Site icon PinterPolitik.com

Ngabalin Menginspirasi Fahri Hamzah?

Fahri Hamzah, Ali Mochtar Ngabalin, Dinasti Politik, Jokowi, Pilkada 2020, Gibran, Partai Gelora

Ali Mochtar Ngabalin dan Fahri Hamzah pada sebuah kesempatan di Jakarta tahun 2014 silam. (Foto: Tempo)

Reaski minor mengiringi manuver politik berbeda yang ditunjukkan Fahri Hamzah bersama Partai Gelora saat mendukung putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka pada Pilkada 2020. Lantas mengapa kiranya perubahan manuver politik Fahri ini bisa terjadi? Serta apa yang dapat dimaknai dari hal tersebut?


PinterPolitik.com

Sebuah lagu berjudul Everybody’s Changing dari band alternative-rock asal Britania Raya, Keane mungkin ingin meninggalkan pesan bagi para penikmatnya bahwa kepedulian sangat penting untuk menjaga orang yang kita sayangi dari perubahan yang sesungguhnya tidak baik atau pantas.

Pesan itulah yang bisa jadi merupakan realisasi konkret dari jamaknya saran, masukan, dan kritik dari berbagai pihak kepada Fahri Hamzah ketika bersama partainya, Gelora memutuskan mendukung putra sulung kepala negara, Gibran Rakabuming Raka di Pilkada 2020 edisi Kota Solo.

Tak lain dan tak bukan, isu kontra terhadap dinasti politik menjadi alasan di balik kritik tersebut. Selain itu, suara miring juga hadir bersamaan dengan jejak pernyataan masa lalu Fahri sendiri yang menyarankan agar Gibran tak maju di Pilkada selama sang ayah masih menjabat sebagai Presiden.

Bagaimanapun, memori publik memang dinilai terdistorsi saat memori di masa lalu merepresentasikan Fahri Hamzah sebagai sosok yang sangat vokal, idealis, dan sangat kritis terhadap pemerintah dalam memainkan peran check and balance sebagai wakil rakyat di Senayan.

Oleh karenanya, tidak sedikit juga kritik yang mengaitkan perubahan manuver dan orientasi politik Fahri dengan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Nararya yang secara istimewa disematkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepadanya dan Fadli Zon pada pertengahan Agustus lalu sebagai tanda berseminya sebuah konsolidasi politik.

Satu yang tak kalah menarik, Fahri juga dikatakan sedang dalam proses transformasi seperti apa yang terjadi pada Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin.

Ya, saat ini Fahri dinilai menapaki jejak serupa yang dilakukan Ngabalin ketika sempat menjadi antagonis paling lantang bagi pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi di periode pertama, namun justru kemudian merapat mesra dengan gerbong politik Istana sejak tahun 2018.

Lalu pertanyaannya, mengapa perubahan gestur maupun arah politik tersebut bisa terjadi pada sosok Fahri Hamzah?

Kritik Semu Belaka?

Memang cukup sulit bagi logika publik untuk mencerna dinamisnya perubahan konstelasi politik di tanah air. Dari kawan menjadi lawan dan sebaliknya seolah menjadi keniscayaan yang sulit dielakkan dalam ekosistem politik yang telah terkonstruksi.

Terkadang tak sedikit terbersit sebuah impresi bahwa deru kritik yang bertebaran dari berbagai arah dan terlontar dari berbagai pihak terkesan bermakna semu belaka, ketika para pihak yang berseteru pada akhirnya rujuk bermesraan, baik di depan layar maupun di belakang panggung.

Erving Goffman dalam Presentation of Self in Everyday Life menyebutkan sebuah konsep menarik mengenai dramaturgi yang menyatakan bahwa dalam berbagai interaksi manusia sesungguhnya terdapat dua panggung berbeda yang mencerminkan karakteristik dan situasi yang berbeda, yakni front stage dan back stage.

Singkatnya, Goffman menjelaskan bahwa di balik eksistensi intrik-intrik yang terlihat secara kasat mata, sesungguhnya terdapat realita berbeda yang terjadi di baliknya.

Konsep tersebut dinilai cukup relevan dalam memahami dinamika dan perubahan-perubahan orientasi dan perilaku politik para aktor, termasuk ketika mereka memutuskan untuk berpindah haluan secara radikal.

Pada konteks Fahri Hamzah, tentu menjadi pertanyaan tersendiri apakah perubahan gestur politiknya yang cenderung “radikal” saat ini mengindikasikan bahwa idealisme dan kritiknya di masa lalu hanya sebatas menjalankan peran yang relevan di panggung parlemen belaka, dan berubah ketika berada di panggung yang berbeda saat tak lagi menjadi anggota dewan?

Justifikasi itu tentu cukup sulit untuk dibuktikan secara konkret. Namun, sepak terjang positif Fahri yang berbuah substansi konkret dan sejalan dengan kritiknya selama tiga periode di parlemen memang tak bisa diidentifikasi secara jelas.

