Tidak dapat diragukan lagi, Nahdlatul Ulama (NU) telah berperan besar atas kemenangan Jokowi di Pilpres 2019. Ini tidak terlepas dari dipilihnya ulama senior NU, Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden untuk menepis tudingan anti Islam yang menyeruak pada masa kampanye Pilpres lalu. Namun, banyak pertanyaan muncul setelah ormas tersebut belakangan mulai makin sering mengkritik Jokowi dan menempatkan diri sebagai oposisi.
PinterPolitik.com
Publik tentu mengingat perihal Menko Polhukam saat ini, Mahfud MD ketika tidak jadi ditunjuk sebagai pasangan Jokowi dalam tarung Pilpres 2019 lalu. Dan mungkin banyak dari kita terkejut ketika nama Ma’ruf Amin yang justru ditunjuk sebagai pasangan mantan Wali Kota Solo tersebut.
Atas fenomena tersebut, setidaknya terdapat dua alasan utama yang disebut sebagai faktor utama mengapa Ma’ruf lebih dipilih ketimbang Mahfud. Pertama, pada saat itu disebut terdapat “ancaman” dari pihak tertentu yang menyebutkan bahwa NU tidak akan mendukung Jokowi apabila tidak menunjuk calon wakil presiden dari kadernya.
Menariknya, dalam keterangan Mahfud di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 14 Agustus 2018 lalu, pihak tersebut salah satunya ternyata adalah Ma’ruf.
Kedua, dan ini yang terpenting, pada saat itu posisi Jokowi dapat disebut tengah terdesak menimbang pada tuduhan anti-Islam yang disematkan kepadanya. Alhasil, atas dorongan partai-partai pendukung, ditetapkanlah Ma’ruf yang juga berposisi sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pasangan Jokowi guna menepis tudingan tersebut.
Selaku organisasi Islam yang mengklaim memiliki massa sebanyak 40 juta orang atau yang terbesar di Indonesia, tentu mudah saja untuk memahami bahwa NU benar-benar memiliki kekuatan politik yang dapat mempengaruhi laju tarung politik nasional pada saat itu.
Sehingga tidak heran, berbagai manuver politik, telah lama dilakukan Jokowi dalam upaya mendekatkan diri dengan NU. Misalnya saja ketika ia menyetujui penetapan hari Santri Nasional, yang disebut oleh berbagai pihak sebagai permintaan dari NU.
Melihat peta kepentingan atau agenda politiknya, NU dengan Jokowi memang sejatinya memiliki kedekatan. Yang paling kentara adalah keduanya sama-sama menolak konsep khilafah, yang mana hal ini terlihat jelas dengan dicabutnya izin Hitbuz Tahrir Indonesia (HTI) – organisasi yang paling vokal menggaungkan berdirinya khilafah.
Kendati keduanya dapat disebut memiliki patform politik yang sama, namun, diktum politik praktis yakni gain power atau “meraih kekuasaan” yang berkonsekuensi pada berlakunya politik oportunis sepertinya membuat kesamaan platform antara Jokowi dan NU tersebut tidak begitu mengikat.
Ini terlihat jelas dari kacamata berbagai kalangan yang menilai bahwa NU hanya dijadikan kendaraan politik di Pilpres 2019.
Contoh paling nyata atas hal ini adalah diberikannya posisi Menteri Agama (Menag) kepada Fachrul Razi yang berlatar belakang militer. Penunjukkan tersebut tidak hanya menandai Menag dari militer pertama sejak reformasi, melainkan juga memutus tradisi pengangkatan Menag dari sosok yang berafiliasi dengan NU.
Seperti yang dapat ditebak, NU melalui berbagai pihak menyampaikan kekecewaannya terhadap putusan tersebut. Kekecewaan tersebut misalnya dilontarkan oleh cucu KH Hasyim Asy’ari – salah satu pendiri NU – yang juga merupakan salah satu Ketua Pengurus Besar NU (PBNU), Aizzudin Abdurrahman (Gus Aiz) bahwa penunjukan Menag tersebut adalan alasan dari kekecewaan para masyayikh dan kiai NU.
Menariknya, dalam kesempatan yang sama, Gus Aiz juga menegaskan bahwa ke depannya NU akan bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Tomy C. Gutomo – wartawan senior sekaligus pengusur Ikatan Sarjana NU (ISNU) Jawa Timur – dalam opininya di JawaPos juga menjabarkan hal serupa bahwa kekecewaan NU dilatari karena keringat mereka dalam memenangkan Jokowi tidak terbayarkan di susunan kabinet, bahkan dengan menyebut tidak terdapat representasi NU di sana.
Konteks kekecewaan tersebut juga dapat dilihat dari janji pemerintah yang disebut akan memberikan kredit murah senilai Rp 1,5 triliun, namun sampai sekarang janji tersebut tidak kunjung dipenuhi.
Artinya, dapat disimpulkan bahwa kekecewaan NU terhadap pemerintah besar kemungkinan adalah preseden atas penegasan NU untuk bersikap kritis terhadap pemerintah.
Hal ini kemudian terbukti, dalam berbagai kesempatan NU terlihat melontarkan kritik terhadap pemerintah. Dua kritik terbaru berasal dari Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj yang menyebut pemerintah tidak memiliki perhatian khusus untuk mengurangi ketimpangan ekonomi. Said Aqil juga mengkritik pemerintah agar tidak lembek atas konflik Natuna yang melibatkan Tiongkok.
