Jika sebelumnya kasus batu bara yang menjadi bukti eksistensi oligarki di negeri ini, maka kini kisruh minyak goreng yang menjadi bukti baru. Lantas, benarkah negara selalu kalah dari oligarki?
Akhirnya terjawab siapa mafia di balik kisruh minyak goreng yang sempat panas diberitakan akhir-akhir ini. Kejaksaan Agung (Kejagung) meringkus pejabat Kementerian Perdagangan (Kemendag) beserta tiga petinggi perusahaan kelapa sawit besar. Mereka disangkakan dalam kasus penerbitan surat ijin ekspor minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO).
Merespons peristiwa ini, Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, mengatakan kasus ini merugikan perekonomian negara. Akibat kuota Domestic Market Obligation (DMO) yang berkurang, minyak goreng terdampak menjadi langka dan mahal.
Pemerintah kemudian mengeluarkan uang dari pajak rakyat untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Menurut berbagai pihak, ini membuktikan bahwa oligarki sebenarnya ada dan memperlihatkan kerakusannya mengeksploitasi hajat hidup orang banyak.
Bagi La Nyalla, penentuan DMO sebesar 30 persen oleh pemerintah sebenarnya untuk menjaga pasokan kebutuhan dalam negeri. Termasuk menjaga supply and demand pabrik minyak goreng, tapi permainan kotor oligarki membuat rantai pasokan rusak.
Dari fakta ini, wajar jika masyarakat maupun para oposisi pemerintah menuduh ada keterkaitan antara kinerja pemerintah dan oligarki di baliknya. Semua isu politik terkini dihubungkan dengan oligarki.
Fakta oligarki mencengkeram kekuasaan di antaranya dapat dilihat dari fenomena kelangkaan minyak goreng yang disebut di atas. Persoalan lain seperti polemik pertambangan batu bara beberapa waktu lalu juga dikaitkan dengan lemahnya negara terhadap kuasa oligarki.
Persoalan bartu bara, dapat merujuk dari film Sexy Killer yang menggambarkan dengan sangat jelas bagaimana para elite terlibat menjadi pemain tambang batu bara di Kalimantan Timur. Alih-alih mendatangkan kesejahteraan masyarakat sekitar, justru penambangan membawa berbagai bencana lingkungan.
Meskipun oligarki dianggap jadi penyebab utama semua permasalahan bangsa. Tapi istilah oligarki tidak pernah digunakan sebagai istilah resmi untuk bentuk pemerintahan. Istilah ini hanya digunakan sebagai kritik bagi penguasa.
Bahkan oligarki juga sering digunakan sebagai cara untuk menunjukkan pengaruh orang kaya dan berkuasa dalam politik, serta pemerintahan yang biasanya digunakan untuk menguntungkan diri mereka sendiri.
Lantas, seperti apa memahami cengkeraman oligarki di Indonesia?
Meraba Oligarki Indonesia
Merujuk dari asal kata, oligarki berasal dari kata oligarkhes dalam bahasa Yunani yang dapat diartikan sebagai pemerintahan oleh sedikit orang. Pemahaman tentang pengertian oligarki di era Yunani ini sebenarnya muncul dari gagasan tentang ilmu negara dari filsuf ternama era itu, yaitu Plato.
Dalam gagasan Plato, oligarki merupakan transformasi dalam bentuk degradatif ataupun reduksi dari pemerintahan aristokrat. Jika pemerintahan aristokrasi dipimpin cerdik pandai, maka oligarki dipimpin oleh segolongan kecil yang memerintah demi kepentingan golongan sendiri.
Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarki, mengatakan demokrasi di Indonesia dikuasai oleh kelompok oligarki, akibatnya sistem demokrasi semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk memakmurkan rakyat Indonesia.
Winters melihat ketimpangan kekayaan di Indonesia jauh lebih merata antara kelompok kaya dengan kelompok miskin pada tahun 1945 jika dibandingkan saat ini. Hal ini terjadi sebagai akibat dari kelompok elite dan oligarki di Indonesia sudah menguasai serta mengontrol sistem demokrasi.
Berdasar dari fenomena ini, Winters kemudian membedakan oligarki menjadi dua dimensi. Pertama, dimensi oligarki yang mempunyai sumber kekuasaan serta kekayaan material sangat melimpah dan sulit untuk dipecah dan juga diseimbangkan.
Kedua, dimensi oligarki yang mempunyai suatu jangkauan kekuasaan yang cukup luas dan sistemik, meskipun mempunyai status minoritas di dalam sebuah komunitas.
Disimpulkan bahwa kekuasaan yang oligarki harus punya adalah dasar kekuasaan yang sulit dipecah dan juga jangkauan yang sistemik.
