Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menyebut ada kelompok radikal yang ‘bergentayangan’ dalam serangkaian aksi menolak pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Apa sebenarnya maksud pernyataan Ngabalin tersebut?
Sedari sebelum disahkan, Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) memang telah menuai sentimen minor dari masyarakat. Diskursus-diskursus yang ada di ruang-ruang publik cenderung menyepakati beleid tersebut hanya akan berpihak kepada pengusaha dan mengabaikan hak-hak pekerja.
Buruknya komunikasi pemerintah dan parlemen dalam proses pengesahan juga semakin menambah kecurigaan terhadap UU tersebut. Maka dari itu, kemunculan gelombang protes hingga berminggu-minggu setelah ketok palu bukanlah sesuatu yang mengejutkan.
Respons pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terhadap aksi-aksi tersebut nyatanya juga sama tak mengejutkannya. Pemerintah seolah hanya mengulang-ngulang narasi dengan menyebut serangkaian aksi yang tak jarang berujung ricuh itu telah ditunggangi oleh aktor intelektual.
Meski awalnya tak menyebut secara gamblang, namun penangkapan sejumlah aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) agaknya bisa menjawab siapa sebenarnya pihak-pihak yang dicurigai pemerintah berada di balik aksi-aksi tersebut. Penangkapan-penangkapan itu lantas memantik protes dari oposan dan KAMI sendiri.
Belum usai polemik penangkapan aktivis KAMI, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin baru-baru ini melempar narasi lain. Melalui postingan di akun Instagram pribadinya, Ngabalin menduga ada golongan berpaham radikal seperti ISIS, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan kelompok-kelompok intoleran anti Pancasila yang tengah bergerak atas nama penolakan UU Ciptaker.
Lewat postingannya itu, Ngabalin mengajak masyarakat untuk belajar pada kegagalan negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Ia juga meminta publik untuk terus mendukung upaya Polri dalam menangkap kelompok-kelompok tersebut.
Tudingan Ngabalin tersebut sebenarnya juga bukanlah wacana baru. Kelompok-kelompok yang disebut radikal dan anti Pancasila faktanya memang sudah langganan dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kekacauan yang terjadi di dalam negeri.
Lantas pertanyaannya, benarkah tudingan Ngabalin tersebut? Mengapa narasi-narasi kaum radikal dan anti Pancasila seolah tak pernah berhenti disuarakan?
Lagu Lama?
Seperti sudah disinggung sebelumnya, sikap pemerintah dalam merespons aksi-aksi penolakan UU Ciptaker sebenarnya hanya mengulang-ngulang narasi lama.
Hal ini juga dibahas oleh Edward Aspinall dalam tulisannya yang berjudul Indonesian Protests Point To Old Patterns. Ia bahkan menyebut respons pemerintah saat ini tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan rezim Soeharto saat membendung aksi-aksi mahasiswa di tahun 1998.
Ia menilai pernyataan Menko Perekonomian beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa pemerintah mengetahui ‘dalang’ di balik aksi demonstrasi sangat identik dengan diskursus yang kerap digelorakan Orde Baru kala terjadi demonstrasi mahasiswa, yakni mengkambinghitamkan komunisme dan golongan sosialis kiri.
Meski begitu, Edward mengakui narasi-narasi yang digelorakan pemerintah saat ini memang sudah berkembang mengikuti tren era kontemporer, seperti turut menyinggung persoalan hoaks dan disinformasi di media sosial. Pemerintah juga tak lagi menggunakan ‘komunisme’ dan ‘PKI’ untuk menarget mereka yang dianggap radikal, melainkan menggunakan bungkus ‘anti Pancasila’.
Meski berbeda bungkus, namun pada hakikatnya, narasi-narasi tersebut sebenarnya memiliki tujuan yang sama dengan yang disuarakan di era Orde Baru. Yakni ingin menunjukkan bahwa demonstran telah ditipu, dan tidak sepenuhnya memahami masalah serta untuk menyangkal keabsahan tuntutan mereka.
Kendati definisi radikalisme itu sendiri masih sering memantik perdebatan, namun pelabelan ‘golongan radikal’ nyatanya terus hidup dalam dinamika politik dalam negeri. Tak hanya digunakan untuk menyerang individu atau kelompok, label tersebut kini bahkan bisa digunakan untuk menyerang institusi negara itu sendiri.
Hal itu terjadi pada tahun 2019, di mana saat itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diserang isu radikalisme di tengah-tengah polemik pergantian kepemimpinan dan revisi UU KPK. Isu itu kemudian melahirkan istilah ‘faksi taliban’ di tubuh Komisi Antirasuah.
Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo saat itu membantah tudingan soal isu masuknya paham radikal di lingkungan KPK. Menurutnya, tudingan itu hanyalah bentuk serangan balik terhadap lembaga antirasuah yang selama ini membongkar kasus korupsi besar tanpa kompromi.
Selain KPK, institusi yang juga pernah diselimuti isu radkalisme adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Isu tersebut bahkan diwacanakan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani sendiri.
Meski ancaman institusi-institusi negara disusupi oleh golongan radikal bisa saja benar adanya, namun yang jadi persoalan adalah pernyataan Sri Mulyani saat itu didasarkan pada hal-hal yang tak memiliki tolak ukur jelas, seperti penampilan-penampilan fisik layaknya jenggot dan celana cingkrang, sikap enggan bersalaman dengan lawan jenis, hingga mengungkapkan ekspresi religiusitas di media sosial.
