Keinginan Gus Yahya untuk merangkul semua golongan politik disebut sebagai upaya menjaga jarak agar stigmatisasi NU adalah PKB tidak kental. Tapi, banyak pihak menduga struktur baru NU seolah ingin mereduksi PKB secara total. Lantas, apakah ini bukti bahwa NU tidak lagi membutuhkan PKB?
Seperti yang telah diketahui formasi struktur Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2022-2027 telah diumumkan. Namun, hasil struktur PBNU mendapatkan atensi publik yang besar, dikarenakan dalam kepengurusan yang dibentuk oleh Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) bersama formatur, tidak ada satupun orang dekat Ketua Umum PKB (Partai Kebangkitan bangsa) Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Yang menariknya, malah dalam struktur baru tersebut terdapat beberapa nama yang justru berasal dari berbagai partai lain. Misalkan, Nusron Wahid yang merupakan politisi Golkar menjadi Wakil Ketua Umum, dan Mardani H. Maming politisi PDIP yang menjabat Bendahara Umum PBNU.
Selain itu, ada juga Mustofa Aqil Siroj dari PPP, diberi amanah menjadi Rais Syuriah PBNU. Kemudian politisi PDIP Nasyirul Falah Amru yang menjadi salah satu Ketua PBNU. Adapun nama yang diafiliasikan masuk sebagai kader PKB yang dianggap bukan bagian dari gerbong Cak Imin, seperti Khofifah Indar Parawansa dan Saifullah Yusuf.
Jika kita lihat, keputusan Gus Yahya seolah menegaskan bahwa PBNU di bawah nahkodanya ingin memperlihatkan adanya jarak antara NU dengan PKB. Seperti yang kita ketahui, sejauh ini NU dengan PKB selalu diasosiasikan sebagai entitas yang tidak terpisah.
Hal ini merujuk secara teoritikal, yang melihat karakteristik partai Islam dari dua hal, pertama asas partai dan yang kedua adalah basis massa partai. Dalam kategori basis massa, sejauh ini PKB dianggap berafiliasi dengan ormas Islam yaitu NU.
Lantas, apakah keputusan tidak mengakomodir orang dekat Cak Imin (dianggap sebagai simbol PKB) di PBNU dapat ditafsirkan bahwa Gus Yahya ingin mengakhiri prasangka publik yang menganggap “jika NU maka PKB”?
Baca juga: Yenny Didukung Kalahkan Cak Imin?
Khittah Nu atau Oportunisme
Jika kita lihat sejarahnya, pasca rezim Orde baru runtuh dan berganti menjadi era Reformasi, peran politik NU mempunyai arah baru. Masykuri Abdilah dalam tulisannya NU dan Islam Politik di Era Reformasi, menjelaskan bahwa kondisi era Reformasi hampir mirip pada kondisi era demokrasi parlementer, terutama kebebasan berekspresi, yang berimplikasi pada berdirinya partai dengan berbagai alirannya.
Hal ini membawa akibat munculnya kembali orientasi Islam struktural dan Islam politik secara bersamaan, dan tanpa hambatan. Ini kemudian berkulminasi menjadi alasan warga NU untuk mendorong terbentuknya PKB. Kebangkitan diambil dari kata Nahdlatul yang berarti sama, yaitu kebangkitan.
Tapi di sisi lain, muncul juga argumentasi yang berlawanan dengan konsep bahwa PKB merupakan ruang politik bagi NU. Berangkat dari tesis tentang NU yang diangkat berdasarkan pernyataan KH Achmad Shiddiq yang menyatakan konsep NU kembali ke khittah, dengan mengatakan bahwa NU ada di mana-mana tetapi tidak ke mana-mana.
Konsep ini ditafsirkan bahwa NU kembali Ke khittah bukan berarti netral melainkan independen. Independen adalah bebas memilih, tidak dipengaruhi oleh salah satu pihak. Sedangkan netral tidak akan mendukung pihak manapun, hanya sekadar menjalankan kewajiban.
Kenapa konsep ini dapat tercipta, disinyalir karena sejak NU memiliki kendaraan politik PKB, secara signifikan tidak ada peningkatan kualitas pengabdian pada umat, bahkan pada NU sendiri. Setelah hampir satu dasawarsa NU melalui PKB-nya dapat mencetak banyak pejabat, lembaga pendidikan dan sosial NU dinilai tidak bertumbuh pesat.
Selain konsolidasi politik, kegiatan jam’iyah-jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) yang sebelumnya menjadi simbol dinamika NU di daerah juga semakin merosot, bahkan banyak daerah yang belum memiliki kantor NU yang representatif.
Rahmi Hasyfi Febrina dalam tulisannya Nahdlatul Ulama: Bebas untuk Oportunis?, mengatakan bahwa bukan rahasia lagi, pencalonan kepala daerah sangat lekat dengan politik praktis, demi keuntungan segelintir orang dalam internal partai.
Karena itu, tidak mengherankan bila calon yang diusung sering kali bukan benar-benar “orang NU” dan bahkan bukan dari PKB, melainkan siapa pun yang dapat “mengakses” dukungan pada pengurus dengan segala “biaya” yang harus dibayar.
