Dengarkan artikel berikut:
Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu belum tunjukkan niatan untuk mengurangi agresi militernya di Palestina. Mungkinkah lantas Netanyahu tidak ingin kekerasan yang terjadi tidak berakhir?
Kekejaman Israel kembali jadi sorotan dunia setelah pasukan militer mereka membombardir kawasan Rafah 26 Mei silam. Hal ini menandai eskalasi lanjutan dari Israel yang nampaknya menjadi pertanda keras bahwa pihak Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu enggan untuk menghentikan perang.
Dalam kancah politik dunia, konflik Israel-Palestina memang menempati posisi yang berbeda dari konflik lain—sebuah konflik yang seolah tak mengenal kata akhir. Kalau kita lihat sejarahnya, tentu banyak faktor yang berkontribusi pada kenyataan ini, mulai dari dimensi agama, sejarah, politik, hingga ekonomi. Dinamika ini diperparah oleh intervensi internasional yang sering kali tidak memadai atau justru memperkeruh keadaan.
Menariknya, kendati telah puluhan tahun mendapat tekanan untuk segera mengakhiri pertempuran, penindasan dan kekejaman perang yang terjadi di sana hingga kini belum terlihat akan selesai dalam waktu dekat. Padahal, kedua belah pihak selama ini selalu menunjukkan gelagat berkeinginan mewujudkan perdamaian.
Maka dari itu, muncul sebuah pertanyaan esensial yang rasanya cukup sering muncul di benak masyarakat: mengapa perang Israel-Palestina terjadi berlarut-larut dan kira-kira apa yang menjadi penyebabnya?
Netanyahu ‘Gila’ Perang?
Perselisihan antara Israel dan Palestina setidaknya bisa kita tarik ke tahun 1948, dengan penetapan negara Israel dan berkembangnya politik Zionisme dan kedatangan pemukim Zionis ke tanah Palestina. Sejak masa tersebut upaya perdamaian beberapa kali sudah dicoba tetapi selalu berakhir buruk.
Begitu juga dengan upaya perdamaian antara Israel dan Palestina pada tahun 2023-2024 ini. Sejak eskalasi pertempuran 7 Oktober 2023 silam, upaya mediasi perdamaian sudah beberapa kali dilakukan, bahkan melibatkan peran negara lain sebagai penengahnya, seperti Qatar, Amerika Serikat (AS), dan juga anggota-anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Menurut Baraa Shiban, analis politik dari Royal United Service Institute (RUSI), agresi yang dilakukan Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu terkait perang kali ini mungkin adalah yang paling berbahaya dalam beberapa tahun terakhir, karena semua analisis menunjukkan bahwa serangan yang dilakukan militer Israel tampaknya tidak memiliki alasan yang jelas selain hanya untuk “menghabisi” kelompok milisi Palestina.
Di saat yang bersamaan, memang muncul ambisi politik populer lain di Israel, seperti keinginan untuk menjadikan wilayah Palestina sebagai wilayah Israel, kemudian juga ambisi untuk “mendorong” sisa penduduk Palestina ke wilayah Gunung Sinai. Namun, kekerasan yang kali ini berada di bawah pemerintahan Netanyahu disebut hanya ingin memperparah kehancuran demi memperlama konflik.
Mengapa Netanyahu ingin memperlama konflik? Well, ada beberapa asumsi, tapi salah satunya yang paling kuat adalah untuk pragmatisme politik. Pada 2022 silam, Netanyahu berhasil kembali terpilih menjadi PM Israel karena pada saat itu sentimen sayap kanan di Israel tengah menguat, banyak warga Israel yang merasa perlu punya pemimpin kuat untuk memantapkan pengaruh negara mereka di Palestina. Rasa kebutuhan ini lantas diasumsikan tengah difabrikasi oleh pihak Netanyahu untuk kembali muncul.
Ya, sederhananya, pembantaian yang belakangan terjadi atas kesadaran Netanyahu diprediksi kuat hanyalah sebagai bahan bakar politik agar Israel tetap merasa perlu pemimpin yang tahu bagaimana caranya “berkelahi”.
Namun, selain kepentingan politik tadi, ada satu alasan lain juga yang diduga menjadi motivasi terkuat Netanyahu untuk memperlama pertempuran.
Pengalihan Isu Korupsi?
Netanyahu diketahui menghadapi berbagai masalah domestik yang signifikan, termasuk skandal korupsi yang terus menghantui karir politiknya. Beberapa kali dia didakwa dalam kasus korupsi yang melibatkan suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan.
Salah satu contohnya adalah periode ketegangan yang meningkat pada tahun 2019, ketika Netanyahu berada di bawah penyelidikan intensif atas dugaan korupsi.
Pada 21 November 2019, Netanyahu terseret kasus pelanggaran kepercayaan, menerima suap, dan penipuan, yang memaksanya secara hukum melepaskan jabatan-jabatannya, kecuali sebagai perdana menteri. Sidang Netanyahu di Pengadilan Distrik Yerusalem dimulai pada 24 Mei 2020, dengan kesaksian saksi dimulai pada 5 April 2021. Perkembangan terbarunya, setidaknya hingga April 2024, sidang ini diketahui masih masih berlangsung.
Menariknya, bersamaan dengan itu, Sarosh Bana dalam tulisannya Israel-Hamas War and Israeli Domestic Politics, bahkan menemukan bahwa memang Israel mengalami peningkatan operasi militer bertepatan dengan perkembangan negatif dalam kasus hukum Netanyahu tadi. Hal ini semakin mengindikasikan upaya jelas untuk menjadikan konflik bersenjata di Israel sebagai pengalihan perhatian publik.
Maka dari itu, bisa kita asumsikan bahwa selama Netanyahu belum merasa masa depan politiknya di Israel aman, bisa jadi ia akan terus menjaga api kekerasan dan penindasan yang terjadi di Palestina tetap membara. Bila benar, hal ini semakin membuat kita miris atas krisis di Palestina, karena sama saja para korban yang tewas di sana dijadikan komoditas politik oleh Netanyahu. (D74)