Kamis (5/10), Khafid Sirotudin, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah melontarkan gagasan menarik untuk menyatukan NU-Muhammadiyah (NuMu) dan mengusung calon independen di Pilkada Jawa Tengah 2018.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]S[/dropcap]irotudin optimistis, bahwa kesepakatan antara NU dan Muhammadiyah Jawa Tengah dapat terjalin segera. Menurutnya, jumlah gabungan pengurus NU-Muhammadiyah di Jateng ditaksir mencapai 7.000 orang, cukup untuk menjadi mesin politik meraih dukungan 1.781.606 orang sebagai syarat calon independen.
Wacana ini, bagi sebagian orang yang menyimak, adalah hal yang unik. Pertama, dalam sejarahnya NU dan Muhammadiyah sangat jarang bersatu dan berkoalisi dalam politik, baik di daerah maupun di pusat. Kedua, dalam konteks Jateng, kekuatan kecil seperti organisasi non-partai akan kesulitan menghadapi raksasa seperti PDIP, terlebih mereka berpikir untuk maju independen.
Jateng memang provinsi yang strategis. Provinsi ini menempati peringkat tiga dalam jumlah penduduk terbanyak. Perokonomian Jateng pun tumbuh dengan baik di angka 5,28% tahun 2016. Posisi Semarang, sebagai ibukota provinsi, juga sangatlah strategis. Baik jalur darat maupun jalur laut Jawa, semuanya bertumpu pada vitalitas kota Semarang.
Menguasai Jawa Tengah merupakan kunci menguasai pulau Jawa. Disebut-sebut juga, Jawa Tengah adalah ‘benteng terakhir’ PDIP di Jawa. Dengan tumbuhnya penantang alternatif di Jateng, PDIP bisa kehilangan pegangannya sama sekali di pulau Jawa. Mungkinkah?
Dua Poros Islam dalam Peta Jateng
Walaupun Pilkada Jateng 2018 disebut akan adem ayem saja oleh pengamat politik Universitas Diponegoro, Teguh Yuwono, namun gelora kompetisi mulai meninggi.
PDIP, melalui hasil seleksi internalnya, akhirnya mengusung Ganjar Pranowo kembali. Tidak aneh, Ganjar Pranowo adalah gubernur populer dengan elektabilitas yang tinggi, mencapai 59,6%. Meskipun begitu, PDIP masih sendirian. Hanya PPP yang terdengar masih membuka komunikasi politik dengan PDIP.
Survei Pilgub Jateng yang digelar LKPI menyebut Ganjar Terpopuler, Tapi jeblok di kinerja. https://t.co/qRUTQhuvDe
— Jawa Pos (@jawapos) September 30, 2017
Kemudian, ada Sudirman Said yang kemungkinan akan ditandemkan dengan Ferry Juliantono oleh Gerindra dan PKS. Keduanya adalah tokoh nasional, menggambarkan betapa strategisnya Jateng bagi Gerindra-PKS. Kedua partai ini juga sudah mulai melobi partai lain untuk ikut barisannya, seperti Demokrat, PAN, dan Golkar. Dari ketiga partai tersebut, hanya PAN yang sudah mulai memberi lampu hijau bagi Sudirman-Ferry. Demokrat dan Golkar masih abu-abu dan belum menentukan pilihan sampai saat ini.
Sementara itu, nama Marwan Jafar, mantan menteri desa, kemudian muncul mewakili para santri. PKB, dengan demikian sudah menambatkan hati padanya. Dorongan mengusung Marwan hadir dari internal partai, terutama kader-kader mudanya. PKB bersama Marwan juga sudah mulai memasarkan diri ke parpol-parpol lain untuk meraih dukungan.
Terakhir yang bersuara, ada bakal kerjasama independen NU-Muhammadiyah, yang bila sukses terbentuk, adalah kekuatan alternatif yang menarik. Peran koalisi independen akan sangat bergantung pada proses mereka meraih suara-suara yang tidak terjaring oleh partai politik besar. Calon-calon besar sekalipun, biasanya akan berkampanye ke lumbung massa Ormas Islam, berkat signifikansi suaranya. Karenanya, ketika berdiri dalam koalisi independen, NuMu dapat menjadi kekuatan politik yang efektif.
