Site icon PinterPolitik.com

Olahraga, Harga Diri Xi Jinping?

Xi Jinping (tengah) ketika menendang bola di Croke Park, Dublin, 19 Februari 2012 (Foto: BolaSport.com)

Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara Barat lainnya tengah mempertimbangkan untuk memboikot Olimpiade Beijing 2022. Di sisi lain, Tiongkok selalu jadi sorotan di setiap penyelenggaraan Olimpiade, terlebih lagi jika Hong Kong dan Taiwan mengalahkannya dalam pertandingan. Apakah olahraga telah jadi momok menyeramkan bagi Presiden Xi Jinping?


PinterPolitik.com

Rasanya hampir tidak ada habisnya kita berbicara tentang perseteruan antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Selain saling sindir dan unjuk gigi dalam aspek militer, teknologi, dan ekonomi, ternyata dua musuh bebuyutan ini juga saling sikut dalam isu-isu non-konvensional, contohnya seperti olahraga.

Presiden AS, Joe Biden, beberapa hari setelah melakukan pertemuan virtual dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, mengatakan tengah mempertimbangkan akan memboikot Olimpiade Beijing 2022. Pernyataan ini muncul berdasarkan dorongan domestik dan internasional agar AS memberikan sikap politis terhadap aksi kekerasan yang dilakukan Tiongkok pada etnis Uighur di Xinjiang. Niatan ini sudah dibahas DPR AS sejak April lalu.

Tidak hanya di AS, pembicaraan mengenai pemboikotan Olimpiade Beijing juga tengah berlangsung di berbagai negara, seperti Kanada dan juga Inggris.

Baca Juga: Di Balik Euforia Sirkuit Mandalika

Juru Bicara (Jubir) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Tiongkok, Zhao Lijian menyayangkan narasi boikot olimpiade tersebut. Ia mengatakan ini adalah upaya dari negara-negara Barat untuk mempolitisasi olahraga, dan ini mencederai semangat dan kepentingan para atlet dari berbagai negara peserta.

Pada bulan Mei, Lijian bahkan mengatakan para politisi AS yang mengkampanyekan gerakan boikot adalah orang-orang yang penuh dengan kebohongan dan misinformasi. Ia melanjutkan, masalah HAM digunakan hanya sebagai dalih untuk memfitnah dan mencoreng nama Tiongkok di panggung internasional.

Terlepas dari isu boikot olimpiade, sebenarnya kita juga bisa melihat bahwa Tiongkok selalu hampir mendapat serangan berbau politik setiap acara besar olahraga. Olimpiade Tokyo 2020, misalnya, ketika pemenang medali emas bulu tangkis, Lee Yang mendeklarasikan dirinya adalah orang Taiwan selepas mengalahkan pemain Tiongkok di semi final, ini kemudian memicu perdebatan panas di media sosial.

Begitu juga dengan Hong Kong yang para atletnya disuruh untuk menutupi ‘simbol politik’ pada pakaian maupun tato sebelum bertanding di olimpiade oleh pihak berwajib Tiongkok.

Dari variabel-variabel di atas, bisa kita lihat bahwa olahraga mulai dijadikan senjata untuk menyerang Tiongkok secara politik. Bagaimana kacamata politik melihat fenomena ini?

Tiongkok dan Olahraga

Sebelum mencari tahu alasan kenapa olahraga menjadi sebuah senjata untuk menyerang Tiongkok, kita terlebih dahulu perlu mengetahui bagaimana sesungguhnya Tiongkok memandang olahraga dalam politik.

Melihat sejarahnya, olahraga memiliki peran yang cukup penting dalam politik luar negeri Tiongkok. Contohlah kasus pada tahun 1971, ketika tiba-tiba saja Mao Zedong mengundang sejumlah pemain pingpong AS bermain pertandingan persahabatan di Tiongkok. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan diplomasi pingpong, yang berhasil menjadi titik balik penting dalam memperbaiki hubungan antara AS dan Tiongkok, yang sebelumnya sempat panas akibat Perang Dingin.

Hingga saat ini, olahraga menjadi komponen penting dalam politik Tiongkok. Pada tahun 2015, Tiongkok mengumumkan akan membangun industri olahraganya untuk ditargetkan mencapai nilai US$800 miliar pada tahun 2025. Para peneliti hubungan internasional melihat Tiongkok berniat menjadi negara adidaya olahraga. Ambisi ini kemudian dapat dilaksanakan dengan menggunakan proyek unggulan mereka yang bernama Belt and Road Initiative (BRI).

Dengan mengandalkan pendekatan people-to-people (P2P) atau orang ke orang, industri olahraga Tiongkok bisa terbangun melalui BRI. Rencana Aksi BRI yang tertera dalam situs Administrasi Olahraga Tiongkok menyatakan bahwa Tiongkok akan mendorong negara-negara di sepanjang kawasan BRI untuk menggabungkan keunikan olahraga dari masing-masing negara menjadi sebuah kesatuan yang mampu menarik perhatian konsumen internasional.

Ini diwujudkan melalui beberapa program olahraga bersama seperti kejuaraan, dukungan infrastruktur, dan sponsor. Contoh nyatanya adalah Pakistan Cup, kejuaraan kriket yang sudah lama disponsori Haier, perusahaan multinasional asal Tiongkok, yang memproduksi barang-barang elektronik.

Dari sini, kita bisa memandang bahwa kepentingan olahraga telah menjadi bagian dari politik luar negeri Tiongkok. Stuart Murray dalam bukunya Sports Diplomacy: Origins, Theory, and Practice menyebut praktek seperti ini dengan istilah sports diplomacy atau diplomasi olahraga. Menurutnya, pendekatan olahraga memiliki potensi yang kuat sebagai bentuk diplomasi karena olahraga memiliki kekuatan unik untuk mendekatkan orang, bangsa, dan komunitas melalui kecintaan bersama pada kesehatan jasmani.

