Munculnya fenomena Nurhadi-Aldo sebagai pasangan capres-cawapres fiktif menandakan kuatnya tingkat kekecewaan publik terhadap politik elektoral dan berpotensi memengaruhi tingkat partisipasi pemilih di Pilpres mendatang.
PinterPolitik.com
“There are two different types of people in the world, those who want to know, and those who want to believe.”
:: Friedrich Nietzsche ::
[dropcap]N[/dropcap]ama Nurhadi-Aldo kian sering terdengar di dunia media sosial dalam beberapa waktu belakangan ini. Sosok keduanya memenuhi ruang-ruang di jejaring maya, seperti Facebook, Twitter dan Instagram.
Viralnya pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden fiktif yang diberi nomor urut 10 itu, seakan menjadi sebuah alternatif pilihan politik di tengah panasnya suhu Pilpres 2019 yang diwarnai aksi saling hujat dan hoaks.
Nurhadi-Aldo adalah paslon fiktif yang diciptakan oleh sekelompok anak muda yang merasa gerah dengan berbagai isu politik saat ini. Secara fiktif pula mereka menyebut diri diusung oleh koalisi Indonesia Tronjal-Tronjol Maha Asyik melalui Partai Untuk Kebutuhan Iman.
Paslon yang kerap disingkat dengan sebutan Dildo ini hadir dengan konten-konten yang dibagikan secara jenaka, bahkan tidak sedikit kalimat yang digunakan cenderung bernada mesum. Namun, dengan cara ini nama Nurhadi-Aldo menjadi viral dalam sekejap.
Melihat kondisi tersebut, tentu ada makna dan implikasi fenomena ini terhadap konteks perpolitikan di Indonesia, khususnya jelang Pilpres di bulan April mendatang. Meski fenomena guyonan politik atau humor politik bukanlah hal baru, namun kemunculan Nurhadi-Aldo menandai bahwa tidak sedikit masyarakat yang jenuh terhadap politik praktis. Selain itu, fenomena ini menandai munculnya wacana nihilisme dalam politik.
Jika demikian, seperti apa konteks fenomena Nurhadi-Aldo dalam wacana nihilisme politik dan seperti apa implikasinya terhadap politik elektoral yang saat ini sedang berlangsung?
kira kira #KaloNurhadiPresidennya menurutmu apa yang terjadi?
— Nurhadi – Aldo (@nurhadi_aldo) January 3, 2019
Nihilisme Politik Nurhadi-Aldo
Nihilisme adalah salah satu aliran filsafat yang berpendapat bahwa dunia ini – terutama keberadaan manusia di dunia – tidak memiliki suatu tujuan. Pemeluk aliran filsafat ini adalah orang-orang yang memahami bahwa realitas yang ada di alam ini hanyalah keburukan.
Karena itu, kelompok ini memandang kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada yang lebih baik daripada yang lain.
Pandangan nihilis populer diperkenalkan oleh filsuf asal Jerman – Prusia pada saat itu – yakni Friedrich Nietzsche. Filsafat Nietzsche mendasarkan pada kehendak untuk berkuasa. Pengetahuan merupakan salah satu wujud nyata dari kehendak untuk berkuasa. Oleh karena itu, manusia harus menggunakan rasionya untuk menguasai pengetahuan.
Kalimat “Tuhan sudah mati” adalah salah satu ungkapan yang sangat terkenal dari Nietzsche. Meski begitu, kalimat ini tidak bisa diterjemahkan secara harfiah. Ini merupakan sebuah bentuk kritik sebab di Eropa saat itu gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teologi.
Menurut Walter Kaufmann dalam Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist konsep nihilisme ini terbentuk setelah Nitzsche mendapati bahwa kenyataan atau realitas tidak sejalan dengan apa yang semestinya. Cara memandang realitas ini bisa berarti bahwa manusia secara sadar memahami eksistensinya sebagai makhluk hidup dan mencari tujuan hidupnya.
