HomeNalar PolitikNU dan Muhammadiyah: Berbeda Dalam Satu

NU dan Muhammadiyah: Berbeda Dalam Satu

Walaupun banyak pandangan yang bersebrangan, namun ada satu benang merah yang menyatukan keduanya. Antara NU dan Muhammadiyah sama-sama memiliki sikap yang toleransi dengan agama lain, tidak berat sebelah dan menjalankan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]N[/dropcap]U dan Muhammadiyah adalah sebuah organisasi masyarakat yang bergerak pada bidang keagamaan atau lebih tepatnya adalah sebuah organisasi masyarakat agama Islam yang ada di Indonesia. Jika melihat jejak rekam dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini, satu hal yang kerap kali ditemukan adalah masalah perbedaan pola pandang.

Baru-baru ini keduanya mengalami perbedaan pandangan lagi dalam sebuah pembahasan polemik terkait penerapan program full day school yang menuai kontroversi. Seperti yang diketahui, program full day school yang diatur dalam Permendikud Nomor 23 tahun 2017 ini tidak hanya mendapat protes dari masyarakat, juga mendapatkan catatan dari Kementerian Agama, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak karena tidak sinkron.

Perihal polemik tersebut, NU dan Muhammadiyah mempunyai perbedaan pendapat yang bersebrangan. NU secara tegas menolak diterapkannya program full day school ini, sementara Muhammadiyah justru mendukung Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 ini. Bahkan, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memutuskan untuk menerapkan kebijakan pemerintah terkait sekolah delapan jam sehari lima hari sepekan di lembaga pendidikan ormas Islam tersebut.

Perbedaan tersebut bukanlah tanpa sebab, menurut Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, di Gedung PBNU terkait penolakan NU dalam program full day school ini,  karena akan banyak lembaga pendidikan yang mendapatkan dampak buruk. Menurut dia, sekolah seharian tidak cocok jika dikaitkan dengan penguatan karakter siswa melalui pendidikan selain itu fakta di lapangan menunjukkan banyak sekolah yang belum siap menerapkan sistem full day school, seperti terkait fasilitas penunjang.

Sedangkan menurut Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Baedhowi, keputusan Muhammadiyah untuk mendukung program full day school ini sejalan dengan program yang telah diterapkan disekolah Muhammadiyah sejak lama. Baedhowi juga menjelaskan, program sekolah lima hari memiliki tujuan mulia, di antaranya seperti menguatkan nilai-nilai religiusitas, nasionalisme, kemandirian, gotong royong, dan integritas menuju Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).

Baedhowi juga menambahkan, sekolah lima hari selaras dengan penguatan karakter siswa yang bermoral, beretika dan berbudi luhur. Menurutnya, sekolah lima hari memiliki visi untuk menciptakan generasi bangsa di tahun 2045 dengan keterampilan yang meliputi karakter berkualitas, literasi dasar dan kompetensi 4C (critical thinking, creativity, communication, dan collaboration).

Perbedaan Yang Sudah Mengakar

Mengenai dunia pendidikan, NU dan Muhammadiyah memang mempunyai cara belajar yang berbeda. Warga nahdliyin memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak, melainkan juga kunci dalam memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ada dua lembaga pendidikan yang dibuat oleh warga Nahdliyin, yaitu sekolah atau madrasah dan pesantren.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pendidikan yang dibuat oleh NU pun merupakan pendidikan yang menjunjung tinggi kearifan lokal, sehingga tidak heran jika ada pendidikan modern yang dicampur adukan dengan kebudayaan seperti mitos atau larangan yang sudah melekat di hati rakyat.

Berbeda dengan NU, Muhammadiyah yang warganya banyak mengenyam pendidikan formal mempunya kesan lebih rasional dan objektif. Mereka memilih partai yang mereka pikir benar. Jika dalam perjalanan partai yang dipercaya tersebut tidak sesuai dengan rasio mereka, maka warga Muhammadiyah akan meninggalkan partai tersebut.

Memang benar jika dikatakan bahwa perbedaan pendapat keduanya sudah mengakar, bahkan sejak awal didirikan keduanya pun sering berbeda pola pandang. Jika ditelusuri lebih dalam, pangkal perbedaan itu adalah perbedaan mereka dalam memahami prinsip-prinsip dasar metodologi penetapan hukum. Perbedaan awal ini lahir akibat perbedaan cara pandang, yang selanjutnya berkonsekuensi pada perbedaan cara menetapkan hukum dan selanjutnya produk hukum itu sendiri.

Selain itu juga, faktor perbedaan keduanya ada di tujuan dakwahnya ada di letak geografis masyaratnya. Jika NU lebih memilih berdakwah kepada masyarakat menengah kebawah yang cederung tinggal di pedesaan, sementara untuk Muhammadiyah lebih banyak diisi oleh masyarakat yang terpelajar dan tinggal di daerah perkotaan.

Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (al-mazhab) dari Mazhab Abu Hanifah AlNu’man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbali. Dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam alJunaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali, serta imam-imam yang lain. Ulama-ulama NU berperan sebagai agen perubahan sosial yang dipahami secara luas telah memelihara dan menghargai tradisi lokal dengan cara mensubordinasi budaya tersebut ke dalam nilai-nilai Islam.

