Site icon PinterPolitik.com

Obor Rakyat, Lawan Propaganda Jokowi

Obor Rakyat, Lawan Propaganda Jokowi

Jika kembali terbit dan afiliasi politiknya masih sama, Obor Rakyat berpeluang rugikan citra Prabowo. (Foto: istimewa)

Wacana penerbitan kembali Obor Rakyat menjadi tajuk di beberapa media beberapa hari terakhir ini. Tabloid yang pada 2014 lalu menyerang Jokowi ini diwacanakan untuk terbit lagi pasca bebasnya sang pemred, Setiyardi Budiono dari vonis 8 bulan penjara setelah mendapatkan cuti bersyarat. Namun, pro dan kontra mencuat terkait rencana tersebut, bahkan Menkumham mengancam akan mencabut cuti beryarat Budiono jika ia “berulah” lagi. Yang jelas, wacana ini menjadi gambaran jelas akan makin kuatnya propaganda politik jelang hari pencoblosan di April nanti.


PinterPolitik.com

“In time of war, truth is always replaced by propaganda.”

:: Charles Lindbergh (1902-1974), penerbang dan penulis ::

[dropcap]K[/dropcap]isah tentang propaganda politik sudah terjadi salah satunya ketika Xerxes I yang memimpin Kekaisaran Persia, berniat untuk menguasai seluruh Yunani. Diceritakan bahwa ia memulai ekspedisi besar-besaran untuk mewujudkan hal tersebut.

Satu per satu kota di Yunani berhasil ditundukkan. Sampai akhirnya pada tahun 480 SM, saat pasukan Persia berhasil menduduki Athena dan sepertinya orang-orang Yunani akan benar-benar takluk, komandan angkatan laut Athena, Themistocles merencanakan sebuah propaganda untuk memecah belah kekuatan pasukan Xerxes.

Tabloid ini berpotensi merugikan citra Prabowo karena publik bisa melihat konteks propaganda serupa yang terjadi pada 2014 lalu - kecuali tujuan kemunculannya memang untuk mendiskreditkan sang jenderal. Share on X

Themistocles merancang disinformasi lewat sumber-sumber internal Xerxes dengan tujuan melemahkan pasukan Persia. Ia misalnya memberi informasi yang menyebutkan bahwa pasukan dari kota-kota di Yunani yang telah bergabung dengan Xerxes sedang merencanakan pemberontakan terhadap raja Persia itu.

Xerxes yang khawatir akhirnya tidak menggunakan jasa pasukan-pasukan tersebut dan berdampak pada melemahnya kekuatan tempur miliknya. Selanjutnya, propaganda demi propaganda terus dilakukan oleh Themistocles lewat orang-orang di sekitaran Xerxes untuk menjebak dan melemahkan pasukan Persia.

Hasilnya, Xerxes berhasil dikalahkan dalam pertempuran di Pulau Salamis dan Themistocles mencatat namanya sebagai salah satu orang yang sukses melakukan propaganda dan menggagalkan upaya perluasan kekuasaan raja Persia itu.

Kini, 2500 tahun setelah Xerxes, perdebatan tentang penggunaan propaganda untuk menggagalkan kekuasaan itu sedang dipergunjingkan lagi di Indonesia – negara yang terletak 10 ribu kilometer dari Athena. Adalah isu akan kembali terbitnya tabloid propaganda, Obor Rakyat jelang Pilpres 2019 yang jadi pokok bahasannya – sekalipun konteksnya mungkin berbeda dengan yang terjadi di zaman Xerxes.

Sebelumnya, diberitakan bahwa tabloid yang sempat mencuri perhatian pada Pilpres 2014 karena memuat artikel berjudul “1001 Topeng Jokowi” itu, direncanakan akan terbit sebelum Pilpres pada April mendatang.

Pemimpin Redaksi Obor Rakyat, Setiyardi Budiono menyebutkan bahwa kali ini Obor Rakyat akan menggunakan kaidah-kaidah jurnalistik dalam pemberitaannya. Pria yang harus mendekam 8 bulan di penjara sebagai akibat artikel tentang Joko Widodo (Jokowi) itu, juga menyebutkan bahwa Obor Rakyat akan dibentuk sebagai sebuah badan hukum, serta akan memiliki kantor dan alamat yang jelas.