NuMu pun, secara jelas menolak dukungan politik terhadap Ganjar. Fakta ini tak terlepas dari adanya ‘masalah’ yang sempat timbul antara keduanya dengan Ganjar. NuMu sempat bersilang sikap dengan Ganjar terkait polemik Semen Kendeng, Rembang. Kedua ormas ini menolak adanya penerbitan kembali izin terhadap PT Semen Indonesia. Dihadapan Muhammadiyah sendiri, kedatangan Ganjar bahkan pernah ditolak oleh mahasiswa UMY (Yogyakarta). Keduanya memiliki motif untuk menolak Ganjar dan bekerja sama menyatukan poros Islam di Jawa Tengah.
“Nothing binds a people to their leader like a common enemy. Voters don’t change governments during war.”
-Harvey Fierstein-
Namun, melihat kasat mata kiprah NuMu, publik juga sadar keduanya tidak pernah sungguh akur. Di tingkat nasional saja misalnya, pernah terjadi ‘perebutan’ mengisi kursi jabatan di UKP-PIP, di antara Din Syamsudin dan Said Aqil Siraj. Polemik pembentukan Full Day School pun sempat jadi bola panas perkara sang menteri pendidikan dari Muhammadiyah dengan sang ketua MUI dari NU. Tradisi tidak akur ini sudah jadi stigma publik pada umumnya.
Keduanya akur dalam beberapa kesempatan saja, serta dalam kerja bersama program pemerintah, seperti silang budaya dan kerukunan umat beragama. Tujuan sosial mampu mengikat NuMu selama ini. Namun, dalam perkara Jawa Tengah 2018, keduanya dapat benar-benar akur dalam tujuan politik. Menjatuhkan PDIP bersama bisa menjadi alasan akurnya mereka.
Mungkinkah NU-Mu Menantang PDIP?
Seperti yang pernah terucap oleh Rizal Ramli seputar Pilkada Jawa Tengah tahun 2013 lalu, gabungan NU dan Muhammadiyah bisa menjadi sinergi yang luar biasa di Jawa Tengah. Keduanya memiliki ribuan amal usaha, yang apabila diakumulasikan dapat dijadikan mesin politik yang besar. Karenanya, tentu itu merupakan modal politik yang mumpuni apabila jemaah kedua ormas mampu bersatu.
Muhammadiyah adalah ormas yang bertumbuh kembang dengan subur di Jawa Tengah. Kendati demikian, Ketua PW Muhammadiyah Jateng Tafsir, sempat pesimis dengan Pilgub Jateng mendatang, tatkala melihat dominasi PDIP. Tokoh internal yang minim prestasi disebut-sebut juga membuat Muhammadiyah urung semangat sejauh ini.
Sikap politik yang berbeda ditunjukkan oleh pengurus dan aktivis muda NU Jawa Tengah. Aktivis Muda NU Jateng sempat berujar menginginkan adanya konvensi cagub melalui PKB. Tak lama, NU telah menyatakan dukungan terbuka, bersama PKB, untuk mendukung Marwan Jafar. Bisa pula dikatakan, ada andil pihak NU dalam mengusung calon PKB ini.
Apabila konsolidasi elit terjalin dengan baik nantinya, bukan tidak mungkin mereka akan memikirkan calon segera. Calon dari NU, Marwan Jafar bisa saja disandingkan dengan tokoh internal maupun eksternal Muhammadiyah, apabila persyaratan terpenuhi. Kemudian, konsolidasi massa mulai dapat dilakukan. Basis Islam Jawa Tengah bisa saja dikontestasikan dengan basis nasionalis PDIP, menggunakan klaim kegagalan pemerintahan Ganjar.
Ini Alasan PKB Usung Marwan Jafar di Pilgub Jateng 2018 https://t.co/mmtsB8jnZU pic.twitter.com/U6AzXgWT0Y
— Okezone (@okezonenews) September 19, 2017
Masalahnya, secara angka pemilih, PDIP menang telak pada Pilkada Jateng tahun 2013, sekalipun tanpa koalisi. Basis nasionalis nyatanya cukup besar di Jateng dan mereka adalah pemilih yang konsisten. Memang, pemilih berbasis Islam pun sama setianya. Namun, jumlah pendukungnya nyatanya belum mampu mengungguli partai-partai besar lainnya, jangankan PDIP.
