebenarnya dimiliki oleh serikat buruh itu?
Tuah Magis Basis Massa
Pengaruh mutualisme antara kaum buruh di kancah politik memang bukanlah hal baru, bahkan di Indonesia. Meskipun partai beraliran buruh telah lama menghilang, militansi dan potensi elektoral masif kalangan buruh masih menggiurkan bagi pemeran utama politik tanah air.
Jurnal berjudul “Working-Class Power, Capitalist-Class Interests, and Class Compromise” yang ditulis oleh Erik Olin Wright menyebutkan salah satu istilah bentuk kompromi dari kaum buruh yaitu negative class compromise. Istilah tersebut merujuk kepada kekuatan asosiasi kelompok pekerja atau buruh yang tidak secara maksimal memainkan perannya terhadap korporasi dan pemerintah.
Lebih lanjut, Wright menyatakan bahwa negative class compromise cenderung memberikan tekanan yang bermuara pada ketidakpastian iklim pendukung ekosistem mereka. Hal ini erat kaitannya dengan “alotnya” negosiasi upah hingga tarik ulur hak dan kewajiban di antara buruh, korporasi, dan pemerintah.
Berdasarkan kutipan Wright tersebut sesungguhnya dapat langsung ditarik postulat komprehensif terkait medan magnet antara serikat buruh dengan pemerintah. Pertama, keberadaan hakiki dari tarik ulur hak dan kewajiban antara buruh dan pemerintah adalah indikasi kuat keterkaitan kedua entitas dalam perpolitikan.
Terkait pimpinan tiga serikat buruh yang “tundukkan” Jokowi misalnya. Ketiganya merupakan simpatisan ulung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) paling tidak dalam dua edisi terakhir. Pimpinan KSPSI dan KSBSI, Andi Gani Nena Wea dan Elly Rosita Silaban merupakan “corong” suara buruh untuk Jokowi pada 2014 dan 2019. Pada dua periode yang sama, pimpinan KSPI Said Iqbal adalah kamerad Prabowo Subianto yang notabene telah merapat ke kekuasaan.
Bahkan di antara nama tersebut, ada sosok yang nyaman mendapatkan kursi empuk presiden komisaris salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang perencanaan dan konstruksi bangunan. Fakta ini tentu membuka sudut pandang lain terkait siapa mendapatkan apa sebagai kompensasi sosok penting penggerak manuver politik serikat buruh.
Berbagai hal itu juga meyakinkan istilah negative class compromise atas sepak terjang ketiga serikat buruh penyebab tertundanya kluster ketenagakerjaan Omnibus Law Cipta Kerja, akibat tidak kompehensifnya pertimbangan keputusan akhir yang didapatkan. Seolah keputusan tersebut menambah awan kelabu persoalan buruh secara multi jangka waktu akibat pandemi Covid-19.
Lebih dalam, kejanggalan tidak terbantahkan ketika outcome keputusan Presiden Jokowi dinilai kontraproduktif dengan dinamika situasi saat ini. Dari tiga elemen terkait yaitu pemerintah, korporasi, dan buruh, pihak terakhir disinyalir sangat rentan serta semakin terekspos kemudaratan akibat keputusan tersebut.
Secara keseluruhan, pengayaan diskursus terkait Omnibus Law Cipta Kerja dengan melibatkan berbagai pihak secara komprehensif dinilai akan jauh lebih progresif dibandingkan keputusan penundaan yang diiringi pembahasan regulasi secara parsial. Terlebih jika tujuan besar awal dari Omnibus Law adalah penyederhanaan multi regulasi, tentu membutuhkan energi bersama demi setiap untaian pasal yang berkualitas. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.