Site icon PinterPolitik.com

Nuklir Indonesia, Apa Kabar?

Foto: istimewa

“Di atas segalanya, kita perlu menegaskan kembali komitmen politik pada level yang lebih tinggi dalam mengurangi dan mencegah adanya senjata nuklir.” ~ Kofi Annan


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]G[/dropcap]empa bumi berkekuatan 6,3 Skala Richter mengguncang Korea Utara (Korut) dan Tiongkok pada Minggu (3/9) lalu. Disinyalir guncangan itu merupakan dampak ledakan dari ujicoba bom Hidrogen yang dilakukan oleh Korut. Ujicoba ini dilakukan di sebuah gunung yang sudah tidak aktif lagi. Kabarnya, gempa tersebut membuat bebatuan terus berjatuhan ke sebuah desa di Tiongkok hingga kini. Ledakan itu sendiri, ditakutkan juga akan mengaktifkan kembali kawahnya.

Gempa yang berpusat di bagian utara Korut tersebut, ternyata juga dirasakan Indonesia dan terbaca oleh alat pengukur gempa milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Indonesia sendiri telah secara resmi mengecam tindakan ‘nakal’ negara yang dipimpin Kim Jong-un tersebut, karena kelakuannya tidak hanya memprovokasi perdamaian regional, tapi juga dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan, akibat radioaktif yang ditimbulkan.

Walaupun Semenanjung Korea cukup jauh letaknya dengan Indonesia, namun apabila di kawasan tersebut terjadi perang regional, maka Indonesia akan ikut terimbas dampaknya. Apalagi, konon daya jangkau rudal Korut pun bisa sampai ke Indonesia. Padahal sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Anti-Tes Senjata Nuklir (Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty/CNTBT), Indonesia selalu mendorong terciptanya dunia yang aman dari segala bentuk tes serta ledakan senjata nuklir.

Tapi bukan berarti Indonesia tidak punya nuklir, karena sejak era Presiden Soekarno, Indonesia sudah memiliki tiga reaktor nuklir yang digunakan untuk tujuan damai, demi kemajuan dibidang kesehatan dan pertanian. Sebenarnya, energi nuklir pun sangat bermanfaat sebagai sumber energi listrik. Namun ada banyak faktor yang membuat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia terhambat hingga puluhan tahun. Apa saja?

Soekarno dan Teknologi Nuklir

“Bila kita diganggu, seluruh rakyat Indonesia akan maju ke depan dan menggerakkan seluruh senjata yang ada pada kita. Sudah kehendak Tuhan, Indonesia akan segera memproduksi bom atomnya.” ~ Ir. Soekarno

Itulah pernyataan Presiden Pertama Republik Indonesia dalam Kongres Muhammadiyah di Bandung, akhir Juli 1965. Sebagai seorang visioner, Soekarno mengerti bahwa Indonesia membutuhkan nuklir, selain untuk senjata perlindungan diri juga untuk dimanfaatkan ke arah yang lebih positif. Sehingga tahun 1958, ia membentuk Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA) yang pengelolaannya dipercayakan pada G.A. Siwabessy, ahli radiologi Indonesia dengan latar pendidikan di London, Inggris.

Selain membuat blue print pengembangan nuklir nasional, LTA juga memberikan beasiswa bagi para pemuda untuk mempelajari nuklir di berbagai negara. Di tahun itu, Indonesia juga sudah menjajaki kerjasama dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Pada 1964, LTA disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Seiring perubahan paradigma, pada 1997,  BATAN berubah menjadi Badan Tenaga Nuklir Nasional yang memiliki unsur pengawas tenaga nuklir (BAPETEN).

Dengan bantuan Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang Rusia), Indonesia berhasil memiliki tiga reaktor nuklir. Reaktor pertama dibangun di Bandung pada 1965 dengan kapasitas 250 KW, kedua di Yogyakarta pada 1976 berkapasitas 100 KW, dan ketiga di Serpong, Tangerang bertenaga 30 MW pada 1987. Sayangnya, ketiga reaktor nuklir tersebut fungsinya hanya sebatas penelitian. Hanya reaktor di Serpong saja yang menghasilkan radioisotop untuk digunakan dalam dunia medis, yaitu untuk pengobatan kanker.

Beberapa hari sebelum kejadian Gerakan 30 September 1965 (G30S), sebenarnya Indonesia dan Tiongkok sudah menyepakati kerjasama pembuatan bom atom. Berita ini langsung menggemparkan dunia internasional dan mendapat kecaman dari negara-negara Barat, terutama AS dan sekutunya. Namun peristiwa G30S yang berujung pada pergantian kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto, membuat kerjasama tersebut tidak terlaksana hingga hari ini. Bila G30S tidak pernah terjadi, mungkinkah Indonesia menjadi salah satu negara pemilik bom atom?

Mengapa Terhambat? 