Argumentasi yang disampaikan di atas, meyakini bahwa oportunisme yang ditunjukkan itu merupakan strategi agar NU agar tidak terjebak pada satu pilihan politik yang kemungkinan merugikan NU sendiri.
Lantas, mungkinkah faktor oportunisme menjadi satu-satunya alasan untuk menjelaskan fenomena tidak ikut sertanya orang dekat Cak Imin dalam kepengurusan PBNU yang baru ini?
Dedi Kurnia Syah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, mengatakan bahwa sebenarnya Gus Yahya bukan menjauhkan NU dari PKB, tetapi lebih pada upaya menjauhkan NU dari Muhaimin Iskandar.
Argumen ini wajar jika kita lihat secara kronologikal, bahwa saat pemilihan Ketua Umum PBNU pada Desember tahun lalu, muncul narasi yang melihat ada potensi konsolidasi kekuatan politik untuk menggoyang dominasi Cak Imin. Ada upaya untuk menghadirkan konflik lama antara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Cak Imin.
Nalar dari narasi ini bermula dari pandangan bahwa Gus Yahya mempunyai kedekatan dengan keluarga Ciganjur, mengingat dia pernah bertugas sebagai juru bicara Gus Dur. Jika Gus Yahya terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, ada peluang keluarga Ciganjur kembali masuk dalam kontestasi kepemimpinan, terutama dalam konteks kepemimpinan PKB.
Well, begitu rumit sebenarnya melihat konstelasi politik antara pengurus PBNU saat ini dengan PKB di bawah kepemimpinan Cak Imin. Banyak hal yang harus dibaca secara jernih, terutama sikap Gus Yahya dalam komposisi kepengurusannya. Lantas, ada apa di balik sikap politik Gus Yahya ini?
Baca juga: Cak Imin Ikuti Jejak Puan?
Inklusivitas dan Upaya Integrasi
Setidaknya terdapat dua alasan yang dapat ditafsirkan untuk melihat sikap politik Gus Yahya saat membuat komposisi kepengurusan PBNU yang dipimpinnya. Pertama, upaya menghadirkan kader NU dari berbagai partai politik selain PKB adalah upaya merangkul semua kepentingan politik, tentunya ini sikap inklusif bagi parti-partai politik lainnya.
Argumentasi ini berangkat dari sikap Gus Yahya yang menyatakan tidak boleh ada satu warna dalam NU. Semuanya harus bisa mendapatkan kesempatan sehingga NU sendiri bisa jadi semacam warna clearing house untuk menyepakati kepentingan-kepentingan yang berbeda.
Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, mengatakan setidaknya NU tidak hanya terasosiasi ke PKB, terlihat dari banyak kader partai ada di dalamnya, misalnya PDIP, Golkar, PKB, PPP, dan lainnya. Mungkin ini yang disebut Gus Yahya bahwa NU jadi rumah besar bersama semua kader yang tersebar di banyak partai. Sehingga NU tidak dijadikan alat kepentingan politik tertentu.
Hal ini adalah sikap moderatif sekaligus inklusif bagi partai-partai politik selain PKB untuk dapat kesempatan memikat hati pemilih NU yang signifikan di beberapa tempat di pulau Jawa. Tentunya secara bertahap dapat memperlihatkan politik identitas yang melekat antara NU dan PKB bukanlah sebuah keharusan universal yang tak berubah.
Baca juga: Cak Imin Suka Main “Bandul”?
Kedua, tidak melibatkan orang dekat Cak Imin dapat juga ditafsirkan sebagai bentuk strategi politik agar dibukanya ruang diplomasi untuk mendapatkan titik temu di antara kebuntuan kepentingan yang terjadi di masa lalu.
Hal ini dapat diumpamakan dengan strategi trial balloon, di mana layaknya balon yang diletuskan di depan umum akan menyita dan sekaligus memetakan reaksi banyak orang. Letusan wacana akibat tafsir hasil komposisi kepengurusan baru PBNU Gus Yahya tidak hanya ditujukan kepada publik, tapi juga dapat ditafsirkan sebagai upaya membuka ruang diplomasi politik.
Suatu narasi sengaja dilempar untuk melihat reaksi lawan politik, mengandaikan bahwa apakah mereka tertarik atau tidak dengan narasi yang dibentuk. Jika tertarik misalnya, kemungkinan lobi-lobi belakang layar akan dilakukan untuk mengkonsolidasikan kepentingan kedua belah pihak.
Akhirnya, kedua tafsiran dari sikap Gus Yahya yang disinggung di atas dapat ditafsirkan dengan nada yang relatif positif. Pertama sebagai upaya untuk memperlihatkan inklusivitas NU terhadap partai politik kebanyakan.
Yang kedua, sikap untuk membuka ruang integrasi antara PBNU dengan PKB agar semakin solid dan mengikis permasalahan yang pernah menghantui di masa lalu. Dengan demikian, ini bukan permasalahan apakah NU butuh PKB atau sebaliknya, tapi ini upaya menyelaraskan kepentingan internal yang lebih besar. (I76)
Baca juga: Pencarian Jati Diri Cak Imin