Site icon PinterPolitik.com

Novel Korban Smear Campaign?

Novel Baswedan

Novel Baswedan (Foto: Liputan 6)

Setelah enam bulan bekerja, tim pencari fakta kasus Novel Baswedan masih belum mengungkap pelaku dan otak dari kasus tersebut. Alih-alih terungkap, ada hal lain yang dipaparkan mereka yang berpotensi mengalihkan fokus kasus.


Pinterpolitik.com

Sudah lebih dari dua tahun, kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior KPK Novel Baswedan belum juga terungkap. Upaya teranyar melalui Tim Pencari Fakta yang diinisiasi oleh kepolisian ternyata masih belum juga menerangkan gelapnya kasus ini.

Enam bulan tim tersebut bekerja, tak ada temuan tentang siapa pelaku dan otak di balik kejadian tersebut. Tim ini kemudian hanya memberikan rekomendasi kepada kepolisian untuk membentuk tim teknis yang ditujukan untuk menyasar tiga orang tak dikenal yang diduga kuat terlibat kasus Novel.

Temuan tim pencari fakta ini kemudian mengungkap bahwa setidaknya  ada pengusutan enam kasus besar yang berpotensi menimbulkan dendam, sehingga melahirkan penyerangan kepada Novel. Yang menarik, tim mengungkapkan bahwa dalam kasus-kasus tersebut, ada excessive use of power atau penggunaan kekuasaan berlebihan dari Novel sehingga penyiraman dapat terjadi.

Penggunaan istilah excessive use of power ini sebenarnya boleh jadi tak sesuai dengan ekspektasi banyak pihak. Alih-alih menemukan fakta baru terkait dengan kasus Novel, tim ini justru malah memberikan label baru kepada penyidik senior KPK tersebut.

Lalu, mengapa tim pencari fakta ini bisa menggunakan istilah tersebut kepada Novel? Adakah dampak yang bisa ditimbulkan dari penggunaan istilah semacam itu?

Temuan Tim

Bagi sebagian orang, pembahasan kasus Novel boleh jadi sesuatu yang dianggap membosankan karena telah berlarut-larut tak kunjung terungkap. Meski demikian, bagi banyak masyarakat yang anti korupsi, pengungkapan kasus ini terus dinanti karena berkaitan dengan masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini.

Oleh karena itu, segala jenis kemajuan terkait kasus ini tetap akan menjadi hal yang menarik bagi masyarakat anti korupsi tersebut. Meski demikian, tatkala pemerintah melalui kepolisian mengumumkan tim pencari fakta untuk melakukan penyelidikan, antusiasme mereka dan Novel sendiri justru tidak nampak.

Sikap tidak antusias mereka kemudian terbukti ketika tim tersebut memaparkan hasil penyelidikan mereka. Sesuai dugaan mereka, tim ini tak mampu menyebutkan nama pelaku dan otak dari penyiraman air keras dua tahun lalu. Tak hanya itu, mereka justru mengaitkan  penyiraman itu karena Novel dianggap melakukan excessive use of power saat menangani berbagai kasus tingkat tinggi.

Menurut tim ini, ada indikasi bahwa excessive use of power ini menimbulkan dendam atau sakit hati orang yang diduga terlibat kasus-kasus tingkat tinggi tersebut. Rasa sakit hati itu kemudian memicu tindakan untuk memberi pelajaran atau membalas sakit hati mereka.

Jika mengikuti penurutan tim, setidaknya ada enam kasus high profile yang ditangani Novel yang bisa saja memicu tindakan penyiraman kepadanya. Dalam kasus yang ditangani oleh KPK, ada kasus-kasus seperti E-KTP, suap Akil Mochtar, dan kasus korupsi Wisma Atlet. Selain itu, kasus suap Bupati Buol Amran Batalipu dan suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang juga masuk hitungan.

Di luar kasus yang ditangani KPK, ada pula kasus yang terkait dengan jabatan Novel semasa masih di Polri. Kasus yang dimaksud adalah kasus pencurian sarang burung walet di Bengkulu ketika Novel masih menjadi Kasat Reskrim Polres Bengkulu.

Menyerang Pribadi

Dalam kadar tertentu, label excessive use of power kepada Novel ini dapat dianggap sebagai sebuah smear campaign atau serupa dengan kampanye hitam dalam politik. Memang, sejauh ini, tak ada bukti bahwa tuduhan excessive use of power ini adalah sebuah hal yang sengaja dibuat-buat. Meski demikian, penggunaan istilah tersebut sebenarnya sedikit banyak tak terlalu relevan dengan tugas tim yang seharusnya mengungkap kasus ini seterang-terangnya.

