Isu neolib telah merebak di Indonesia sejak zaman Soekarno hingga kini. Di era Jokowi-JK isu ini kembali mencuat. Bagaimanakah posisi Jokowi, apakah mendukung atau melawan neolib?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]S[/dropcap]ejumlah fakta mengenai kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi-JK disinyalir belum beranjak dari pendekatan ekonomi neoliberalisme atau neolib. Beberapa waktu lalu, muncul pernyataan dari mantan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli yang mengatakan bahwa perekonomian Indonesia mengalami kemerosotan karena pemerintah menganut paham neolib. Hal ini berdampak pada ketimpangan ekonomi antara konglomerat dan warga miskin.
Pendapat serupa juga sempat dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring (IDM) Bin Tresnadi seperti dilansir dari Rmol.com. Ia menandaskan bahwa dalam derajat tertentu, pemerintahan Jokowi-JK jauh lebih neoliberal dibanding rezim sebelumnya. Buktinya, dalam hitungan pekan saat pertama kali menjabat, Presiden Jokowi dan menteri-menterinya sudah sibuk ‘menjajakan’ Indonesia kepada investor asing melalui berbagai forum. Selain itu, Tresnadi juga menambahkan bahwa satu persatu layanan publik strategis dan barang publik seperti energi, pangan, air minum, udara, tanah, hutan, pelabuhan, jalan raya, kesehatan, transportasi publik, pendidikan, dan lain sebagainya diserahkan kepada mekanisme pasar.
Melihat pandangan-pandangan tersebut, pertanyaan adalah apakah benar pemerintahan Jokowi-JK neolib?
Neolib: Wajah Baru Liberalisme Klasik
Neolib secara sederhana diartikan sebagai wajah baru dari liberalisme. Ada dua jenis aliran neolib yang berkembang. Yang pertama, adalah ordoliberalisme yaitu aliran neolib yang mengusulkan perlu ada intervensi dari pemerintah dalam urusan perekonomian negara. Yang kedua, adalah aliran yang dikenal hingga saat ini, yakni neoliberalisme itu sendiri. Aliran ini berusaha menyingkirkan peran pemerintah dalam segala urusan ekonomi dan menyerahkan urusan tersebut pada pasar (Deliarnov, 2006: 164).
Neolib juga lebih banyak dipandang sebagai konsep ekonomi pasar berdasarkan Konsensus Washington yang dirumuskan oleh John Williamson (1989). Konsensus Washington yang berisi 10 item liberalisasi ekonomi seperti disiplin fiskal, deregulasi, privatisasi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, dan liberalisasi sektor finansial menjadi standar paket reformasi ekonomi yang ditawarkan oleh IMF, Bank Dunia, dan Amerika Serikat kepada negara-negara dunia ketiga. Dengan demikian, proses neolib yang diwacanakan berakibat pada monopoli negara-negara kaya terhadap negara berkembang di berbagai aspek seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Hal ini juga ditandai dengan lahirnya ketimpangan ekonomi antara yang kaya dan miskin. Di Asia, Indonesia merupakan contoh yang paling baik untuk melihat dampak dari pengaruh neolib.
Ada Neolib di Indonesia?
Neolib bukanlah istilah baru dalam dunia politik Indonesia. Sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neolib telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi (penghilangan peran pemerintah yang menghambat pasar) dan debirokratisasi. Pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neolib secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997-1998. Hal ini juga berlangsung hingga pemerintahan Jokowi-JK. Sejumlah kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi tampaknya juga masih cenderung menganut paham neolib karena Jokowi sendiri masih berusaha untuk mengembalikan kestabilan sistem perekonomian Indonesia yang telah terindikasi neolib sejak zaman Soeharto.
Pemerintah Jokowi-JK juga perlu mewaspadai fenomena ketimpangan ekonomi karena angka rasio gini Indonesia sudah mengkhawatirkan dan menyebabkan rawan terjadinya gejolak sosial. Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand. Apalagi, jika pemerintah tidak mampu menahan kenaikan harga sembako, seperti beras, jagung, cabai, bawang, yang terjadi dalam dua bulan terakhir, maka akan menimbulkan kesulitan bagi masyarakat kecil.