Menimbang pada pernyataan Gus Aiz yang akan mengkritik pemerintah selepas kekecewaan NU terkait Menag – dan memang terbukti terjadi – nampaknya memperlihatkan bahwa NU tengah memposisikan diri berseberangan dengan Jokowi. Benarkah demikian?
NU Lemah secara Politik?
Ian McKee, seorang psikolog sosial dari Adelaide University memberikan definisi yang menarik terkait faktor psikologis apa yang memotivasi “pembalasan”. Menurutnya, seseorang yang melakukan pembalasan terjadi karena ia sebenarnya dimotivasi oleh keinginan untuk berkuasa, atau hasrat akan status.
Mengangkat definisi McKee tersebut ke dalam tatanan politik, sepertinya membuat jelas persoalan pernyataan NU terkait sikap kritis yang ditegaskan sangat mungkin adalah buah dari keinginan status terkait Menag yang tidak tercapai.
Pada konteks ini, nampaknya NU dapat dikatakan telah “dikhianati” oleh pemerintah. Menariknya, Eriyanto dalam Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, menyebutkan bahwa NU sepanjang sejarahnya kerap dikhianati oleh pemerintah, yang salah satu contohnya adalah pemakzulan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari posisinya sebagai presiden.
Greg Fealy dari Australian National University dalam tulisannya Nahdlatul Ulama and the Politics Trap, juga memberikan pernyataan senada dengan Eriyanto. Menurutnya, kendati NU adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia, nyatanya itu tidak pernah membuatnya memiliki posisi yang kuat di pemerintahan.
Dalam perkembangannya, kemampuan NU untuk memiliki kekuatan politik yang luas justru dibatasi semenjak terjadinya PKB-isasi di ormas tersebut. PKB-isasi menunjuk pada pertalian yang makin kuat antara pengurus di PBNU dengan PKB sebagai partai politik.
Menurut Fealy, sejak berakhirnya era Orde Baru pada tahun 1998, PBNU menjadikan PKB sebagai afiliasi utama nahdliyyin atau warga NU.
Gus Dur sendiri pada 2003 lalu menyebutkan bahwa NU dan PKB memiliki hubungan historis dan budaya yang dekat, dan menyebut yang membedakan keduanya hanyalah bentuk organisasinya.
Dengan adanya PKB-isasi tersebut, saat ini PKB dipandang sebagai representasi NU di dalam pemerintahan. Hal ini misalnya terlihat jelas dari pernyataan Sekretaris Badiklatpus PDIP, Eva Kusuma Sundar yang menyebutkan keterwakilan NU di kabinet berasal dari PKB.
Menimbang pada suara PKB yang hanya menempati posisi kelima di Pemilu 2019, tentu saja ini membuat daya tawar partai tersebut dan juga NU menjadi tidak begitu besar dibanding PDIP, Golkar, Gerindra, ataupun Nasdem.
Singkat kata, seperti dalam diktum politik praktis yang berlaku secara oprtunis, kekecawaan NU akan kabinet ataupun janji kredit murah tidak terlepas dari kalahnya suara PKB dari partai besar lainnya. Suka tidak suka, identiknya NU dengan PKB telah membuat kekuatan politiknya tereduksi atau berkurang.
Kelanjutan NU-Jokowi
Melihat pada sejarah ataupun dinamika politik saat ini, di mana NU tidak menempati posisi yang kuat secara politik – sekalipun telah ada Ma’ruf Amin di kursi wapres – ini tentu menjadi pertanyaan tersendiri terkait bagaimana organisasi Islam tersebut kuat berhadapan pemerintah, misalnya dengan menjadi oposisi.
Terkait konteks Ma’ruf Amin, persoalannya terlihat dari tak banyak tampilnya sang kiai beberapa waktu terakhir. Ma’ruf juga terlihat makin “inferior” jika dibandingkan dengan Jokowi.
Persoalan ini sendiri cukup dilematis menimbang pada PKB merupakan bagian dari koalisi pemerintah. Artinya, menempatkan diri sebagai oposisi tentu saja menjadi manuver politik yang dapat membahayakan posisi PKB di pemerintahan.
Dengan demikian, jika NU ingin menempatkan dirinya sebagai oposisi, relasi dekatnya dengan PKB nampaknya harus mulai dikurangi bahkan diputus. Namun, mungkinkah hal tersebut terjadi? Sepertinya akan sulit.
NU sudah terlalu identik dengan PKB – hal yang sebetulnya telah cukup hati-hati dijaga oleh para kiai dari ormas tersebut, termasuk Gus Dur, ketika mendirikan PKB di tahun 1998. Greg Fealy menyebut para kiai kala itu sebetulnya masih sangat mempertimbangkan pentingnya intisari Muktamar NU 1984 di Situbondo yang ingin memberi jarak kiprah ormas dengan politik praktis.
Namun, konteks tersebut berubah total ketika Muhaimin Iskandar menjadi Ketua PKB dan memperkuat pertaliannya kembali dengan NU.
Yang jelas, semuanya akan bergantung dari bagaimana perlakuan Jokowi terhadap Ormas ini dalam beberapa waktu ke depan. Jika masih memberi jarak, maka bukan tidak mungkin NU akan terus melancarkan kritik padanya.
Pada akhirnya mungkin dapat dipahami bahwa pada konteks tertentu – melalui berbagai kritiknya – NU dapat disebut sedang menunjukkan geliat ketidakpuasan politik. Akan tetapi, melihat pada skalanya, berbagai kritik tersebut nampaknya tidak akan membesar pada titik yang akan membuat NU menjadi oposisi terhadap pemerintah, setidaknya dalam waktu dekat. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.