HomeNalar PolitikRapor Merah Demokrasi Amerika Serikat

Rapor Merah Demokrasi Amerika Serikat

Jepang dan Perancis adalah dua negara lain yang menemani Amerika Serikat di kategori ‘flawed democracy’ dengan skor yang tidak jauh berbeda (Jepang 7,99 dan Perancis 7,92).


pinterpolitik.comJumat, 27 Januari 2017.

LONDON – Saatnya bagi-bagi rapor! Economist Intelligence Unit (EIU), cabang majalah The Economist – majalah ekonomi yang  berbasis di London, Inggris – yang khusus menangani riset, menerbitkan laporan terbaru yang memuat penilaian tentang pelaksanaan demokrasi di negara-negara di dunia. Laporan tahun ini dikeluarkan pada Rabu, 25 Januari 2017 pagi, dan isi laporan tersebut mencengangkan banyak pihak: untuk pertama kalinya Amerika Serikat (AS) masuk dalam kategori negara dengan demokrasi yang ‘cacat’ (flawed democracy).

Tentu banyak orang yang menduga penurunan peringkat demokrasi Amerika Serikat ini karena kasus pemilihan umum yang dimenangkan oleh Donald Trump. Namun, faktanya bukan itu alasan penurunan peringkat demokrasi yang terjadi pada Amerika Serikat. Laporan ini dibuat berdasarkan ukuran kuantitatif yang berkaitan dengan survei data dan kebijakan, sama sekali tidak berhubungan dengan hasil pemilihan umum.

“Penurunan yang terjadi dalam demokrasi di Amerika Serikat mencerminkan pengikisan kepercayaan dalam lembaga pemerintahan dan lembaga publik selama bertahun-tahun,” demikian tulis laporan tersebut. “Pencalonan (Trump) bukanlah penyebab kemerosotan kepercayaan publik, tetapi merupakan salah satu akibat yang ditimbulkannya”. Laporan ini bahkan membahas jauh lebih dalam daripada sekedar memberitakan fenomena Trump.

Pada tahun-tahun sebelumnya, Amerika Serikat selalu dianggap sebagai negara demokrasi ‘penuh’ (full democracy). Adapun selain flawed democracy dan full democracy, laporan tersebut juga mengklasifikasikan negara-negara di dunia ke dalam kategori hybrid regime (umumnya terdapat di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, yang mengadopsi demokrasi lewat pemilihan umum, tetapi masih mengenal represi dan tekanan dari penguasa) dan kategori authoritarian regime atau negara-negara otoriter.

Baca juga :  Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

EIU memberikan penilaian terhadap demokrasi negara-negara di dunia dalam skala 10. Negara yang mendapat nilai antara 8-10 masuk dalam kategori negara ‘demokrasi penuh’, sementara yang mendapat nilai 6,0 – 7,9 masuk dalam kategori ‘demokrasi cacat’, hybrid regime di skala 4,0 – 5,9, dan di bawah 4 masuk kategori negara otoriter. Penilaian tersebut dibuat menggunakan lima variabel dalam demokrasi: proses pemilihan umum dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintah, partisipasi politik, dan budaya politik.

Pada tahun-tahun sebelumnya, Amerika Serikat mencatat skor yang tinggi dalam variabel-variabel tersebut dengan mengumpulkan rata-rata 8 poin tiap tahun. Namun, tahun ini, AS  hanya mendapat nilai 7,98. Nilai buruk itu disumbangkan oleh variabel ‘fungsi pemerintahan’ yang hanya memperoleh skor 7,14 dan partisipasi politik yang hanya menyumbangkan 7,22 poin. Hal ini mencerminkan adanya penurunan kepercayaan masyarakat Amerika Serikat terhadap pemerintahnya sendiri. Kepercayaan publik Amerika Serikat pada pemerintahannya ini ditengarai menurun sejak tragedi 11 September 2001.

Namun demikian, laporan ini tidak serta merta menunjukkan bahwa Amerika Serikat menjadi ‘anti-demokrasi’. Fakta ini hanya menunjukkan adanya pelemahan sistem demokrasi di Amerika Serikat yang terjadi karena banyak warga yang mulai melihat institusi pemerintahan atau institusi publik tidak lagi bekerja untuk mereka.

Jepang dan Perancis adalah dua negara lain yang menemani Amerika Serikat di kategori ‘flawed democracy’ dengan skor yang tidak jauh berbeda (Jepang 7,99 dan Perancis 7,92). Jika di Jepang masalah yang dihadapi salah satunya adalah soal kebebasan pers (bahkan nilai Jepang ada di bawah Tanzania, negara yang otoriter), maka di Perancis persoalannya adalah hak-hak sipil untuk rasa aman, khususnya pasca serangan teroris pada November 2015.

Baca juga :  Hype Besar Kabinet Prabowo

Lalu, apa artinya laporan ini? Hal utama yang bisa diketahui dari laporan ini adalah bahwa demokrasi bukan hanya soal apakah kita menggunakan hak pilih kita atau tidak, melainkan juga mencakup banyak faktor lain termasuk pemenuhan hak-hak sipil dan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi yang berjalan di negaranya tersebut. Dengan berkurangnya hal-hal tersebut, maka demokrasi dengan sendirinya melemah.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia masuk dalam negara kategori hybrid regime. Dengan kata lain, laporan EIU tersebut menggambarkan Indonesia sebagai negara yang menganut demokrasi lewat pemilihan umum, namun masih sering direpresi atau ditekan oleh penguasa. Benarkah demikian? Faktanya ‘represi’ sudah tidak terjadi lagi sejak negara ini masuk ke era reformasi. Hanya saja, hak-hak sipil belum sepenuhnya dijamin. Dari tahun ke tahun masih saja terjadi kasus kekerasan terhadap kelompok masayarakat tertentu. Jaminan kebebasan dan hak asasi manusia juga belum ditegakkan secara sepenuhnya. Oleh karena itu, rapor demokrasi Indonesia juga tidak bisa disebut baik.

Pertanyaannya: lebih baik mana, demokrasi di Indonesia atau Amerika Serikat? Nah, kalau jawaban untuk pertanyaan itu perlu didalami lebih jauh lagi. (Vox/S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.