Wacana tersebut tentu saja menarik, mengingat citra Obor Rakyat di mata publik adalah media yang menyebarkan hoaks pada Pilpres 2014 dan tulisan-tulisannya dianggap tak sedikit pun memenuhi kaidah jurnalistik. Setidaknya demikian yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo.

Terlepas dari hal-hal tersebut, kemunculan kembali Obor Rakyat ini tentu menimbulkan perdebatan terkait kepentingan politik yang diusungnya. Dalam konteks tersebut, Obor Rakyat boleh jadi bukan hanya menjadi alat kampanye negatif semata, tetapi juga bisa kembali menjadi alat propaganda politik.

Faktanya, propaganda dan pertarungan tentang definisi kebenaran menjadi hal utama yang ditampilkan di Pilpres kali ini. Akankah kini tujuan Obor Rakyat bisa terwujud?

Obor Rakyat, Propaganda atau Perlawanan?

Jika berkaca pada banyak kasus pertarungan politik, terutama yang berhubungan dengan Pemilu, propaganda dengan menggunakan media seperti Obor Rakyat ini adalah hal yang sangat sering dijumpai sebagai bagian dari upaya untuk membentuk persepsi.

Professor ilmu politik dari Michigan State University, Bruce Lannes Smith dalam tulisannya yang berjudul Propaganda, Communication and Public Opinion, mengartikan propaganda sebagai upaya yang tersistematis untuk memanipulasi keyakinan, sikap, persepsi, atau tindakan tertentu yang dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol tertentu seperti spanduk, selebaran, tulisan-tulisan, musik, cara berpakaian, bahkan hingga gaya rambut sekalipun.

Umumnya orang-orang yang melakukan propaganda memilah-milah fakta, argumen dan simbol yang digunakan – yang tidak jarang juga dihasilkan lewat manipulasi – demi mencapai tujuan tertentu. Propaganda tidak hanya bisa dilakukan oleh negara – dalam hal ini penguasa – tetapi juga oleh kelompok aktivis, perusahaan, politisi, partai politik, dan lain sebagainya.

Sekalipun makna katanya sejak muncul di zaman dahulu cenderung netral, namun belakangan propaganda selalu diasosiasikan dengan pendekatan yang manipulatif, sehingga tidak jarang membuatnya identik dengan hoaks dan fake news.

Dalam konteks Pemilu, propaganda biasa digunakan untuk mempengaruhi persepsi publik terhadap kandidat atau partai tertentu agar yang bersangkutan dipilih atau tidak dipilih oleh masyarakat.

Di banyak negara yang menjalankan demokrasi, propaganda seolah menjadi alat politik yang tidak bisa dipisahkan dari Pemilu. Pada Desember 2018 lalu misalnya, otoritas Bangladesh sampai harus melambatkan koneksi internet di negara tersebut untuk membendung propaganda politik di media sosial jelang hari pemungutan suara demi mencegah gejolak politik yang berlebihan. Konteks propaganda serupa juga terjadi pada Pemilu di Kamerun di tahun yang sama.

Sementara, Pilpres Amerika Serikat (AS) tahun 2016 adalah salah satu panggung terbesar propaganda yang disebut melibatkan kekuatan politik sistematis – setidaknya demikian yang ditulis oleh The New York Times.  Tuduhan propaganda di Pilpres AS tersebut diarahkan kepada Rusia yang disebut sebagai dalang dalam kampanye politik di sosial media untuk memenangkan Donald Trump.

Sementara di Indonesia, propaganda dalam Pemilu telah terjadi sejak tahun 1955. Bahkan, kala itu model propaganda dengan selebaran dan lain sebagainya dilakukan secara terang-terangan. Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang adalah partai-partai besar kala itu menggunakan propaganda lewat media massa untuk saling serang dan membenturkan ideologi di antara mereka.

Sementara di era Orde Baru – seperti dikutip dari majalah Historia – pelaku propaganda adalah pemerintah dengan Golkar sebagai partai utamanya. Kala itu, Soeharto menggunakan semua aparat negara untuk memperkuat legitimasi politiknya dan agar Golkar terus menjadi partai utama.

Pasca kejatuhan Orde Baru hingga saat ini, propaganda masih menjadi alat politik yang digunakan oleh hampir semua partai dan faksi politik. Tabloid Obor Rakyat pada Pilpres 2014 lalu mungkin menjadi salah satu contoh kecilnya saja.

