“Symbolic interaction emphasized a close relationship – an exchange – between symbol and interaction. These exchanges produced special meanings and interpretations, unique for each person involved.” – Anselm L. Strauss
Pinterpolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]li Mochtar Ngabalin adalah sosok politisi yang mengebu-gebu dan keras dalam berdebat. Ia tak segan menuding lawan bicaranya, terkadang dengan gaya meledek. Sebuah acara di stasiun televisi beberapa hari lalu menjadi salah satu contoh di mana Ngabalin dengan kasar mendebat Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Neno Warisman dan Mahendradata. Neno akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan.
Sikap ofensif itu terjadi setelah Fadli Zon mengomentari pengamanan aksi deklarasi #2019GantiPresiden di Riau oleh pihak kepolisian. Dengan ekspresi membelalak Ngabalin menunjuk-nunjuk Fadli seraya melontarkan tudingannya. Tidak sampai di situ saja, ketika Fadli sedang membaca teks deklarasi, Ngabalin kembali menyerang Fadli dengan mengatakan hal itu bohong dan menipu.
Rekam jejak Ngabalin sebagai politisi memang terbilang cukup panjang. Laki-laki kelahiran Fakfak, Papua ini memulai karier politiknya sebagai kader Partai Bulan Bintang (PBB) dan sempat menjadi anggota legislatif di Komisi I DPRI RI periode 2004-2009 mewakili partai tersebut.
Pengggerusan citra ini nampaknya tidak akan berdampak signifikan jika Jokowi mampu mengendalikan Ngabalin. Peluang ini masih relatif kecil mengingat isu #2019GantiPresiden bukanlah isu kampanye utama. Share on XPada Oktober 2010, ia hengkang dari PBB dan bergabung dengan Partai Golkar dengan posisi awal sebagai wakil sekretaris jenderal. Berada di Partai Golkar, Ngabalin juga sempat membuat kontroversi ketika beradu mulut dengan Yorrys Raweyai perihal dualisme di tubuh partai beringin itu pada 2015 lalu. Akibatnya, pada Munas versi Aburizal Bakrie di Bali, Ngabalin tiba-tiba dipukul oleh penyusup yang diduga merupakan anak buah dari Yorrys Raweyai.
Ngabalin dengan segala konroversi dan gaya ofensif yang melekat pada dirinya kini menjadi corong komunikasi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Banyak pihak, termasuk para pendukung Jokowi, yang menilai bahwa sosok Ngabalin akan menggerus citra sang presiden. Sebab selama ini publik mengenal Jokowi dan Ma’ruf Amin sebagai sosok yang low profile dan mahsyur dengan kampanye santun. Tentu pertanyaannya adalah apakah kehadiran Ngabalin menjadi blunder dan akan menurunkan elektabilitas Jokowi pada Pilpres 2019?
Ngabalin Topeng Jokowi
Pada tahun 1967, Anselm L. Strauss menulis sebuah buku dengan judul Mirror and Masks: The Search for Identity atau pencarian identitas. Dalam konsep pencarian identitas itu Strauss berkata bahwa identitas adalah fusi antara interaksi simbolik dengan struktur sosial.
Ia juga menyebutkan bahwa transformasi identitas mengisyaratkan penilaian baru tentang diri pribadi dan orang lain, tentang peristiwa, tindakan, dan objek. Menurut perspektif teori interaksi simbolik, transformasi identitas berhubungan dengan perubahan psikologi. Sementara itu, hal ini juga dipengaruhi oleh dimensi konsistensi kognitif.
Adapun konsistensi kognitif ini berkaitan dengan psikologi sosial dan didefinisikan sebagai konsep bahwa setiap individu memiliki preferensi tersendiri bagi beberapa aspek kognitif seperti pemikiran, keyakinan, pengetahuan, pendapat, dan sikap mereka serta niat untuk menjadikannya seimbang, dalam artian tidak ada kontradiksi satu sama lain.
Berbagai aspek kognitif tersebut harus selaras atau sesuai dengan cara masing-masing individu melihat diri mereka sendiri dan perilaku mereka selanjutnya. Melihat tipikal Ngabalin saat ini, ada sebuah ketidakseimbangan kognitif yang dialami politisi Golkar tersebut. Apa yang dilakukan Ngabalin selama menjadi politisi adalah bawaan sikap personal dirinya selama ini yang selalu konsisten dalam melontarkan ktitik.
Ngabalin yang sedari awal kiprahnya dalam dunia politik sudah konsisten dengan gayanya yang meledak-ledak menjadi kontradiktif dengan gaya kampanye yang selama ini diusung oleh kubu Jokowi.
Dengan demikian, cara Ngabalin sebagai komunikator politik bagi Jokowi bisa dianggap seperti “duri dalam daging” – pada satu sisi keras atau berfungsi untuk menangkis serangan dari oposisi, namun di sisi lain menimbulkan ancaman bagi citra Jokowi.
Kalau dianalisa, penyebab pihak Istana merekrut Ali Ngabalin sebagai Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden mungkin untuk melawan dan menjinakkan suara-suara oposisi yang semakin hari membuat elektabilitas Jokowi makin merosot, katakanlah seperti lautan kritik dari Fadli Zon dan Fahri Hamzah.