Tujuan diplomasi olahraga menurut Murray adalah tentang menjalin hubungan dengan orang lain. Dengan berolahraga, kita bisa mengesampingkan perbedaan pendapat, budaya, dan ketidakpercayaan di masa lalu. Sensasi universal yang dihasilkan oleh para peserta olahraga memiliki kemampuan yang kuat untuk memperkuat ikatan global.

Baca Juga: Makna Bulu Tangkis Bagi Jokowi

Manfaat yang dapat dihasilkan dari diplomasi olahraga kemudian sejalan dengan visi politik luar negeri Tiongkok yang berpegang pada filosofi 王道 (wangdao), yang diambil dari pandangan konfusianisme, yang artinya adalah ‘sesuai jalan raja’. Tetapi kemudian dimaknai memenangkan pengaruh internasional melalui kebajikan seorang ‘raja’ yang di sini diartikan sebagai Tiongkok itu sendiri.

Melalui ambisi industri olahraga dan programnya yang ditanam dalam BRI, Tiongkok tidak saja berniat membangun jaringan ekonomi, tetapi di saat bersamaan juga memanfaatkan kecintaan masyarakat terhadap olahraga.

Pada prinsipnya, Tiongkok menjadikan olahraga sebagai kekuatan negara. Joseph S. Nye dalam bukunya Soft Power mengatakan bentuk kekuatan non-konvensional seperti budaya dan olahraga dapat mempermudah negara mendapatkan kepentingan nasionalnya, melalu persuasi, kooptasi, dan daya tarik, bukan melalui penggunaan kekuatan kekerasan dan paksaan. Kemampuan melakukan persuasi ini disebut Nye sebagai soft power.

Lantas, bagaimana kemudian olahraga yang telah menjadi soft power Tiongkok dapat menyakiti kepentingan negaranya sendiri?

Olahraga Adalah Harga Diri?

Jurnalis senior, Nicholas Griffin dalam bukunya Ping-Pong Diplomacy: Secret History Behind The Game That Changed The World mengatakan, sejak awal Republik Tiongkok terbentuk, mereka sudah sadar bahwa olahraga dapat menjadi ajang yang paling tepat untuk menunjukkan kekuatan suatu negara kepada negara yang lain. Contohnya mereka ambil dengan beragam acara olahraga dalam sejarah yang mampu membentuk persepsi tentang kekuatan itu sendiri, seperti Olimpiade Yunani. Olahraga juga jadi cara terbaik untuk menunjukkan kesehatan negara melalui kebugaran para atletnya.

Melalui pandangan Griffin, ditambah dengan perspektif sports diplomacy dan soft power, kita bisa mendapatkan logika bahwa, olahraga sebagai perpanjangan tangan dan manifestasi dari kepentingan negara, juga memiliki beban untuk menjaga citranya sebaik mungkin. Karena manfaat politik yang didapat Tiongkok melalui olahraga sangat bergantung pada persepsi, maka wajar ketika persepsi itu terganggu, Tiongkok dapat merasa politik luar negerinya terancam.

Inilah kemudian yang barangkali disadari oleh AS, yang berusaha mengajak negara-negara sekutu untuk memboikot Olimpiade Beijing, karena acara olahraga tersebut telah dijadikan sebagai simbol kekuatan Tiongkok. Jika ingin menyakiti pengaruh internasional Tiongkok, maka serangan perlu dilakukan terhadap komponen-komponen yang menjadi soft power-nya, dalam konteks ini tentu olahraga.

Baca Juga: Xi Jinping, Serigala Politik Internasional?

Profesor ilmu politik asal Universitas Rochester, James Johnson, dalam tulisannya yang berjudul The Politics of Possibility: Symbol, Strategy and Power, mengatakan suatu simbol politik dan strategi politik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Johnson mengatakan, aktor politik mampu menciptakan titik fokus melalui simbol. Mereka kemudian menggunakan kekuatannya untuk mengoordinasikan interaksi sosial dan politik antar aktor atau negara. Oleh karena itu, untuk menjamin kepentingan politik dapat mencapai tujuan, penting bagi aktor-aktor politik untuk mempertahankan simbol yang dalam konteks Tiongkok saat ini adalah Olimpiade Beijing dan olahraga itu sendiri.

Akhir kata, olahraga sebagai simbol kekuatan politik bukanlah hal yang asing. Selain Olimpiade Yunani, kita juga bisa berkaca pada tradisi gladiator ala Romawi kuno. Alexis Christensen dalam tulisannya Gladiator Politics from Cicero to the White House, mengatakan para petarung yang diadu dalam Colosseum mewakili citra politik para tokoh-tokoh besar Romawi. Jika petarung yang disponsori oleh salah satu penyokong kalah ataupun tidak bisa hadir, maka yang dirugikan tidak hanya atlet tersebut, tetapi juga reputasi politik si penyokong.

Dengan demikian, olahraga sesungguhnya telah menjadi pisau bermata dua bagi Tiongkok. Di satu sisi Tiongkok dapat memperoleh pengaruh yang besar jika program olahraganya berjalan lancar. Tetapi di sisi lain, olahraga malah justru dapat merugikan kepentingan Tiongkok jika para atletnya kalah terhadap negara rival, dan program besar olahraganya diserang retorika-retorika yang menjelekkan citra Tiongkok di mata internasional.

Terlebih lagi, pada tahun 2018 Xi Jinping mengatakan dirinya bermimpi agar Tiongkok menjadi juara Piala Dunia sekaligus jadi tuan rumahnya. Tentu Xi tidak mau mimpinya ini dibatalkan bukan? (D74)    

Exit mobile version