Sementara Muhammadiyah mengaplikasikan Islam yang lebih modern, di mana lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir Islam modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida sekaligus pemikir salaf seperti Ibnu Taymiah, Muhammad bin Abdul Wahab lebih menggunakan pendekatan pendidikan dan transformasi budaya. Sejak didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, satu pelajaran yang paling penting dari kepemimpinan Ahmad Dahlan adalah komitmen kuatnya kepada sikap moderat dan toleransi beragama.

Perbedaan yang disebutkan terakhir akan berhilir pada perbedaan ritual keagamaan sehari-hari (amaliyah yaumiyyah). Perbedaan ritual ini, akibat tidak dipahami dengan benar dan bijak, hasilnya membuat kedua simpatisan Muhammadiyah dan NU dalam posisi saling berhadap-hadapan. Dari sinilah awal mula timbulnya friksi tersebut.

Dampak Dari Perbedaan Ideologi

Memperbincangkan tentang ranah perbedaan antara kedua organisasi sosial keagamaan, membuat keduanya seakan memiliki jarak satu sama lain yang pada akhirnya mengganggu silaturahmi dan menimbulkan kecurigaan dikalangan masyarakat yang menjadi anggota atau menggunakan ideologi keduanya.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Salah satu contoh kecil  kerugian  itu adalah misalnya  mengganggu silaturahmi. Warga NU tidak begitu  mudah diterima bekerja di lembaga Muhammadiyah,  dan sebaliknya. Orang Muhammadiyah tidak mudah diterima di sebuah departemen, jika pimpinan departemen itu warga NU.

Selain itu, NU ketika shalat jumat, adzannya dilakukan dua kali, sedangkan Muhammadiyah hanya sekali saja. Setelah shalat fardhu, para masyarakat NU selalu berdzikir bersama, sedangkan Muhammadiyah tidak melakukan itu. NU membiasakan juga membaca puji-pujian menjelang shalat berjamaah, sedangkan Muhammdiyah tidak. Untuk menentuikan awal puasa atau mengakhirnya, Muhammadiyah melakukan keputusan dengan pendekatan hisab, sedangkan NU menggunakan rukyat. Hasilnya kadang sama, tetapi sekali-kali  berbeda.

NU dan Muhammadiyah: Berbeda Dalam Satu

Di ranah politik modern, perdebatan NU dan Muhammadiyah muncul dalam masa OrBa. Di mana pemerintah memisahkan NU dan Muhammadiyah selalu pada jarak agama Islam yang berbeda dalam visi dan misi.

Di masa reformasi, NU sempat mengalami masa gemilangnya ketika di mana KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dipilih menjadi Presiden RI. Namun pada akhirnya, Amien Rais yang dikenal sebagai tokoh berpengaruh di Muhammadiyah menurunkan orang yang sangat dihormati di NU tersebut dari kursi jabatannya sebagai Presiden RI, sehingga muncul lah ketegangan yang merata diseluruh Indonesia. Pada saat itu hubungan pun menjadi panas dan banyak masyarakat Muhammadiyah jadi sasaran amuk massa NU.

Berbeda Tanpa Harus Bermusuhan

Kembali lagi pada konsep awal keduanya, NU dan Muhammadiyah adalah organisasi bukan masalah fiqih. Hanya dalam konteks di Indonesia, NU dan Muhammadiyah mewakili dua golongan besar umat islam secara fiqih juga.

Walaupun banyak pandangan yang bersebrangan, namun ada satu benang merah yang menyatukan keduanya. Antara NU dan Muhammadiyah sama-sama memiliki sikap yang toleransi dengan agama lain, tidak berat sebelah dan menjalankan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya.

Seperti menurut budayawan nasional Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun. NU dan Muhammadiyah itu sebenarnya tidak ada bedanya, karena Muhammadiyah itu artinya berkarakter Muhammad sementara NU bermakna kebangkitan ulama.

“Jadi kalau sudah ikut Muhammadiyah, otomatis jadi NU, jadi ulama. Sebaliknya, kalau ikut NU puncaknya ya jadi Muhammadiyah, berkarakter Muhammad. Jadi ayo bareng-bareng bangun Indonesia,” tutur pada kegiatan ‘Sinau Nuzulul Quran’ di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Semangat dalam gerakan dakwah untuk menyampaikan ajaran Islam semata – mata tidak boleh mengganggu kesatuan dan persatuan umat, umat harus tetap bersatu. NU dan Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan yang juga menjadi pelaku serta saksi dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan, jadi keduanya biarlah menjadi wadah dan pengontrol untuk para umat muslim di Indonesia dalam melakukan kehidupannya. (A15)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Bukti Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”

PinterPolitik.com mengucapkan Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia ke 72 Tahun, mari kita usung kerja bersama untuk memajukan bangsa ini  

Sejarah Mega Korupsi BLBI

KPK kembali membuka kasus BLBI yang merugikan negara sebanyak 640 Triliun Rupiah setelah lama tidak terdengar kabarnya. Lalu, bagaimana sebetulnya awal mula kasus BLBI...

Mempertanyakan Komnas HAM?

Komnas HAM akan berusia 24 tahun pada bulan Juli 2017. Namun, kinerja lembaga ini masih sangat jauh dari harapan. Bahkan desakan untuk membubarkan lembaga...