Perekrutan Ngabalin juga bisa mendorong citra Jokowi yang selama ini diasosiasikan anti-Islam. Hal tersebut misalnya bisa dilihat dari simbol sorban Ngabalin. Sorban Ngabalin adalah bahasa visual bahwa Istana dekat dengan umat Islam dan dianggap sebagai simbol ke-Islaman serta kesantriannya untuk menunjukkan istana sama sekali tidak anti umat Islam.
Selain itu, suara Ngabalin yang “kencang”, dianggap sebagai tukang debat ulung walaupun seringkali isi pembicaraannya biasa-biasa saja. Sebagai komunikator politik hal itu penting untuk mempengaruhi psikologi massa atau penonton atau bahkan pemilih.
Jejak kedekatan Ngabalin dengan Jokowi sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Meski baru tiga bulan menjabat sebagai juru bicara pemerintah, ia sudah lama keluar masuk istana.
Pada reshuffle 16 Agustus 2017 lalu, Ngabalin diisukan akan menjabat sebagai Menteri Agama, menggantikan Lukman Hakim Saifuddin. Jokowi sudah setuju, namun salah seorang petinggi Istana disebut-sebut tak menyetujuinya. Jokowi disebut “jatuh hati” dengan Ngabalin karena mampu memberi penguatan terhadap pemikiran dan langkah-langkah presiden.
Bisa Menggerus Citra Jokowi
Seperti yang menjadi perhatian banyak pihak, sikap Ngabalin yang keras terkait isu #2019GantiPresiden akan merugikan citra Jokowi. Hal ini wajar jika dilihat dari gestur Jokowi selama ini yang lebih santun dan low profile. Posisi kritik Ngabalin tentu akan membuat buruk citra Jokowi dan dikhawatirkan akan menggerus elektablitasnya.
Bagi Jokowi, langkah-langkah Ngabalin ini perlu dicermati dan dievaluasi. Tentunya presiden tidak ingin citranya terpuruk akibat ulah Ngabalin. Apa yang menimpa Jokowi sebenarnya terjadi juga dengan Donald Trump. Presiden Amerika Serikat (AS) itu beberapa kali harus melepas-pasang juru bicaranya.
Orang yang pertama menjadi korban adalah Sean Spicer. Spicer didepak setelah dua minggu menjabat sebagai juru bicara Gedung Putih. Alasannya karena Trump tidak suka dan menyesal dengan ditunjuknya Spicer. Kekesalan itu diakibatkan oleh ulah Spicer yang kerap keras dengan wartawan. Bagi Trump, sikap Spicer yang tidak ramah dengan wartawan itu akan membawa dampak negatif terhadap citranya.
Kemudian Trump juga pernah memecat Anthony Scaramucci, setelah dirinya bekerja selama 10 hari di Gedung Putih. Sumber dari Partai Republik mengatakan pemecatan Scaramucci dilakukan setelah Trump meminta pendapat dari para penasihatnya.
Pemecatan ini juga berkaitan dengan telepon Scaramucci kepada wartawan yang menyampaikan makian kasar tentang rekan-rekan sejawatnya sendiri. Trump disebutkan tidak suka dengan sikap Scaramucci tersebut dan menilainya tidak pantas sebagai juru bicara presiden.
Sikap Trump ini mungkin bisa menjadi cerminan serta contoh bagi Jokowi. Jangan sampai akibat ulah Ngabalin, sang presiden malah akan dirugikan secara politik. Posisi Ngabalin sebagai corong komunikasi presiden dan kontestan Pilpres 2019 tentunya akan banyak disorot publik.
Gw setuju kl ada yg bilang sikap pak Ali Mochtar Ngabalin dlm acara debat bisa membahayakan citra pak Jokowi. Krn beliau sbg staff presiden harusnya bersikap lebih sabar dan santai tanpa perlu sikap berlebihan.
— Ali Sopan (@Ali_Sopan) August 30, 2018
Kubu Jokowi harus bisa menilai apakah yang dilakukan Ngabalin selama ini produktif atau justru kontra-produktif terhadap upaya membangun pemerintahan yang lebih terbuka dan demokratis. Masalah komunikasi politik menjadi sangat penting untuk diperhatikan menjelang Pilpres 2019. Semua pihak, termasuk pasangan petahana, ingin membangun citra positif selama proses kampanye yang praktis berlangsung kurang dalam setahun itu.
Meskipun demikian, pengggerusan citra ini nampaknya masih belum akan terjadi jika Jokowi mampu mengendalikan Ngabalin. Peluang ini masih relatif kecil mengingat isu #2019GantiPresiden bukanlah isu kampanye utama jika dibandingkan dengan isu ekonomi, sehingga kecil kemungkinan akan mempengaruhi elektabilitas petahana.
Memang persolan tagar ini terkesan sepele, namun bisa menimbulkan efek yang cukup signifikan jika tidak disikapi dengan serius. Ada baiknya jika Ngabalin bisa memimpin kubu Jokowi untuk menyerukan tagar yang merepresentasikan kepentingan pihaknya juga.
Menyitir apa yang diucapkan oleh Lexi Pandel, kekuatan tagar memang telah berevolusi lebih dari hanya sebatas simbol digital dunia maya. Tagar sukses memengaruhi pemilihan umum hingga memicu gerakan sosial. Oleh karena itu, mungkin Jokowi perlu mengevaluasi Ngabalin, sehingga aksi politiknya efektif membendung #2019GantiPresiden tanpa harus merusak citra politik Jokowi. (A37)