Site icon PinterPolitik.com

Nyawa Murah TKI NTT

Adelina Lisao bukan yang pertama. Korban kekerasan buruh migran di NTT terus bertambah selama 10 tahun terakhir. Mengapa ini bisa terus terjadi?


PinterPolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]ebuah foto viral dibagikan di dunia maya. Dalam gambar tersebut, seorang perempuan terlihat sedang berbaring beralaskan tikar di beranda rumah. Dia adalah Adelina Lisao, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Malaysia.

Saat ditemukan oleh tetangga majikannya, kondisi tubuh Adelina sangat memprihatinkan dengan luka di bagian wajah, tangan, dan kaki. Menurut pengakuan Adelina, dirinya memang sudah tidur di teras rumah majikannya itu selama sebulan, bersama seekor anjing peliharaan, tanpa diberi makan.

Sayangnya, pertolongan datang terlambat. Adelina meninggal dunia tak lama setelah dibantu keluar dari rumah majikannya. Kematiannya ini pun memunculkan kehebohan baru di tanah air.

Pemerintah Indonesia berjanji akan mengusut kasus Adelina, sembari tak lupa menuntut Pemerintah Malaysia menghukum berat pelaku penelantaran. Bahkan tak sedikit yang menyebut kalau hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia bertambah tegang akibat adanya peristiwa ini.

Jika hendak menengok kembali ke belakang, Adelina sebetulnya bukanlah kasus yang unik dan baru. Di tahun 2015, Yufrinda juga mengalami hal yang sama seperti Adelina. Ia dikabarkan meninggal karena dianiaya, bahkan diduga menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking)  pula di Malaysia.

Korban lainnya yang mengalami nasib ‘lebih baik’ adalah Nirmala Bonat. Ia berhasil melaporkan majikannya ke pihak berwenang dan mendapat ganti rugi sebesar enam miliar rupiah, karena mengalami luka mental dan fisik yang dideritanya. Di luar kasus Nirmala, tak banyak korban yang bisa lolos dan punya keberanian melaporkan kekerasan yang mereka alami dari majikannya.

Selama ini, korban kekerasan dan perdagangan manusia yang menimpa TKI asal NTT, lebih banyak berpulang dalam peti, alias meninggal dunia.  

Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo bahkan sudah memberi pernyataan bila apa yang menimpa Adelina tak hanya soal kekerasan terhadap buruh migran di luar negeri, tetapi juga terdapat indikasi perdagangan manusia.

Keberadaan Adelina, Yufrinda, dan Nirmala yang menjadi korban penganiayaan migran di luar negeri sekaligus menjadi korban perdagangan manusia, menimbulkan sebuah pertanyaan tersendiri. Mengapa hal yang sama terus menerus terjadi di NTT? Bagaimana sindikat dan oknum tertentu bergerak melestarikan keberadaan TKI ilegal dan perdagangan manusia di NTT?

Berkelindan dengan Perekrutan TKI

NTT memang menyumbang angka TKI yang tak terlalu tinggi bila dibandingkan dengan Indramayu. Menurut catatan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Indramayu, Dadi Haryadi, jumlah TKI asal Indramayu yang bekerja di luar negeri angkanya mencapai 16 ribuan di tahun 2017.

Jumlah TKI asal Indramayu ini, berkejaran dengan kota Lombok Timur, Cilacap, Cirebon, dan Lombok Tengah. Walau NTT, tak masuk dalam 5 besar, daerah ini menjadi daerah dengan korban perdagangan manusia tertinggi di Indonesia.

Di tahun 2017, sebanyak 62 pekerja migran asal NTT meninggal, jumlah tersebut adalah 45,2 persen dari keseluruhan pekerja migran yang ada. Keseluruhan kasus yang terdata adalah pekerja migran yang meninggal dengan penempatan Malaysia. Untuk tahun 2018, Adelina bahkan sudah menjadi korban kesembilan.

Modus perdagangan manusia yang terjadi di NTT, banyak memakai kedok perekrutan TKI. Menjadi TKI di luar negeri pun, dianggap sebagai jalan keluar terbaik untuk mendapatkan uang dan terbebas dari kemiskinan, walaupun dengan keterampilan dan pendidikan yang tak memadai.

