Pidato Said Aqil Siraj berpotensi memperlebar jurang identitas NU dan non-NU. Dalam hal ini, Jokowi mungkin tak diuntungkan
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]ada hari Minggu lalu, di hadapan ribuan ibu-ibu yang tergabung dalam jaringan Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Said Aqil Siraj menyampaikan pidatonya selaku pimpinan utama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Dalam pidato tersebut, sang kiai menyampaikan beberapa gagasan kebangsaan layaknya pidato-pidato pada umumnya. Namun, orasinya di beberapa bagian akhirnya harus menyulut respons kontroversial bagi sebagian orang.
Ia mengatakan bahwa NU harus berperan di semua bidang agama, dan mesti mendominasi. Imam masjid, khatib, pejabat KUA, hingga Menteri Agama, harus yang berasal dari tradisi NU.
Seperti dikutip dari laman NU Online, Said Aqil berujar, “Peran agama harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA (kantor urusan agama), menteri agama, harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, (nanti dianggap) salah semua: nanti banyak (tuduhan) bid’ah kalau selain NU. Ini bid’ah nanti. Tari-tari sufi (dituduh) bid’ah nanti”, begitu pekiknya.
Apa iya NU anak emasnya Jokowi? Share on XSayangnya, ujaran tersebut direspon sinis oleh beberapa pihak. Salah satunya adalah datang dari Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, yang mengatakan bahwa ucapan ketua umum PBNU tersebut tidak mencerminkan akal sehat.
Ia bahkan menuduh, apa yang disampaikan oleh Said Aqil adalah upaya untuk mengambil dan meraup semua jabatan dan posisi yang ada di negeri ini untuk NU. Ia juga menuduh apa yang dia katakan itu sudah beliau kerjakan dan itu terlihat dari komposisi pejabat yang ada di Kementerian Agama.
Menurutnya, pejabat eselon satu dan dua di Kemenag saat ini tak ada yang berasal dari tradisi Muhammadiyah, begitu juga posisi-posisi rektor-rektor di UIN dan IAIN.
Di tengah perdebatan kedua ormas islam terbesar di Indonesia ini, muncul kritik serupa dari sang wakil Presiden, Jusuf Kalla. JK tidak setuju dengan pernyataan Said Aqil tersebut dan menyarankannya untuk memberikan klarifikasi secara luas.
Sebagai seorang tokoh publik, wajar jika pernyataan sang Kiai akan memunculkan tensi sebesar ini, bahkan berpotensi memicu timbulnya konflik sosial baru.
Lalu benarkah tuduhan yang diutarakan oleh tokoh Muhammadiyah tersebut? Bagaimana konsekuensi pernyataan sang ketua umum PBNU terhadap potensi terjadinya kecemburuan sosial-politik?
NU, Si Anak Emas
Sebagai salah satu ormas islam terbesar di Indonesia, wajar jika NU memang dekat dengan kekuasaan. Terlebih, pada saat naiknya Jokowi ke tampuk kekuasaan, NU disebut-sebut merupakan mesin politik utama sang mantan gubernur DKI.
Hal ini sempat diungkapkan oleh Greg Fealy dalam sebuah tulisan berjudul Nahdlatul Ulama and the Politics Trap yang menyebut bahwa NU terlalu menikmati kedekatannya dengan kekuasaan. Ormas ini memiliki akses istimewa ke koridor kekuasaan dan merupakan penerima manfaat terbesar dari negara, di mana NU menikmati layanan dan peluang yang dapat diberikannya kepada keanggotaannya secara luas.
Memang selama ini Jokowi memberikan banyak keistimewaan-keistimewaan bagi NU dan PKB –sebagai partai terafiliasi NU– dibandingkan ormas-ormas yang lain.
Hal tersebut dapat dilihat dari komposisi jajaran menteri misalnya. Posisi yang diisi oleh kader-kader NU memang terlihat cukup banyak. Sebut saja Muhammad Nasir menduduki jabatan sebagai Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi, Hanif Dhakiri sebagai Menteri Ketenagakerjaan, Imam Nahrawi sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, Marwan Ja’far menjadi Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Ada juga Lukman Hakim Saifuddin yang dipertahankan menjadi Menteri Agama sejak era SBY. Selain itu, ada pula Khofifah Indar Parawansa yang kini menjadi Gubernur Jawa Timur terpilih sempat menduduki jabatan sebagai Menteri Sosial. Di luar menteri Kabinet Kerja, ada nama politisi Golkar, Nusron Wahid sebagai kepala BNP2TKI. Banyak kader NU di lingkar kekuasaan membuat wajar jika publik menganggap kini eranya rezim NU.
Jika dikaitkan dengan sikap sang ketua umum PBNU dalam pidatonya, maka wajar jika ormas-ormas Islam lain merasa bahwa pernyataan tersebut merupakan representasi superioritas.
Pesan wanti-wanti Ketum PBNU, Said Aqil Siraj, dlm pidato Harlah Muslimat itu sbnrnya sngt jelas: Hai warga Nahdliyyin, rebutlah posisi kunci dlm bidang keagamaan. Klau tdk, kalian akn menyesal nanti kalau posisi itu dpegang orang lain yg akn menyalah2kan semua dari amaliah kita.
— Generasi Muda NU (@Generasi_MudaNU) January 29, 2019
Namun, dengan adanya sikap Said Aqil ini, akan rentan membawa NU kepada apa yang disebut sebagai social exclusion atau eksklusi sosial dimana berpotensi memperlebar jurang keterbelahan antara NU versus Non-NU.