Smear campaign kerap merujuk pada upaya untuk merusak atau setidaknya mempertanyakan reputasi seseorang. Umumnya target dari tindakan semacam ini adalah pejabat publik, politisi, kandidat Pemilu, maupun aktivis yang memperjuangkan isu tertentu. Taktik ini dapat dianggap sebagai sebuah diskredit yang menurut Lee Staples dalam Roots to Power: A Manual for Grassroots Organizing dapat menjadi tantangan bagi validitas dari sosok yang disasar.

Terkadang, tindakan tersebut kerap kali diisi oleh kebohongan untuk menggoyang kredibilitas objeknya. Smear campaign juga bisa saja berupa serangan kepada pribadi objek yang sama sekali tak berhubungan dengan isu yang tengah dibahas atau dalam adu argumen kerap disebut sebagai ad hominem.

Label negatif terhadap pribadi Novel sendiri sebenarnya bukan kali ini saja mengemuka. Salah satu label bernada miring kepada Novel adalah dirinya yang sempat dianggap sebagai kader dari Partai Gerindra. Label ini muncul ke permukaan di tengah riuh perbincangan Pilpres 2019.

Selain label terkait dengan afiliasi politiknya, tudingan miring juga diberikan kepada Novel terkait dengan aktivitas religiusnya. Sebuah foto sempat beredar di media sosial yang menggambarkan Novel dengan beberapa orang berpakaian islami. Foto tersebut kemudian menjadi pembenaran untuk menghakimi bahwa KPK telah disusupi radikalisme.

Potensi Pengalihan

Berdasarkan kondisi tersebut, entah disengaja atau tidak, ada potensi pengalihan fokus tim pencari fakta dari mencari otak dan pelaku penyiraman Novel ke hal yang justru bisa mencemarkan kredibilitas Novel. Bagaimanapun, penggunaan istilah “kewenangan Novel” bisa saja mengalihkan fokus masalah kepada sosok Novel secara pribadi.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, Novel disebut-sebut terlibat dalam pengusutan kasus korupsi yang tergolong high profile. Pengusutan kasus ini dianggap menimbulkan dendam dari pihak-pihak yang terlibat, sehingga Novel harus menjadi korban penyiraman air keras.

Sebenarnya pihak-pihak kasus korupsi high profile itu sedikit banyak diuntungkan dengan pemberian label melakukan excessive use of power kepada Novel. Sang penyidik yang memburu kasus-kasus tersebut justru kini terancam jadi pihak yang terburu atau setidak-tidaknya jadi sasaran kritik.

Pengungkapan temuan tim pencari fakta Novel Baswedan berpotensi mendiskreditkan Novel secara pribadi Share on X

Seperti yang disebutkan sebelumnya, kasus-kasus yang ditangani Novel di KPK sendiri memang tak bisa dianggap sembarangan. Kasus E-KTP misalnya, melibatkan dana yang cukup besar, sehingga wajar jika ada pihak-pihak yang terlibat tak nyaman dengan gerak-gerik Novel dan KPK. Pada titik ini, mereka sedikit banyak diuntungkan jika fokus teralih dari kasus ke pribadi Novel.

Tak hanya itu, melalui smear campaign ini juga bisa saja kepolisian teralihkan fokusnya. Selama ini, korps tersebut kerap dikritik karena tak kunjung bisa mengungkap kasus Novel. Melalui label excessive use of power, ada celah lain dalam kasus Novel yang bisa mengalihkan kritik kepada mereka.

Yang jadi masalah adalah apabila smear campaign ini kemudian menjadi lebih dari sekadar mengalihkan fokus pembicaraan semata. Melalui label excessive use of power, bisa saja ada yang menganggap tindakan penyiraman adalah wajar karena merupakan mekanisme pembalasan atau pembelaan diri kepada Novel.

Smear campaign ini sendiri telah terjadi pada diri Novel lebih dari satu kali. Jika praktik semacam ini terus berlanjut, maka masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini boleh jadi dalam tanda tanya. Para pelaku korupsi sudah memiliki amunisi ampuh jika mereka terjerat kasus rasuah, yaitu dengan menyerang kredibilitas penyidik atau bahkan lembaga yang mengusik mereka.

Tentu, temuan tim pencari fakta soal excessive use of power masih belum bisa dipastikan kesahihannya. Meski demikian, bukan berarti fokus harus sepenuhnya teralih dari pengungkapan kasus penyiraman ke perkara lain. Kita tunggu saja apakah pengungkapan kasus Novel ini akan berlanjut seperti apa. (H33)

 

Exit mobile version