Niken Aninsi dalam tulisannya Memahami Oligarki dan Praktiknya di Indonesia, mengatakan oligarki sebagai faktor utama yang telah mempengaruhi ekonomi politik di Indonesia rupanya mulai menemukan bentuknya sejak masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Pasca Orde Baru, oligarki h yang semula oligarki sultanistik yang dikuasai hanya seseorang, menjadi oligarki penguasa kolektif.
Bahkan justru terdapat peningkatan penguasaan kekuasaan oligarki di Indonesia kontemporer pasca Soeharto. Dalam oligarki ini, para penguasa akan saling bekerja sama dalam mempertahankan kekayaannya dengan cara memerintah suatu komunitas, ini lah pengertian dari oligarki kolektif.
Richard Robison serta Vedi R. Hadiz dalam bukunya yang berjudul Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market, mengatakan oligarki yang terjadi di Indonesia tidak hilang pasca Reformasi, bahkan selalu bertransformasi dan mereorganisasi bentuk mereka.
Oligarki terus bertransformasi dengan cara menyesuaikan konteks politik di Indonesia. Ya betul, karena begitu kreatif oligarki beradaptasi dengan perubahan zaman. Oligarki yang berasal dari para pebisnis ini layaknya predator yang melibatkan diri dalam politik dan meningkatkan kekayaan melalui sejumlah bisnis yang mereka kelola. Terlihat seperti memberikan nuansa baru dan lapangan pekerjaan, namun di sisi lain oligarki dalam kondisi alamiahnya, sebenarnya menyebabkan adanya kesenjangan dalam pendapatan.
Well, terlihat jelas bahwa dalam sistem demokrasi di Indonesia yang sedang berkembang akan semakin membuat oligarki merajalela. Seolah kesalahan sistem demokrasi disebabkan oleh oligarki yang terus menyebar bagaikan virus.
Lantas, benarkah penyebab utama dari semua permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat saat ini akibat dari oligarki?
Oligarki Tidak Salah?
Secara alamiah oligarki mempunyai sifat yang sangat fleksibel dalam upayanya membuka peluang untuk masuk dan mempengaruhi penguasa yang sedang memerintah. Tapi mungkinkah pantas, jika semua kesalahan ditanggung oleh oligarki?
Pengamat politik Rocky Gerung, menolak pernyataan tersebut. Bahkan ia menilai tidak tepat publik mengecam oligarki sebagai biang di balik ketimpangan ekstrem sosial-ekonomi di Indonesia. Menurutnya, justru yang harus disalahkan adalah pemerintah yang menguasai negara ini.
Rocky menegaskan posisinya bahwa ia sejatinya tidak anti terhadap oligarki, melainkan anti kepada negara yang tidak mampu memajaki oligarki. Kondisi ini membuat oligarki dapat tumbuh subur di negara ini.
Meski negara tidak berkutik karena dicengkeram oleh kuasa kapital para oligark, menurut Rocky itu bukan kesalahan oligarki. Dikarenakan memang fungsinya oligarki melakukan akumulasi, baik kapital maupun resources (sumber daya), yang kesemuanya normal dalam hukum ekonomi.
Dari sini, kita melihat bahwa Rocky ingin memperjelas posisi oligarki dan pemerintah atau negara, yang keduanya begitu berbeda. Seringkali kita luput membedakan dua entitas ini dikarenakan mudahnya kita menyederhanakan sebuah istilah dalam pengetahuan atau wacana sehari-hari.
Peristiwa simplifikasi ini, biasa diistilahkan dengan self-selection bias. Kita sukar untuk menyeleksi sesuatu yang kita anggap sama, meski jika diteliti rupanya terdapat perbedaan.
Jika telah membedakan antara oligarki dan negara, mungkin kita akan setuju dengan Rocky, bahwa tugas negara haruslah hadir untuk mendistribusikan aset dan sumber daya yang ada, termasuk sumber daya dari oligarki.
Meski seringkali yang ditemukan malah sebaliknya, pemerintah bahkan sering yang mengundang oligarki untuk memasukinya. Seolah pemerintah tidak mengindahkan konstitusi sebagai panduan dalam bernegara.
Dalam bunyi Pasal 33 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Oligarki sejatinya tidak memiliki kekuatan untuk mencengkeram negara kalau tidak diizinkan oleh kekuasaan. Semestinya, pemerintah sejak awal seharusnya mampu mempersempit ruang oligarki, dan memperbesar ruang kuasa negara untuk mengatur hajat hidup orang banyak.
Dengan memaksimalkan fungsi negara, maka tugas besar untuk memutus tentakel oligarki akan lebih mudah dilakukan. Tapi, jika hanya mengandalkan tanggung jawab tersebut hanya kepada presiden, maka itu sama halnya dengan membiarkan kuasa oligarki terus menggerogoti nadir kekuasaan. Perlu usaha kolektif untuk memangkas oligarki di negeri ini. (I76)