Site icon PinterPolitik.com

Nietzsche, Politik Zaman Now?

Nietzsche, Politik Zaman Now?

Foto: Y14

Setelah puisi Sukmawati Soekarno dan Ganjar Pranowo, kini Rocky Gerung pun ikut-ikut menyentil agama yang menciptakan reaksi di masyarakat. Gejala apa ini?


PinterPolitik.com

“Suatu ketika Tuhan dipercaya sebagai spirit, lalu ditransformasikan pada manusia, dan saat ini bahkan menjadi sekelompok orang.”

[dropcap]P[/dropcap]ernyataan Ahli Filsafat Rocky Gerung mengenai kitab suci adalah fiksi, menghasilkan polemik. Walau Dosen Universitas Indonesia itu telah berusaha membiaskan maksudnya, namun bisa saja nasibnya akan tetap sama dengan apa yang tengah dihadapi oleh Sukmawati Soekarno akibat puisi kontroversinya, “Ibu Indonesia”.

Akibat membacakan puisi lamanya yang berisi “teguran” untuk masyarakat agamis, putri bungsu Bung Karno ini harus berhadapan dengan Kepolisian, berkat 14 laporan dari beberapa lembaga bernuansa Islam. Begitupun Rocky Gerung yang langsung dilaporkan oleh Abu Janda, dengan alasan telah menyebarkan ucapan kebencian.

Nasib Gubernur yang juga petahana di Pilgub Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, memang “lebih beruntung”. Walau sempat di bully Warganet, namun kader PDI Perjuangan ini lolos jeratan pasal penistaan agama hanya karena puisi yang dibacanya ternyata karya seorang Kyai ternama, yaitu KH. Mustofa Bisri alias Gus Mus.

Adanya reaksi yang berbeda dari tiga kasus ini, memang menimbulkan kebingungan tersendiri. Namun terselip pula pertanyaan lain yang lebih menggelitik, yaitu mengapa belakangan ini masyarakat menjadi begitu sensitif terhadap kritik agama? Lalu mengapa di tengah sensitivitas itu, tokoh-tokoh tersebut masih juga berupaya untuk mengusiknya?

Sensitivitas Agama Masyarakat

“Sesungguhnya, apakah manusia adalah salah satu blunder  Tuhan, atau Tuhan yang malah menjadi blunder manusia?

Pasal penodaan agama, diskriminasi, maupun ujaran kebencian, sejak lama memang telah dianggap sebagai pasal karet dalam undang-undang, akibat tafsirnya yang sangat relatif dan juga subyektif. Kriteria apa saja yang termasuk dalam penghinaan dan penodaan agama, bagi setiap individu di masyarakat tentu akan sangat berbeda.

Bahkan bagi Seniman Sudjiwo Tedjo, kalau ada manusia yang khawatir tidak makan esok hari saja itu sudah termasuk menghina Tuhan. Lantas apakah setiap orang yang bekerja karena takut tidak bisa makan esok hari, jadi harus di penjara semuanya karena dianggap menghina Tuhan? Tentu saja tidak.

Begitupun dengan pernyataan “tusuk konde lebih indah dari cadar”, apakah bisa dikatakan sebuah diskriminasi etnis? Tentu persepsinya harus dikaitkan dengan pola pikir, latar belakang, dan sudut pandang si pendengar. Ada yang memahaminya sekedar estetika semata, tapi ternyata banyak yang menerimanya dari sensitivitas agama.

Tak bisa dipungkiri, polarisasi masyarakat yang digerakkan organisasi massa Islam tertentu pada Pilkada DKI lalu, masih belum sepenuhnya hilang. Emosi masyarakat Muslim, masih begitu mudah diprovokasi dengan berbagai pernyataan yang seakan mengkritik atau mempertanyakan dogma-dogma yang mereka percayai.

Masyarakat tanpa sadar dibentuk dengan pola pandang kelompok yang mengaku membela Islam, termasuk menyakralkan unsur-unsur agamis sehingga tak boleh disentuh, apalagi dipertanyakan. Padahal menurut KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Tuhan tidak perlu dibela karena kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan manusia.

Dalam situasi sensitivitas agama yang begitu tinggi di masyarakat ini, tak heran bila ulah Sukmawati, Ganjar, maupun Rocky, mengingatkan kita akan kisah “orang gila” yang sengaja berteriak-teriak “Tuhan sudah mati” dalam sekelompok masyarakat yang memegang kuat dogma agama, dalam buku The Gay Science (Ilmu Kebahagiaan) karya Fredrich Nietzsche.

Kalimat “Tuhan sudah mati”, tentu akan membuat masyarakat agamis berang. Namun melalui kalimat itu, sebenarnya Nietzsche ingin mengajak masyarakat untuk lebih kritis terhadap nilai-nilai yang tengah berkembang. Filsuf penganut nihilisme ini, mengkritisi kecenderungan manusia terjebak dalam dogma, keyakinan, dan ideologi indoktriner tertentu, sehingga melupakan identitas diri mereka sendiri.

