HomeNalar PolitikNgabalin Atau Fahri, Siapa Pengganti Moeldoko?

Ngabalin Atau Fahri, Siapa Pengganti Moeldoko?

Sejak isu kudeta Partai Demokrat mencuat, dorongan agar Moeldoko mundur sebagai Kepala KSP telah mencuat. Kini, setelah Kemenkumham resmi menolak kepengurusan Partai Demokrat kubu Moeldoko, dorongan tersebut semakin deras terasa. Lantas, siapa kira-kira sosok yang akan mengganti mantan Panglima TNI tersebut? Apakah sosok sipil seperti Ali Ngabalin atau Fahri Hamzah? Atau kembali diberikan kepada sosok militer?


PinterPolitik.com

Sebenarnya ada gestur menarik yang terlihat dari Moeldoko di tengah usahanya merebut kepemimpinan Partai Demokrat dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Diperhatikan atau tidak, Moeldoko jarang terlihat bersama Marzuki Alie Cs.

Kebersamaannya hanya terlihat ketika menghadiri Kongres Luas Biasa (KLB) di Deli Serdang selepas ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada 5 Maret lalu. Dalam berbagai konfrensi pers yang dilakukan, mantan Panglima TNI tersebut justru tidak terlihat.

Ketidakhadiran itu kemudian meninggalkan tanda tanya, apakah Moeldoko sedang bersafari untuk menghimpun dukungan politik? Jika itu benar, maka dapat dipastikan Moeldoko menyadari pengaruhnya tidak cukup untuk merebut partai mercedes.

Dan tampaknya terbukti, Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) telah menolak kepengurusan Partai Demokrat kubu Moeldoko. Atas putusan itu pula, dorongan agar Moeldoko menanggalkan jabatannya sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) semakin deras terdengar.

Sejak awal AHY mengemukakan adanya usaha kudeta yang didalangi Moeldoko, dorongan agar Moeldoko mundur dari jabatannya telah didengungkan. Saat itu, berbagai pihak menilai Moeldoko harus mundur agar Istana, khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak dipersepsikan terlibat dalam kudeta Partai Demokrat.

Baca Juga: Alam Tak Setujui Kubu Moeldoko

Dengan adanya penolakan dari Kemenkumham, serta pengakuan Moeldoko di Instagram pribadinya bahwa ia tidak ingin melibatkan Presiden Jokowi dalam urusan politik pribadinya, akankah dalam waktu dekat posisi Kepala KSP akan diisi oleh wajah baru?

Jika benar demikian, kita patut memperhitungkan nama-nama yang sudah mencuat sampai saat ini. Setidaknya ada dua nama yang disebutkan baru-baru ini, yakni Ali Mochtar Ngabalin dan Fahri Hamzah.

Lantas, apakah kedua nama itu cocok memegang posisi Kepala KSP?

Medium is the Message

Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden Pasal 2 tentang tugas Kantor Staf Presiden dan Pasal 3 e, f, dan g tentang fungsi Kantor Staf Presiden, KSP memiliki peranan dalam hal komunikasi publik atau yang menjembatani presiden dengan masyarakat.

Konteks itu sekiranya membuat Ngabalin ataupun Fahri layak dimunculkan. Keduanya adalah sosok vokal yang dapat menjadi corong suara Istana. Terlebih lagi, Ngabalin memiliki riwayat pendidikan yang sangat mendukung. Ia menempuh S2 Ilmu Komunikasi dan S3 Ilmu Manajemen.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Sementara Fahri, kemampuannya yang dapat berbaur dengan berbagai kelompok disebut sebagai poin positif. Ini misalnya diungkapkan oleh politisi Partai Demokrat Syahrial Nasution. Menurutnya, Fahri adalah tokoh muda kritis yang luwes, dan dapat menjadi jembatan yang kokoh bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) baik ke kanan, tengah maupun kiri.

Namun, apakah sebagai sosok vokal adalah modal yang cukup untuk menjadi Kepala KSP? Apakah itu berkorelasi positif dengan keberhasilan komunikasi?

Jawabannya sepertinya tidak. Ini bertolak dari buku From Understanding Media: The Extensions of Man karya Marshall McLuhan. Menurut filsuf asal Kanada ini, dalam komunikasi, yang terpenting justru adalah medium komunikasi, bukan kontennya. Ini melahirkan frasa terkenal, medium is the message.

Ini cukup mudah dipahami. Kita mungkin akrab dengan nasihat, sering kali hal baik salah dipahami karena cara penyampaiannya yang kurang tepat. Kurang lebih seperti itu maksud McLuhan. Namun harus dipahami, konteks yang dimaksud McLuhan pada persoalan bagaimana media menampilkan informasi. Kasarnya, ini adalah persoalan framing.

Kendati demikian, penekanan pada medium is the message sudah cukup digunakan untuk menguji apakah Ngabalin atau Fahri tepat sebagai jembatan komunikasi Istana.