PDIP juga terbukti sukses di banyak daerah kota/kabupaten di Jateng. Di Surakarta, misalnya, PDIP memenangkan F.X. Hadi Rudyatmo tanpa koalisi di tahun 2015. Di Magelang, PDIP berhasil memenangkan Zaenal Arifin, juga tanpa koalisi di tahun 2013. Semarang, ibu kota provinsi, pun dikuasai oleh PDIP, namun dengan koalisi Nasdem dan Demokrat. Di samping tiga kota tersebut, PDIP juga merajai Boyolali, Demak, Grobogan, Klaten, Purbalingga, Pekalongan, Pemalang, Sukoharjo, Wonogiri, Kota Pekalongan, dan Kabupaten Semarang.
Dalam perhelatan pemilihan kepala-kepala daerah di Jateng sebelumnya, PDIP hanya kalah di sedikit sekali kota/kabupaten. Dominasi yang luar biasa dari PDIP Jateng ini membuat PDIP ditakuti sekaligus dijauhi. Lawan politik PDIP bisa beramai-ramai mengeroyok, tapi keperkasaan PDIP terbukti di hampir seluruh penjuru Jawa Tengah.
Keuntungan yang dimiliki oleh lawan-lawan PDIP, termasuk calon independen, adalah bahwa PDIP hampir selalu bekerja sendiri. Terbukti, tidak ada (atau belum ada) satu pun partai yang mau berkoalisi dengan PDIP di Jateng sejauh ini.
Bila ingin nyaman, kantong-kantong massa organisasi seperti NU dan Muhammadiyah bisa bergabung dengan PDIP. Tetapi tidak. Mereka memilih berseberangan dan menantang PDIP.
Mungkinkah PDIP menjadi common enemy yang menyatukan dua poros Islam arus utama ini?
Strategi Jitu Melawan Raksasa PDIP
Meski digadang-gadang sebagai Pilgub terpasif se-Jawa, menarik melihat geliat partai-partai oposisi PDIP dan menerka strategi politik mereka nanti. Timbulnya ide untuk membangkitkan calon independen oleh NuMu bisa jadi adalah strategi mereka untuk menjaring suara lebih dalam lagi.
Ketika NU dengan mantap mengikuti calon yang diusung PKB, Muhammadiyah malah mengabaikan pilihan PAN atas Sudirman-Ferry. Muhammadiyah, yang adalah basis massa PAN justru ingin mengusung calon independen lain. Bisa diduga, adalah strategi PAN untuk membiarkan Muhammadiyah berkoalisi secara independen dengan NU.
Melihat ke provinsi tetangga, Jawa Timur, NU-Muhammadiyah telah satu kubu membela Gus Ipul. Walaupun tidak independen dan berada di bawah naungan koalisi parpol, kedua Ormas telah terbukti mulai menjalin kerja sama politik. Bukan tidak mungkin, ini adalah koalisi yang sama, yang kali ini harus menggunakan strategi lebih matang untuk menjatuhkan PDIP yang superpower di Jawa Tengah.
“You win by working hard, making tough decisions and building coalitions.”
-John Engler-
Karenanya, inisiatif PW Muhammadiyah Jateng untuk ‘mengundang’ NU dalam koalisi independen mungkin bernilai taktis. Tidak hanya menambah ramai Jawa Tengah, strategi ini ingin memecah suara petahana yang begitu besar dengan memberikan opsi calon lebih banyak kepada konstituen. Sebuah strategi yang berhasil dilancarkan Demokrat di Pilgub DKI kemarin.
Dengan demikian, mungkinkah ada ‘kekuatan politik’ yang sama di balik ini, yang mendesain keruntuhan petahana di DKI, yang juga sukses menjodohkan NU-Muhammadiyah di Jatim? Menarik untuk terus disimak. (R17)