Mempertanyakan mulai lenyapnya identitas kebangsaan, berkembang liarnya indoktrinasi agama, dan masyarakat yang cenderung kurang kritis dalam mengadopsinya, mungkin itulah sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Sukmawati, Ganjar, dan Rocky. Apalagi baik puisi karya Sukmawati dan Gus Mus sendiri, bukanlah puisi baru. Lalu mengapa baru memanas belakangan ini?

Kepak Pemanas Jelang Pilpres

“Di sekitar pahlawan, segala sesuatunya menjadi tragedi. Di sekitar para dewa, sebuah sandiwara satir, dan di sekitar Tuhan – apa? “Dunia” mungkin?

Di tahun politik, apapun bisa “digoreng” menjadi isu panas yang – entah bagaimana caranya – ujung-ujungnya, bisa saja akan ditarik ke ranah politik. Baik yang berkenaan dengan pelaksanaan Pilkada Serentak di tahun ini atau bahkan lebih jauh lagi ke Pilpres 2019 nanti. Isu hangat seperti metode “cuci otak” dr. Terawan saja misalnya, bisa ditarik ke ranah politik. Apalagi isu agama, pasti sangat seksi sekali.

Lihat saja bagaimana riuhnya para politisi menyikapi setiap isu yang berkembang dan viral di sosial media, masing-masing saling menempatkan diri berseberangan sehingga semakin memanas. Tak berbeda dengan apa yang dialami oleh Sukmawati, Ganjar, dan Rocky. Di mata politikus, ketiganya memberikan “umpan lambung” yang mudah untuk di smash menjadi polemik dan kontroversi.

Kondisi politik yang memanas ini, juga pada akhirnya ditunggangi oleh ormas-ormas tertentu yang – entah apa tujuannya – ikut masuk dalam pusaran polemik dan kontroversi. Tak pelak, Sukmawati dan Rocky pada akhirnya harus berhadapan dengan Kepolisian menghadapi berbagai tuntutan dari lembaga-lembaga yang mengatasnamakan rakyat dan juga umat.

Pemanfaatan berbagai isu yang ditarik dan dipertentangan ke ranah politik ini, sangat sejalan dengan Butterfly Effect Theory (teori kepakan kupu-kupu) yang ditemukan oleh seorang ahli matematika dan meteorologis Amerika, bernama Edward Norton Lorenz (1917-2008). Teori ini sendiri, sebenarnya mengawali teori kekacauan atau chaos theory yang kerap digunakan dalam ilmu matematika.

Pada intinya, Lorenz mengatakan kalau kepakan sayap kupu-kupu – secara umum burung atau unggas, memiliki sistem dinamik tertentu yang mampu mengganggu keseimbangan cuaca, bahkan mampu mengakibatkan terjadinya badai di tempat lain yang berjauhan. Teori yang pertama kali dikemukakan tahun 1961 ini, pada dasarnya merupakan rangkaian dari kejadian acak atau random.

Jadi kalau ada yang bertanya, apa yang membuat kasus Sukmawati, Ganjar, dan Rocky, akan berkaitan dengan Pilpres 2019? Berdasarkan teori Butterfly ini, tentu ada. Bahkan sangat besar kemungkinannya untuk menimbulkan chaos atau kekacauan. Apalagi di dalam masyarakat sendiri, polarisasi sudah terbentuk, sehingga sedikit “kepakan” dari puisi Sukmawati dan Ganjar, masyarakat pun bereaksi.

Sensitivitas masyarakat terhadap agama, akan sangat mungkin menjadi landasan bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkannya menjadi “kepakan” dalam masyarakat demi timbulnya kekacauan. Walau sejauh ini, “kepakan” dari puisi Sukmawati masih belum memberikan “efek badai” seperti yang diharapkan, namun upaya-upaya untuk memperbesarnya pun sudah terlihat di depan mata.

Dalam teori kekacauan, Lorenz menjelaskan kalau situasi chaos sangat mungkin dimanfaatkan pihak-pihak yang berniat menumbangkan atau menginginkan kekuasaan. Pendapat yang sama juga dinyatakan Nietzsche, yaitu ketika kondisi masyarakat dipenuhi kekalutan dan tak menentu, akan ada sosok Superman atau manusia kuat yang berusaha tampil mengatasi kekacauan.

Permasalahannya, menurut Nietzsche pula, apapun bentuk dari orang kuat itu, baik ia menjadi sosok pahlawan maupun manusia setengah dewa, kesemuanya hanya akan membawa tragedi dan sandiwara satir semata bagi masyarakatnya. Dan bila itu terjadi, Nietzsche pun bertanya-tanya, apakah manusia menjadi blunder bagi Tuhan atau sebaliknya? Manusia kah yang telah blunder terhadap Tuhan?  (R24)

Exit mobile version