“Para produsen minyak menganggap tenaga nuklir sebagai rival mereka, karena dapat menurunkan tingkat keuntungan, sehingga mereka mengeluarkan begitu banyak informasi yang diputar balik mengenai tenaga nuklir.” ~ James Lovelock

Pada tahun 2009, ribuan warga Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah berunjuk rasa menentang rencana pembangunan PLTN di wilayah tersebut. Sebagian besar menolak karena takut tragedi Chernobyl di Rusia dan Fukushima, Jepang akan terjadi juga pada mereka. Aksi penolakan ini juga didukung oleh lembaga swadaya masyarakat, seperti Walhi dan Greenpeace yang ikut menggelar demonstrasi di Jakarta.

Menurut Walhi maupun Greenpeace, nuklir bukanlah alternatif bagi persoalan energi dan lingkungan di Indonesia. Dalam situsnya, mereka mengatakan nuklir bukan merupakan sumber daya energi yang murah. Teknologi reaktor dan persediaan uranium yang tidak banyak, bahkan akan cepat menyusut seiring dengan peningkatan jumlah listrik tenaga nuklir. Apalagi, nuklir juga dapat habis karena ketersediaan uranium di bumi terbatas.

Di sisi lain, Kepala BATAN Prof. Dr. Ir. Djarot Sulistio Wisnusubroto yakin kalau PLTN mampu menjadi sumber tenaga listrik dengan intensitas energi yang tinggi dan sangat besar. Hanya dengan jumlah bahan bakar yang sedikit, PLTN mampu menyediakan tenaga listrik hingga satu gigawatt. Sehingga, ia yakin kalau kebutuhan listrik seluruh Indonesia akan dapat segera tercukupi dan target Indonesia Menyala 2025 akan tercapai melalui PLTN.

Membangun PLTN memang tidak murah, begitu juga dengan pembangkit listrik melalui energi baru terbarukan (EBT), namun Djarot yakin kalau hasil yang diraih PLTN akan jauh lebih besar, lebih efisien, dan tidak membutuhkan banyak tempat seperti pembangkit listrik lainnya. Di samping itu, nuklir memiliki sampah radiasi yang sedikit dan tergolong aman. Bahkan sistem pembuangan sampah radiasi yang ditemukan tenaga ahli Indonesia, telah digunakan di beberapa negara.

Dari segi uranium pun, BATAN menemukan bahwa Indonesia memiliki simpanan uranium yang cukup besar, yaitu sekitar 78 ribu ton yang tersebar di tanah air, beberapa diantaranya di Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Begitu pun dengan tenaga ahlinya, sejak LTA berdiri, Soekarno telah mengirim puluhan anak bangsa ke luar negeri untuk mempelajari nuklir. Begitu juga pada era BJ Habibie, Indonesia memiliki banyak pakar nuklir yang hebat-hebat.

Menurut Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi, MAM Oktaufik, tenaga ahli nuklir Indonesia telah terkenal di seluruh dunia. Bahkan Korsel menjadikan Indonesia sebagai tempat belajar nuklir sebelum membangun PLTN sendiri. Lalu mengapa hingga kini Indonesia sendiri malah belum punya? Pengamat Kelistrikan Indonesia Janto Dearmando, menyatakan dari dulu Indonesia sebenarnya sudah siap. Cuma sosialisasinya saja yang belum berjalan dengan baik, sehingga masyarakat sangat mudah terprovokasi dengan informasi yang salah.

Sebagai organisasi lingkungan, Walhi dan Greenpeace memang berafiliasi dengan lembaga internasional yang anti-nuklir. Sehingga keduanya begitu reaktif saat Indonesia akan membangun reaktor nuklir dan begitu gencar menggalang penolakan massa, namun tutup mulut saat pemerintah membangun PLTU Batubara dan Diesel yang efeknya jauh lebih mengotori lingkungan. Padahal, Janto melihat, kondisi geografis Indonesia memiliki potensi untuk memiliki PLTN.

Jumlah pulau kecil tak berpenghuni Indonesia sangat banyak, lokasinya pun cukup jauh dari pulau yang berpenduduk, sehingga ketakutan akan terjadinya kebocoran radiasi dapat ditangkal. Indonesia juga sudah merencanakan untuk membangun PLTN di pulau-pulau terluar Indonesia. Sebagai langkah awal, tahun ini pemerintah telah mengeluarkan izin bagi BATAN untuk membangun reaktor daya eksperimental (RDE) atau PLTN mini di Serpong dengan daya 3,3 MW listrik yang ditargetkan selesai pada 2022-2023.

Berbeda dengan kasus Semenanjung Muria dulu, kabar pembangunan PLTN mini ini tidak menimbulkan gelombang penolakan seperti beberapa tahun lalu. Menurut Djarot, survei tahunan BATAN menunjukkan kalau penerimaan masyarakat terhadap PLTN sudah semakin meningkat, yaitu mencapai 75 persen di tahun 2016. Sehingga pembangunan PLTN mini yang menarik perhatian investor Tiongkok dan Rusia  ini diharapkan dapat berjalan lancar. Yah, lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali. (R24)

Exit mobile version