Faktor kemiskinan dan kurang pendidikan inilah yang mengakibatkan munculnya banyak agen TKI ilegal. Mereka datang dengan menjanjikan kemudahan dan mengimingi-imingi pekerjaan di luar negeri. Adelina adalah salah satunya. Adelina diketahui menjadi salah satu TKI ilegal karena namanya tak terdaftar dalam deretan TKI legal di Malaysia.

Para TKI asal NTT (sumber: kbr.id)

Siwa, wakil dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI juga mengamini fakta tersebut. Perdagangan manusia di NTT, tak lepas dari masalah ketenagakerjaan, migrasi, dan perpindahan tenaga kerja. Biasanya, korban cenderung mengabaikan prosedur yang disediakan pemerintah dan terperosok menjadi TKI ilegal. Pengabaian terhadap prosedur dan sistem yang legal ini, menurut Siwa, melonjak hingga 90% di tahun 2017.

Cerita Siwa berkembang lagi lewat penuturan dari Dony Sare, Perwira Unit II Trafficking Sub bidang 4 Polda NTT. Salah satu modus yang dijalankan oleh pelaku perdagangan manusia melalui rekrut calon TKI, awalnya mendatangi keluarga dan memberi ‘uang sirih pinang’, sebesar Rp. 2.000.0000 – Rp. 3.000.000 kepada calon keluarga korban.

Tak jarang proses tersebut, dilakukan oleh kerabat dekat atau keluarga korban sendiri. Dengan memberi ‘uang sirih pinang’, orangtua korban merasa terbebani dan akhirnya merelakan anaknya untuk selanjutnya ‘dibawa’ oleh pemberi uang sirih pinang. Tradisi inilah yang membuat rekrutmen berkedok TKI menjadi semakin lancar.

Modus ini, ditambah dengan keberadaan peraturan negara yang makin membuat praktik ilegal perekrutan TKI makin mudah. Pengesahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI, membuat pihak swasta memonopoli migrasi TKI di NTT.

Melalui pesan tertulis, Anis Hidayah selaku Direktur Migrant Care berkata jika peran perekrutan yang didominasi swasta ini, melahirkan andil yang besar dalam kasus perdagangan manusia. Keberadaan UU tersebut, dianggap Anis turut meningkatkan angka perdagangan manusia di NTT. “NTT kini sudah menjadi target jaringan perdagangan manusia karena tingkat ekonomi yang rendah,” jelasnya.

Menurut Anis, seharusnya pemerintah memegang peran dari perekrutan hingga pemberangkatan. Sebaliknya, swasta hanya bertugas menyalurkan saja ke agen di luar negeri. Cara ini dipandang lebih murah, juga memberikan negara peran yang menjadi kewajibannya.

Sementara itu, Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), ternyata masih belum fasih digunakan oleh aparat dalam sistem peradilan NTT. Tanpa pemahaman atas detil indikator perdagangan orang, kasus yang diproses akhirnya sangat minim.

Bila kelemahan pemerintah sudah terdekteksi melalui undang-undang, mengapa pihak terkait tak memperbaiki dan menuntaskannya? Benarkah pemerintah bersungguh-sungguh menghentikan kasus kemanusiaan ini?  

Perbudakan Modern, Kisah Pilu NTT

Ferdinand Jan Ormeling, geografer NTT asal Belanda, pernah berkata jika dalam sejarahnya, pedagang datang ke NTT karena tiga hal; cendana, madu, dan budak. Tapi sekarang cendana sudah langka, madu laris manis, dan budak malah menjadi realitas.

Benar sekali, di masa ketika VOC Belanda masih menguasai Nusantara, budak dari NTT menjadi salah satu komoditas layaknya cendana dan madu. Setelah beberapa abad, apakah perbudakan berakhir di NTT? Sayangnya tidak. Praktik tersebut masih terus berjalan, berganti muka dengan wajah lokal. Nama-nama seperti Adelina dan Yufrinda adalah beberapa contoh korban perbudakan modern.

Ormeling juga mencatat bila sejak 1792, daerah Kepulauan Timor sudah menjadi tempat penjualan budak untuk pembantu rumah tangga. Saat itu, budak dari NTT dikirim ke daerah Batavia, Palembang, dan Banda untuk memetik Pala.