Dalam konteks politik, para penganut nihilisme menolak tatanan politik yang sudah ada. Terkait hal tersebut, keyakinan terhadap realitas politik saat ini yang cenderung menimbulkan ketegangan akibat minimnya kualitas persaingan antara Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengakibatkan pandangan sebagian masyarakat menjadi jenuh dan nihilis.
Narasi-narasi politik yang berkembang lebih kepada saling olok dan menebar kebencian, sehingga menyebabkan masyarakat yang masih menjaga rasionalitasnya memandang sebelah mata politik elektoral.
Fenomena Nurhadi-Aldo yang riuh di sosial media menandakan hadirnya politik nihilis dengan konten remeh-temeh dan dikemas dengan bentuk humor sebagai hiburan, namun sarat akan kritik.
Dalam konteks tersebut, akun parodi ini mampu membungkus sebuah tagline yang bernuansa idealis dengan cover yang vulgar. Contohnya, nama partai pengusung paslon ini adalah Partai Untuk Kebutuhan Iman yang kalau disingkat bisa diartikan sebagai hal yang vulgar. Kevulgaran inilah yang membuat Nurhadi-Aldo dengan cepat menjadi fenomena yang viral.
Selain itu, postingan-postiongan bernuansa kritik langsung dari akun tersebut juga terlihat banyak dibagikan dan dikomentari oleh warganet. Ini dapat diartikan bahwa meski penarik perhatiannya adalah humor mereka yang vulgar, namun warganet tertarik pula akan kritik-kritik politik yang diselipkan oleh akun guyon tersebut.
Jika dilihat secara umum, kondisi saling ejek dan saling tuduh tanpa adanya sosialisasi visi-misi serta program kerja yang jelas dalam kampanye politik Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandi memang melahirkan dukungan publik terhadap Nurhadi-Aldo.
Di celah inilah paslon fiktif itu masuk dengan memberi gagasan-gagasan yang meskipun sering absurd, tetapi membahas apa yang selama kampanye ini tidak terlihat dari kedua calon resmi Pilpres 2019 dan pendukungnya.
Di sisi lain, kemunculan Nurhadi-Aldo ini juga bisa menjadi kritik terhadap posisi media yang selama ini dikuasai oleh oligarki media-media besar arus utama (mainstream).
Pasalnya, media digital seringkali melahirkan wacana yang kontra terhadap oligarki yang tidak jarang bisa menggeser arus kekuasaan ke arah keinginan masyarakat.
Kehadiran dan kepopuleran Nurhadi-Aldo tampaknya menjadi salah satu fenomena kontra-oligarki tersebut.
Meski demikian, dalam konteks itu bukan berarti keadaan nihilis ini membuat masyarakat menjadi apatis dengan tidak terlibat dalam politik. Bahkan sebaliknya, fenomena ini menjadi pertanda bahwa tingkat kesadaran politik masih sangat tinggi dan berpotensi memengaruhi tingkat partisipasi politiknya.
Masyarakat yang terlibat dalam fenomena Nurhadi-Aldo pada tingkatan tertentu mewarnai proses politik elektoral yang tengah berlangsung, dan bisa jadi akan meningkatkan keterlibatan, namun dalam arah yang lain, yakni menjadi kelompok golongan putih (golput).
Angka Golput Tinggi?
Munculnya paslon Nurhadi-Aldo memang bisa menjadi pemantik menguatnya golongan putih alias golput yang kerap terjadi menjelang Pemilu di Indonesia. Golput merupakan sebutan untuk orang-orang yang menggunakan hak politiknya dengan mencoblos bagian putih dari kertas suara alias tidak memilih satu dari calon yang ada. Namun, pemaknaan golput seringkali bergeser untuk menyebut mereka yang tidak menggunakan hak politiknya.
Golput umumnya terjadi akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap politik, baik terhadap partai politik maupun kandidat pemimpin yang sedang bersaing.