Baca Juga: Fahri Hamzah ‘Masuk’ Istana?

Nah, apakah Ngabalin atau Fahri memiliki kemampuan menyampaikan pesan dengan baik kepada masyarakat luas? Melihat gelagat keduanya selama ini, sepertinya tidak. Ngabalin, misalnya, beberapa kali melakukan kebisingan politik karena pernyataannya yang dinilai kontroversial. Ihwal tersebut tampaknya berkorelasi dengan perannya yang tidak mencolok pada periode kedua pemerintahan Jokowi.

Sementara Fahri, Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini memang memiliki pemikiran kritis dan tajam. Namun yang menjadi persoalan, kerap kali Fahri kurang bisa merangkainya dengan baik, sehingga menimbulkan persepsi minor di tengah publik.

Yang paling menarik misalnya pada kasus revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Penekanan Fahri sebenarnya sangat logis. Dengan fakta KPK dibentuk untuk mencegah kasus korupsi, banyaknya penangkapan koruptor, seperti melakukan operasi tangkap tangan (OTT), sebenarnya menunjukkan KPK tidak memenuhi raison d’etre atau alasan keberadaannya.

Di titik ini, mungkin ada yang menyimpulkan kedua sosok tersebut kurang tepat mengisi peran Kepala KSP dari sisi manajemen komunikasi. Selain itu, apabila mengacu pada Kepala KSP yang ada, di mana dua di antara ketiganya adalah sosok militer, apakah mungkin Kepala KSP harus memiliki pengaruh tertentu?

Kembali ke Sosok Militer?

Terkait persoalan tersebut, ada komentar menarik dari Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno. Menurutnya, usulan mengganti Moeldoko dengan Ngabalin atau Fahri sebenarnya adalah semacam satir, karena mantan Panglima TNI tersebut tidak kunjung mundur dari jabatannya.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Pendapat itu juga berkorelasi jika dibandingkan dengan polling yang dilakukan oleh politisi Partai Demokrat Rachland Nashidik di Twitter pribadinya. Diikuti oleh 2.847 responden, polling tersebut menghadirkan tiga nama, yakni Jenderal (Purn) Idham Azis yang meraih suara terbanyak, 52,3 persen. Diikuti Jenderal (Purn) Agum Gumelar dengan suara 34,4 persen, dan Jenderal (Purn) Wiranto dengan suara 13,3 persen.

Pada 14 Maret lalu, Ketua Koordinator Jaringan Pemuda Indonesia (JAPI) Iradat Ismail juga menyampaikan empat nama pengganti Moeldoko, yakni politikus senior PDIP TB. Hasanuddin, mantan KSAD Jenderal (Purn) Mulyono, mantan Kapolri Jenderal Idham Aziz, dan Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Sutomo.

Pertanyaannya, mengapa nama-nama yang dimunculkan hampir semuanya bukan dari sosok sipil? Jawabannya mungkin karena Kepala KSP butuh sosok dengan pengaruh yang besar, seperti purnawirawan jenderal. Asumsi itu berkorelasi dengan tiga Kepala KSP yang ada, di mana dua di antaranya adalah purnawirawan jenderal, yakni Luhut Binsar Pandjaitan dan Moeldoko. Yang lainnya adalah Teten Masduki.

Tulisan Evan A. Laksmana yang berjudul Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interests and Presidential Handholding mungkin dapat memperjelas persoalan ini. Menurutnya, militer berperan penting dalam menjalankan agenda politik Presiden Jokowi pada periode pertama kepemimpinannya.

Menurut Evan, karena Presiden Jokowi tidak memiliki modal politik yang cukup untuk menjaga koalisi, serta tidak memiliki pengalaman untuk mengelola hubungan dengan militer, mantan Wali Kota Solo tersebut telah memainkan strategi dengan mengandalkan sosok berlatar belakang militer seperti Luhut Binsar Pandjaitan, A.M. Hendropriyono, Ryamizard Ryacudu, Wiranto, Agum Gumelar, dan Moeldoko.

Baca Juga: Moeldoko adalah Dalang atau Hanya Wayang?

Lalu, terkhusus pada kasus Luhut, Kanupriya Kapoor dalam tulisannya Indonesian President Treads Fine Line by Empowering Chief of Staff memberikan poin menarik. Menurutnya, Luhut berperan sebagai “bumper” bagi Presiden Jokowi dari berbagai tekanan politik, misalnya dari PDIP.

Dengan demikian, melihat polanya, tampaknya bukan sosok sipil yang akan dipilih jika Moeldoko benar-benar diganti. Mungkin pilihannya akan jatuh kepada mantan Kapolri Jenderal Idham Aziz. Tapi, itu tentu hanyalah prediksi semata.

Kita lihat saja perkembangannya, apakah kursi Kepala KSP akan memiliki nama baru, atau Moeldoko akan tetap berada di posisinya saat ini. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...