Selain narasi ‘kelompok radikal’, isu ‘anti Pancasila’ juga cukup sering muncul ke permukaan. Salah satunya terjadi beberapa waktu lalu, ketika Ketua DPR RI yang juga menjabat sebagai Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Puan Maharani membuat pernyataan yang agaknya tak enak didengar di telinga masyarakat Sumatra Barat.
Terlalu seringnya pemerintah menggunakan narasi ‘radikalisme’ dan ‘anti Pancasila’ nyatanya juga disadari oleh sejumlah pihak, terutama para oposan. Politikus Partai Gerindra, Fadli Zon bahkan mencurigai bahwa narasi-narasi itu sengaja dihembuskan untuk menutupi ketidakcakapan pemerintah sendiri dalam mengelola negara.
Selain Fadli, kritik juga pernah dilontarkan anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PAN, Ali Taher. Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Menteri Agama, Fachrul Razi beberapa waktu lalu, Ali menilai Fachrul tak cocok menjabat sebagai Menag lantaran terlalu banyak menyinggung persoalan radikalisme.
Berangkat dari sini, maka boleh jadi pemerintahan Jokowi memang sengaja terus menghidupkan isu radikalisme dan anti Pancasila di tengah-tengah masyarakat. Pernyataan Ngabalin yang mengait-ngaitkan demonstrasi penolakan UU Ciptaker dengan paham radikal adalah salah satu contohnya.
Lantas pertanyaan pentingnya, apa kira-kira tujuan pemerintah terus menghidupkan isu-isu tersebut.
Untuk Memupuk Solidaritas?
Sebelum menjawab apa kira-kira motif pemerintah menghidupkan isu radikalisme dan anti Pancasila, maka kiranya perlu dijawab dulu mengapa pemerintah memilih isu tersebut untuk terus dihidupkan. Tulisan Greg Fealy yang sempat jadi bahan pemberitaan media-media nasional beberapa waktu lalu, agaknya sedikit banyak bisa menjawab pertanyaan ini.
Greg menilai bahwa kecenderungan pemerintahan Jokowi yang Ia sebut represif terhadap golongan Islamis dipengaruhi oleh pandangan partai-partai pendukungnya, terutama PDIP. Ia berpendapat faksi-faksi di belakang Jokowi menganggap nilai-nilai Islamisme sebagai ancaman bagi netralitas konstitusional dan iklusivitas sosial.
Menurut Greg, partai-partai pendukung Jokowi cenderung melihat golongan Islamis sebagai pemecah belah karena berusaha mengistimewakan Muslim dan hukum Islam di masyarakat. Hal ini membuat mereka menganggap kelompok-kelompok Islamis tersebut menyangkal prinsip-prinsip dasar negara.
Lebih jauh, Ia mengatakan represi terhadap golongan Islamis seharusnya tidak perlu terjadi di negara yang memang demokratis dan menjunjung tinggi toleransi seperti Indonesia. Apalagi menurutnya, kebanyakan pandangan golongan Islamis tidaklah bertentangan dengan hukum. Menekan golongan Islamisme justru menekan ruang sipil dan membuat Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis.
Selain karena alasan ideologis, digelorakannya narasi-narasi radikalisme dan anti Pancasila pastinya juga memiliki tujuan lain yang lebih bersifat praktikal. Dalam politik, apa yang dilakukan pemerintah tersebut bisa digolongkan sebagai praktik scapegoating.
René Girard dalam bukunya yang berjudul The One by Whom Scandal Comes mengatakan bahwa scapegoating merupakan kecenderungan strategi manusia untuk melampiaskan kemarahan maupun kesalahan mereka sendiri kepada pihak-pihak yang dipilih untuk disalahkan.
Strategi tersebut biasanya dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan dalam menyelesaikan konflik dan ketegangan. Sebaliknya, ketegangan itu diselesaikan dengan memilih korban untuk disalahkan demi tujuan untuk melahirkan kembali persatuan atau solidaritas.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka dapat dikatakan kecurigaan Ngabalin yang mengatakan ada kelompok-kelompok radikal yang ‘bergentayangan’ di aksi penolakan UU Ciptaker belum tentu benar adanya. Sebaliknya, narasi-narasi tersebut bisa saja justru sengaja dihidupkan pemerintah untuk menyangkal argumen-argumen yang disuarakan para demonstran.
Selain itu, menghidupkan wacana radikalisme juga boleh jadi dimanfaatkan untuk menyelesaikan ketegangan. Dengan menampilkan korban untuk disalahkan, pemerintah bisa lebih mudah menciptakan kembali persatuan dan solidaritas masyarakat yang kini terusik oleh pengesahan UU Ciptaker.
Pada akhirnya, meski asumsi-asumsi tersebut disandarkan pada teori-teori logis, namun yang mengetahui maksud dari wacana keterlibatan kaum radikal dan anti Pancasila dalam diskursus penolakan UU Ciptaker hanya pihak bersangkutan sendiri. Mari kita berharap polemik UU Ciptaker ini nantinya bisa diselesaikan melalui diskusi-diskusi yang konstruktif dan tidak mendegradasi nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.