Di masa kini, ternyata keadaan tak terlalu berubah jauh. Bahkan, menurut Dominggus Eclid, peneliti dari Forum Akademia NTT (FAN), pekerja asal NTT yang dikirim ke negeri jiran atau kota-kota besar di Indonesia, sudah memiliki label tersendiri, yakni ‘murah dan taat’. Seperti abad ke-17, Timor dan Sumba masih melanjutkan posisi sebagai lokasi terbanyak korban perdagangan manusia.

Lantas bagaimana dengan pendidikan yang tersedia? Sayangnya, berdasarkan penelitian Gerry van Klinken dalam The Making of Middle Indonesia: Kupang, ternyata akses tersebut tak dapat dinikmati semua kalangan sampai tuntas. Di Kupang, pendidikan kelas 3 SMA adalah bangku maksimal yang bisa dicapai, sementara di pedesaan, rata-rata anak bersekolah maksimal sampai kelas 5 SD.

Faktor inilah yang menjadi penyebab anak-anak NTT rentan terhadap penipuan. Rendahnya kemampuan pekerja asal NTT, berawal dari sejarah panjang ini. Faktor itu pun masih ikut berkelindan dengan kualitas pendidikan yang menurut Dominggus, kurang memadai dan tak tepat secara pedagogis.

Dominggus menambahkan bila tumpukan masalah yang ada, setidaknya memiliki dua faktor yang mengakar. Faktor pendorongnya adalah kemiskinan, tekanan perubahan iklim, korupsi aparatur negara, dan kekeringan. Sementara faktor penariknya, terjadi pada pihak swasta yang memonopoli bisnis TKI yang ada dalam Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) yang kemungkinan ikut ‘berbulan madu’ dengan pihak DPRD setempat.

Salah Siapa?

Melemparkan pertanyaan seputar perbudakan di zaman now, tentu saja akan dianggap sebagai hal yang tak biasa, bahkan tak etis. Namun bila mengingat kalau persoalan ini sudah berjalan hingga lima abad lamanya, tentu ada yang sangat salah terpendam di sana.

Charles Darwin mengeluarkan sebuah teori mengenai seleksi alam yang menjelaskan bagaimana individu atau suatu hal dapat terus hidup dan terus berlipat ganda, karena kemampuannya menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Charles Darwin, penemu teori seleksi alam (sumber: istimewa)

Jika menghubungkan teori tersebut dengan epidemik kekerasan pekerja migran dan perdagangan manusia di NTT, kekuatan seleksi alam terbukti mampu dilalui oleh epidemik yang terjadi di NTT selama lima abad lamanya. Lebih jauh, hal itu barangkali sudah dianggap sebagai bagian dari awal kehidupan.

Namun jangan sampai epidemik yang terjadi di NTT dilihat sebagi sebuah babak drama, seperti yang diucapkan Karl Marx. “History repeats itself, first as tragedy, second as farce”, yang berarti, sejarah terus berulang, awalnya sebagai tragedi, lalu menjadi drama (komedi). Jika benar demikian, apa yang terjadi di NTT sungguh adalah komedi gelap nan suram, jika tak mau disebut komedi depresif.

Bagaimana tak suram? Kebobrokan sudah ditemukan di bagian perundang-undangan pemerintah dan monopoli bisnis oleh sektor swasta, tetapi hal tersebut tak kunjung diatasi. Jika demikian, sulit untuk tak ikut menyebut apakah pemerintah turut meretas keuntungan dari praktik ilegal ini? Siapa yang tahu.

Lantas, kemana pula duka lara keluarga yang ditinggalkan oleh para korban yang datang dengan peti mati tersebut akan mengadu? Steve Buttry, profesor Komunikasi Massa dari Lousiana State University pernah berkata jika tiap-tiap masyarakat marjinal, punya suara sendiri. Tugas bagi para jurnalis lah untuk menyiarkan suara tersebut.

Jika terus berdiam dan menutup telinga, maka persoalan yang ada di NTT hanya akan sebatas perbedaan perspektif antara pihak aktivis semata. Namun tetap menjadi pengabaian oleh pemerintah serta swasta. Padahal, pengabaian itu sendiri adalah salah satu bentuk dari kriminalitas. (Berbagai Sumber/ A27)

Exit mobile version