Sebuah artikel yang diterbitkan oleh The Electoral Commission Inggris menyebutkan bahwa eksklusi sosial ini berbahaya karena dapat menyebabkan political disengagement atau ketercerabutan hubungan politik antara pihak yang dikucilkan dan yang mengucilkan.
Dalam konteks pidato Said Aqil, tentu NU yang akan dirugikan karena pernyataanya semakin menegaskan eksklusivitas di mana ia menempatkan identitas NU mereka di atas golongan di luar NU, terlebih menyoal kekuasaan. Tentu hal tersebut kemudian menjadi sensitif dan berpotensi memperlebar potensi konflik sosial-politik.
Selaras dengan pendapat Alexander Kuo, Neil Malhotra, dan Cecilia Hyunjung Mo dalam papernya yang berjudul Social Exclusion and Political Identity: The Case of Asian American Partisanship, bahwa kelompok kepentingan atau partai politik yang mengekslusi diri mereka sendiri cenderung tak akan dipilih oleh pemilih di luar kelompok mereka.
Hati-Hati Jokowi
Menjelang Pilpres 2019, apakah cukup bagi Jokowi untuk mengandalkan mesin politik dari NU saja? Tentu saja tidak.
Sayangnya, Jokowi nampak tidak terlalu memberikan perhatian lebih pada ormas-ormas non-NU. Pendekatan Jokowi kepada kelompok-kelompok islam non-NU, utamanya kelompok islam konservatif tak cukup baik seperti yang ia lakukan ke NU.
Padahal, Fealy juga mengingatkan bahwa terjadinya fluktuasi politik juga dapat merugikan NU di mana menguatnya sentimen konservatif juga akan mempengaruhi kepemimpinan dan doktrin NU di masa depan.
Nampaknya apa yang di peringatkan Fealy tak begitu diperhatikan oleh sang Presiden. Beberapa indikator terlihat ketika ia memutuskan untuk menyetujui pembubaran HTI sebagai ormas terlarang. Juga tudingan kriminalisasi ulama yang akhir-akhir ini banyak menyerang dirinya, utamanya ulama yang dekat dengan kelompok islam konservatif. Kasus Habib Rizieq dan Habib Bahar Bin Smith misalnya.
JK tidak Setuju dengan Said Agil soal Imam harus NU https://t.co/i2z2wPD4oD Terima kasih pak @Pak_JK yg selalu tampil sebagai negarawan dan pemersatu. Rakyat selalu berharap tampil dg jatidiri yg asli
— Muhammad Said Didu (@saididu) January 29, 2019
Memang mantan walikota Solo tersebut telah menunjukkan political engagement-nya dengan kelompok-kelompok islam konservatif misalnya dengan mengakomodir sosok layaknya Kapitra Ampera, Ali Mochtar Ngabalin, hingga keputusannya untuk menggandeng Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya yang kerap kali diasosiasikan dengan golongan Islam konservatif.
Namun nyatanya langkah tersebut juga tak menjamin bahwa dirinya akan didukung sepenuhnya oleh kelompok Islam tersebut.
Meskipun menurut Vedi Hadiz, hubungan ormas Islam konservatif dengan politisi ini tak bisa lepas dari kepentingan ekonomi politik dan memang sengaja dikapitalisasi untuk kepentingan kekuasaan, namun sebagai kekuatan politik, nampaknya mengakomodir kekuatan Islam konservatif masih menjadi pilihan rasional bagi siapapun yang ingin berkuasa di negeri ini.
Maka dengan pendekatan Jokowi yang terlampau memanjakan NU ini akan menjadi bom waktu bagi Jokowi baik dalam menghadapi Pilpres ini maupun di periode pemerintahan kedua jika ia memang kembali terpilih. Apalagi, hal itu seperti tengah diperparah oleh sikap eksklusif NU yang ingin memonopoli posisi mulai dari imam hingga menteri.
Terlebih, kecemburuan sosial politik kini diperlihatkan kembali oleh rival utamanya, Muhammadiyah. Dengan menelaah pernyataan Anwar Abas bahwa Said Aqil hanya haus akan jabatan politis, bisa saja hal tersebut mengindikasikan bahwa Muhammadiyah selama ini juga kecewa dengan sikap Jokowi yang telalu menganakemaskan NU.
Memang, dari segi komposisi pembagian kekuasaan, Muhammadiyah tak terlalu banyak mendapatkan porsi. Tokoh Muhammadiyah yang berada di lingkaran kekuasaan hanya Muhadjir Efendi selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Padahal, menurut Christine Bell di papernya Political Power-Sharing and Inclusion: Peace and Transition Processes, dalam politik, sharing power menjadi hal yang penting demi mencegah konflik politik dalam sebuah tatanan masyarakat yang terdiri dari banyak golongan dan elite politik.
Pada akhirnya, sikap yang ditunjukkan oleh Said Aqil Siraj dalam pidatonya tersebut selain menunjukkan adanya sikap superiority NU di antara golongan-golongan Islam lainnya bukan sebuah pidato yang menyenangkan bagi kelompok non-NU. Secara spesifik, superioritas itu bisa merugikan Jokowi yang terkesan hanya dekat dengan NU dan berjarak dengan kelompok-kelompok lain.
Hal tersebut tentu saja bukan sebuah kabar baik bagi petahana di hari-hari mendekati pencoblosan. Bisa saja ia yang akan merugi akibat ulah pendukungnya yang tak bisa menempatkan posisi. Mungkinkah Jokowi akan termakan jebakan politik NU? (M39)