Adapun dalam konteks Pilpres 2019, propaganda itu pun telah terjadi, baik lewat pertarungan buzzer di media sosial, maupun lewat narasi-narasi yang ditampilkan ke hadapan publik.

Presiden Jokowi – sebagai kandidat yang akan maju lagi – juga secara tidak langsung sering melakukan propaganda tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi kerap mengartikulasikan keberhasilan-keberhasilan yang diraihnya di hadapan publik – yang oleh lawan politiknya diistilahkan sebagai pencitraan.

Konteks strategi politik pencitraan itu sendiri pun merupakan sebuah propaganda untuk membentuk persepsi publik. Fakta-fakta kesuksesan pembangunan dikedepankan tanpa menampilkan sisi lain, katakanlah jika persoalan-persoalan tersebut masih menyisakan masalah dan hal-hal yang negatif.

Hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk disebut sebagai propaganda karena sudah ada pemilah-milahan fakta. Konteksnya akan semakin berbahaya jika apa yang disampaikan ke publik itu bersifat manipulatif atau tidak sesuai dengan kenyataan.

Sementara, di kubu seberang, Prabowo Subianto pun melakukan propaganda, sekalipun dengan model yang berbeda. Propaganda politik Prabowo memang lebih ditampilkan lewat gagasan-gagasan tentang suramnya masa depan Indonesia, kebocoran-kebocoran kekayaan nasional, politik ketakutan, serta kritik-kritiknya lewat data-data yang parsial.

Baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama menggunakan propaganda politik tersebut. Jokowi menyebut Prabowo menggunakan propaganda genderuwo – lewat ketakutan – sementara Prabowo menyebut Jokowi menggunakan propaganda pencitraan. Lalu, akankah Obor Rakyat membantu propaganda tersebut?

Akankah Obor Rakyat Berhasil?

Memang belum diketahui secara jelas apakah afiliasi politik dan propaganda yang akan dilakukan oleh Obor Rakyat saat ini linear dengan Pilpres 2014, di mana Jokowi menjadi korbannya. Kala itu tabloid tersebut dibuat oleh simpatisan Prabowo-Hatta Rajasa, sekalipun bukan bagian dari strategi kampanye resmi pasangan ini.

Terkait hal itu, memang ada dimensi peran media massa dalam propaganda tersebut. Sekalipun tidak memenuhi kaidah jurnalistik, Obor Rakyat bisa memiliki dampak yang sangat besar karena dikemas sebagai sebuah karya media massa. Pemred dan penulis-penulisnya pun adalah pekerja jurnalistik.

Hal ini membuat dampak propaganda yang ditampilkan punya efek yang lebih besar. Konteks tersebut secara khusus digariskan oleh Richard Nelson dan Foad Izadi dalam buku Routledge Handbook of Public Diplomacy. Keduanya menyebutkan bahwa media massa – atau kemasan media massa – memiliki dampak persuasif yang lebih besar ketika digunakan sebagai alat propaganda politik karena dipakai sebagai acuan sumber informasi di masyarakat.

Persoalannya, berhasil atau tidaknya propaganda Obor Rakyat akan bergantung dari produk yang akan ditampilkannya nanti. Selain itu, ada pertaruhan citra yang ditampilkan akibat identitas hoaks yang sudah disandangnya. Publik tidak akan mudah lagi menerima tabloid ini karena citranya tersebut.

Kemudian, jika masih punya afiliasi politik yang sama dan konten propaganda yang digunakan juga sejenis dengan yang dipakai di 2014, maka bisa dipastikan kiprah Obor Rakyat tidak akan mudah. Bahkan, tabloid ini berpotensi merugikan citra Prabowo karena publik bisa melihat konteks propaganda serupa yang terjadi pada 2014 lalu.

Beberapa pihak juga menduga ada kemungkinan Obor Rakyat justru digunakan memang untuk tujuan mendiskreditkan Prabowo – sekalipun hal tersebut belum bisa dipastikan kebenarannya. Kementerian Hukum dan HAM pun telah mewanti-wanti Budiono, bahwa jika ia masih “berulah”, cuti bersyaratnya akan dicabut.

Pada akhirnya, tentu menarik untuk menunggu seperti apa tampilan pemberitaan Obor Rakyat edisi Pilpres 2019. Yang jelas, seperti kata Charles Lindbergh di awal tulisan, karena Pilpres ini ibarat perang, maka kebenaran-kebenaran memang digantikan oleh propaganda. (S13)

Exit mobile version