Akan tetapi satu hal yang pasti, pencapaian sebagai Wakil Ketua DPR dan ketangguhannya dalam memenangkan perseteruan dengan partainya sendiri, PKS menasbihkan bahwa dirinya memang memiliki kecakapan dan reputasi lobi politik yang lebih di belakang panggung.

Oleh karenanya, perubahan arah politik Fahri sejauh ini hanya dapat dipahami sebagai sebuah fleksibilitas dan hak menentukan preferensi perannya sendiri di panggung politik yang baru.

Lantas, esensi seperti apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh Fahri Hamzah dengan arah politik barunya tersebut?

Sebuah Idealisme Baru?

Ihwal lain yang juga diinterpretasikan pada perubahan gestur politik Fahri ialah idealismenya yang seolah hilang dan bertransformasi menjadi sebuah pragmatisme di level praktis.

Namun benarkah hal itu?

Perubahan orientasi, gestur, maupun kecenderungan arah manuver politik Fahri Hamzah tampaknya dapat dipahami dan dimaknai dengan berangkat serta melihat lebih dalam akan idealisme serta kepentingan di balik inisiatif tersebut.

Meski terkesan begitu mulia dan seolah memperjuangkan tujuan kolektif, idealisme nyatanya juga kerap diidentikkan dengan mementingkan self-interest atau kepentingan diri sendiri.

Salah satu yang berada dalam satu garis dengan pemahaman tersebut ialah Manu Joseph, di mana dalam tulisannya yang berjudul It’s Important Not to Let Idealists Put You Off Idealism, ia mengatakan bahwa self-interest adalah cara yang paling efektif dalam menyebarkan idealisme itu sendiri.

Menyebutnya sebagai modern idealismself-interest dikatakan menjadi konduktor terbaik bagi sebuah ide. Intinya adalah, tanpa kekuatan self-interest, kebaikan tidak akan mampu melawan kejahatan.

Joseph misalnya memberikan sebuah postulat bahwa satu-satunya cara efektif untuk melawan keserakahan kapitalisme ialah melalui bentuk-bentuk self-interest.

Pada konteks Fahri Hamzah, terdapat kemungkinan juga bahwa perubahan gestur politiknya mencerminkan sebuah modern idealism tersendiri dengan makna tertentu pula.

Realitanya, status Fahri saat ini memang “memaksanya” memainkan peran berbeda dalam dinamika politik kekinian. Fahri dinilai tengah berada pada dimensi baru jika dibandingkan ketika publik jamak mendengar kritik penuh idealismenya saat masih menjabat pimpinan DPR.

Inisiatif mendirikan Partai Gelora dinilai menjadi pangkal self-interest Fahri dalam menerjemahkan modern idealism-nya pada dimensi politik yang baru dan berbeda.

Terlepas dari kecenderungan terkini ketika dekat dengan kekuasaan yang dinilai membuatnya telah menurunkan level politik dari ranah ide ke ranah praktis, self-interest dari idealisme Fahri hingga saat ini nyatanya masih cukup mendalam.

Fahri menjadi sosok yang unik, tajam, dan sangat objektif dalam memberikan penilaian pada isu tertentu. Misalnya pada isu terkini Pilkada 2020. Fahri menjadi pihak yang setuju bahwa pelaksanaannya tetap berlangsung dengan pertimbangan pentingnya legitimasi definitif yang kuat dalam menghadapi krisis ekonomi dan kesehatan di tengah pandemi Covid-19.

Menurutnya, ratusan kekosongan legitimasi daerah akibat Pilkada yang tertunda akan menimbulkan chaos dan berbahaya bagi penanganan dampak pandemi jangka panjang.

“Bercerai” dari PKS dan berkelana dengan partai baru juga dinilai menjadi bentuk pamungkas ekspresi politiknya. Fahri masih menyayangkan bahwa kebanyakan dari partai politik (parpol) yang ada saat ini cenderung berperan sebagai mesin kekuasaan dibandingkan penelur ide-ide segar yang konstruktif bagi rakyat.

Karenanya, kesan bahwa Fahri membawa Gelora merapat dengan koalisi pemerintah dianggap sejumlah pengamat hanya sebagai sebuah strategi politik untuk menabung pamor dan memetakan kantong politik demi eksistensi partai di pesta demokrasi 2024.

Artinya, dapat dikatakan bahwa jika secara sadar Fahri masih memiliki self-interest dan idealisme tersendiri akan hakikat sebuah parpol, tentu Fahri tak ingin mengulangi kesalahan “jiwa rebel” Partai Berkarya yang melempem sebagai partai baru dan justru berpotensi menghambat idealismenya itu sendiri.

Akan tetapi, isu terkait dukungan terhadap Gibran dan dinasti politik yang menyudutkannya telah menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Fahri.

Yang tercermin dari Fahri dan partainya saat ini akhirnya ialah upaya menyeimbangkan kebutuhan akan modal politik, namun tetap berusaha merasionalisasi secara konstruktif dan seobjektif mungkin terhadap isu dan dinamika politik kekinian.

Meskipun begitu, alasan pasti di balik perubahan arah politik dan ihwal apa yang ingin dicapai sesungguhnya ada di sisi Fahri Hamzah secara personal. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version