Namun, kita juga tidak bisa menampik bahwa pada masa pemerintahan yang sudah berjalan selama 3 tahun ini, banyak pencapaian yang sudah diraih oleh pemerintahan Jokowi-JK, terutama di bidang ekonomi dan pembangunan. Jokowi-JK melakukan transformasi fundamental pada sistem ekonomi di Indonesia dengan mengeluarkan beberapa kebijakan. Misalnya mengubah ekonomi yang berbasis konsumsi menjadi ekonomi yang berbasis produksi, tepat sasaran dalam mengatasi kemiskinan, serta mendorong pembangunan yang merata di luar pulau Jawa.
Selain itu, Jokowi-JK juga melakukan pengurangan terhadap subsidi BBM sebesar 200 triliun rupiah, yang penggunaannya dialihkan untuk belanja pusat dan pembangunan daerah tertinggal. Pemerintahan Jokowi-JK juga menyelesaikan beberapa proyek yang sempat berhenti (mangkrak) seperti: Waduk Jati Gede, Waduk Nipah Sampang, PLTU Batang, Jalan Tol Solo, LRT dan turut meningkatkan layanan publik di bidang investasi dengan cara mempersingkat waktu perizinan bagi para investor.
Pemerintah Jokowi-JK juga terus melakukan pembangunan yang berkelanjutan di luar pulau Jawa untuk mendorong kegiatan ekonomi antar pulau, contohnya pembangunan tol trans Sumatera, tol trans Papua, pembangunan tol laut dan beberapa proyek lainnya. Selain itu, di sektor kelautan pemerintah juga melakukan perombakan secara besar-besaran. Hal ini dibuktikan dengan tindakan tegas dari pemerintah Indonesia bagi para pelaku ilegal fishing dan berimbas pada meningkatnya produksi perikanan di Indonesia.
Pembangunan Infrastruktur penghubung juga terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia seperti bandar udara, jalan darat perintis, dan pelabuhan. Pemerintah juga menargetkan swasembada pangan untuk negeri dan mulai mengalokasikan dana untuk pembangunan desa. Hal ini ditujukan untuk pengembangan perekonomian di pedesaan.
Langkah Cerdas Jokowi-JK
Lalu, apakah neoliberalisme telah dipraktikkan dan menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat global dan Indonesia pada khususnya? Jawabnya, tergantung siapa yang dimaksud dengan ‘masyarakat global’. Jika yang dimaksud masyarakat global adalah negara-negara kapitalis, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, maka neolib memang membawa untung. Sementara, bagi negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, neolib tidak membawa untung. Walaupun demikian, tak ada negara yang benar-benar 100% neolib di muka bumi ini. Bahkan, pemerintah Amerika Serikat sekalipun sering melakukan campur tangan dalam perekonomian. Tidak ada negara kapitalis tulen dan tidak ada negara sosialis tulen lagi di muka bumi ini. Pelabelan neolib lebih bernuansa politis dan cenderung untuk menyudutkan.
Dengan demikian, terlalu naif bila menilai pemerintahan Jokowi-JK neolib. Perkembangan perekonomian di era Jokowi-JK sekalipun kerap menuai kritik, namun memiliki indikasi ke arah yang lebih baik. Isu tentang neolib memang ada, namun ditanggapi secara cerdas dan kritis oleh pemerintah Jokowi-JK. Pemerintahan ini mencoba menjawab semua kritikan dengan melakukan kebijakan yang berbau neolib, namun memiliki faedah bagi masyarakat. Misalnya, pinjaman besar-besaran dari luar negeri untuk pembangunan di Indonesia, mendatangkan investor dari luar negeri untuk mengairahkan proyek properti maupun industri dan pengurangan subsidi BBM yang dananya dialihkan untuk pembangunan daerah tertinggal.
Mungkin saat ini, kita masih jauh dari konsep negara yang adil dan makmur, namun upaya memajukan poros maritim dan mengembangkan jalur transportasi laut merupakan langkah jitu yang patut diapresiasi. Program ini bertujuan untuk menghubungkan pulau-pulau di luar Jawa sehingga kelak industrialisasi menjadi merata ke seluruh daerah dan bila dikelola secara baik akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Oleh sebab itu, kita sebagai rakyat sudah sepatutnya mendukung program ini untuk mengarahkan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Selain itu, kita juga perlu kritis terhadap isu sosial-politik yang beredar di masyarakat agar tidak salah kaprah dalam memahami sesuatu. Bukankah demikian? (Dari berbagai sumber/K-32)