Masyarakat yang memilih golput juga biasanya akan mencari saluran lain untuk mengekspresikan perasaannya yang tidak terakomodir selama ini.
Setidaknya golput bisa dipahami dalam dua pengertian. Pertama, golput sebagai wujud apatisme politik. Hal ini bisa disematkan kepada mereka yang tidak memilih hanya karena tidak peduli pada situasi politik yang terjadi. Golput dalam pengertian ini merugikan proses demokrasi.
Sedangkan dalam pengertian kedua, golput dilandasi oleh alasan ideologis. Sikap politik ini bisa menguntungkan proses demokrasi karena dianggap sebagai bentuk kritik.
Kemunculan Nurhadi-Aldo berpotensi membuat golput tinggi. Share on XIndonesia terhitung sudah menjalani tiga kali Pilpres di era reformasi, yaitu pada tahun 2004, 2009, dan 2014. Dari ketiga pemilihan tersebut, angka golput mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Pada 2004, proses Pilpres terjadi dalam dua putaran. Angka golput meningkat dari 21,8 persen pada putaran pertama menjadi 23,4 persen pada putaran kedua.
Sri Yuniarti dalam Golput dan Pemilu di Indonesia mengemukakan bahwa lonjakan golput pada 2004 disebabkan oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Megawati serta bangunan sistem politik yang ada pada saat itu, seperti tidak berfungsinya lembaga seperti DPR, DPRD, dan MPR serta maraknya kasus KKN yang melibatkan anggota parlemen.
Pada Pilpres 2009, angka golput mengalami peningkatan sebesar 4,9 persen dari Pilpres sebelumnya menjadi 28,3 persen. Lonjakan golput saat itu lebih dikarenakan kekacauan administratif KPU dalam menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Terakhir, pada 2014 angka golput mencapai 29,01 persen.
Secara umum, angka golput tersebut terjadi karena adanya ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintahan maupun kinerja Pilpres itu sendiri.
Oleh karena itu, angka golput ini bisa jadi tetap masih tinggi pada Pilpres 2019. Salah satunya diindikasikan lewat akun Nurhadi-Aldo. Meskipun demikian, potensi fenomena golput tersebut bukan karena sikap apolitis, melainkan cenderung ideologis.
Bisa jadi fenomena Nurhadi-Aldo ini akan berlanjut pada saat pencoblosan nanti. Tentu saja hal ini mengingatkan kembali pada Pemilu di Mesir tahun 2018. Kala itu, Pemilu di Negeri Para Firaun tersebut menempatkan pemain sepakbola Mesir yang kini memperkuat Liverpool, Mohamed Salah di urutan kedua jumlah suara terbanyak dengan perolehan sekitar 1,7 juta atau setara dengan 7,27 persen.
Padahal, Salah bukanlah kandidat resmi Pilpres saat itu. Ia adalah pemain sepakbola paling terkenal dan sangat dihormati publik Mesir saat ini. Masyarakat Mesir yang datang ke tempat pemungutan suara menuliskan nama Salah di kertas suara. Sementara kandidat resmi gelaran kontestasi elektoral itu adalah petahana Abdel Fattah al-Sisi dan Moussa Mostafa Moussa.
Berdasarkan tulisan di The New Arab, fenomena Salah tersebut menjadi tanda protes terhadap pemerintahan al-Sisi yang kerap melakukan tindakan otoriter terhadap masyarakat baik yang beraliran Islamis seperti Ikhwanul Muslimin maupun kelompok sekuler lainnya.
Tentu saja bukan tidak mungkin fenomena serupa akan terjadi di Indonesia lewat Nurhadi-Aldo. Di tengah kejenuhan terhadap kontestasi Pilpres sangat mungkin nama Nurhadi-Aldo akan dituliskan di kertas suara seperti yang terjadi pada Salah. Menarik untuk ditunggu. (A37)