Site icon PinterPolitik.com

Negara, Musuh Nadiem cs.?

Nadiem Makarim PDIP

Pendiri Go-Jek Nadiem Makarim bertemu Presiden Jokowi (Foto: Istimewa)

Beredar kabar bahwa para technopreneur telah bergabung dengan PDIP. Meski kabar ini dibantah, langkah tersebut wajar dilakukan mengingat potensi hubungan antara negara dan pengusaha.


Pinterpolitik.com

Belakangan ini, muncul sebuah kabar bahwa CEO perusahaan rintisan terkemuka Go-Jek, Nadiem Makarim telah  bergabung dengan PDIP. Sebuah kabar yang tentu saja mencengangkan di tengah geliat pengusaha muda Tanah Air sebagai technopreneur – istilah untuk entrepreneur di bidang teknologi.

Jika ditelusuri, kabar tersebut boleh jadi memiliki keterkaitan dengan sebuah artikel satir di laman Geotimes. Dalam artikel tersebut, tak hanya ada nama Nadiem saja, tetapi juga ada technopreneur muda lain seperti William Tanuwijaya dari Tokopedia dan Ahmad Zakky dari Bukalapak.

Kabar ini kemudian buru-buru dibantah oleh PDIP sendiri. Menurut mereka, hingga saat ini nama Nadiem masih belum ditemukan dalam database partai berlogo banteng tersebut. Meski mereka terus membuka rekrutmen, disebutkan bahwa PDIP tak bisa semudah itu menerima seseorang menjadi kader.

Terlepas dari bantahan kabar tersebut, belakangan ini sebenarnya dunia technopreneur seperti tengah bersinggungan dengan politik. Di Amerika Serikat misalnya, perusahaan-perusahaan besar seperti Microsoft, Google, Amazon, Apple, dan Facebook misalnya, mulai masuk berita politik seiring dengan komentar politisi di negeri tersebut.

Terlihat bahwa dunia usaha di bidang teknologi kini mulai bertemu dengan dunia politik. Lalu, bagaimana sebenarnya yang terjadi ketika dua dunia ini beradu?

Menjelma Jadi Musuh

Secara umum, dunia bisnis dan dunia politik kerap kali menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Meski demikian, dalam beberapa waktu terakhir, tampak ada semacam benturan antara dunia usaha dan dunia politik terutama dalam bidang teknologi.

Tengok saja bagaimana Presiden AS Donald Trump yang melontarkan komentar cukup tajam kepada perusahaan teknologi ternama. Presiden asal Partai Republik ini misalnya pernah melontarkan cuitan bahwa dirinya akan melakukan investigasi kepada raksasa teknologi dunia, Google.

Presiden yang berasal dari dunia usaha ini akan melakukan investigasi karena perusahaan itu dianggap telah bekerja sama dengan pemerintah Tiongkok. Tuduhan ini dianggap menjadi indikasi ancaman bagi perusahaan-perusahaan teknologi karena ia sebelumnya sudah pernah mengancam untuk mengatur, menghukum, dan menuntut Google beserta perusahaan-perusahaan teknologi lainnya.

Di Indonesia sendiri, benturan dua dunia ini sebenarnya boleh jadi juga terjadi. Di satu sisi, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memang tampak mencoba membangun interaksi dengan perusahaan-perusahaan teknologi terkemuka di negeri ini. Meski begitu, sebenarnya ada pula kebijakan – atau setidak-tidaknya rancangan kebijakan – yang bisa mengusik kenyamanan perusahaan-perusahaan tersebut.

Beberapa waktu lalu misalnya, Kementerian Keuangan sempat mengeluarkan wacana untuk memberikan pajak untuk kegiatan perdagangan elektronik atau e-commerce. Meski akhirnya dibatalkan, wacana pajak tersebut sempat menimbulkan kebingungan bagi technopreneur di bidang tersebut.

Tak hanya itu, kebingungan juga sempat terjadi pada pelaku usaha teknologi di bidang teknologi. Berbagai regulasi tentang legalisasi hingga batas harga sempat menimbulkan polemik antara negara sebagai pembuat aturan dengan perusahaan sebagai pelaku usaha.

Terlihat bahwa dalam banyak kasus, negara kerap kali memiliki langkah yang mengancam ketika dunia politik  dan dunia usaha teknologi berbenturan. Oleh karena itu, para pengusaha teknologi ini boleh jadi memerlukan cara khusus agar kenyamanan berusaha mereka tak terganggu oleh negara. Dalam konteks ini, negara dapat menjelma menjadi musuh para technopreneur tersebut.

Menjaga Kepentingan

Ada kisah tentang penemu Alibaba Group asal Tiongkok, Jack Ma yang diketahui menjadi anggota dari Partai Komunis Tiongkok. Banyak pertanyaan mengenai mengapa orang sekaya Jack Ma, masih perlu bergabung dengan partai politik. Salah satu spekulasi yang mengemuka adalah soal koneksi untuk mengamankan bisnisnya.

Beberapa laporan menyebutkan bahwa Jack Ma bergabung dengan partai tersebut sudah sejak lama. Meski demikian, publik bertanya-tanya mengapa pengungkapannya sebagai anggota partai harus terjadi belum lama ini. Hal ini karena pengungkapan tersebut dianggap mampu meningkatkan popularitas partai melalui popularitas Jack Ma.

Pengungkapan Ma sebagai anggota partai juga disebut-sebut memiliki kaitan dengan upaya pemerintahan Xi Jinping untuk menegaskan kontrolnya terhadap sektor privat. Jack Ma sendiri dianggap sebagai sosok yang menjadi orang teratas di sektor tersebut.

Di Tiongkok, seorang pengusaha di sektor privat yang bergabung dengan Partai Komunis Tiongkok sebenarnya adalah hal yang sangat lazim. Selama beberapa tahun terakhir, pengusaha-pengusaha ini kerap kali dianggap sebagai pendukung setia bagi partai dan negara. Hal ini boleh jadi berlaku pula pada pengusaha-pengusaha di bidang teknologi.

Dalam tulisan The Political “Participation” of Entrepreneurs: Challenge or Opportunity for the Chinese Communist Party? yang ditulis oleh Gilles Guiheux, kooptasi individu pelaku sektor privat ini merupakan salah satu langkah yang dilakukan oleh Partai Komunis Tiongkok.

Sementara Gunter Schubert and Thomas Heberer dalam Private Entrepreneurs as a “Strategic Group” in the Chinese Polity, mengumpulkan beragam studi tentang sikap bagaimana seorang pengusaha bergabung dengan suatu kekuatan politik. Ada kecenderungan bahwa mereka akan mendukung suatu kekuatan pemerintah atau oposisi untuk menjaga kepentingan bisnis mereka.

Para pengusaha ini memiliki kekhawatiran jika ada perubahan kebijakan yang bisa mengganggu aktivitas bisnis mereka. Perkara seperti perubahan kebijakan pajak industri yang lebih tinggi misalnya dapat membuat mereka harus mengatur ulang pengeluaran dari perusahaan.

Selain itu, ada beragam hal lain yang dapat diambil oleh pengusaha itu jika bergabung dengan Partai Komunis Tiongkok. Menurut Guiheux, mereka misalnya bisa meningkatkan status sosial dengan bergabung dengan partai. Mereka juga umumnya akan didorong untuk tampil di depan oleh penguasa, sehingga dapat terlihat memiliki tanggung jawab sosial kepada komunitas di sekitarnya.

Memang, dalam tulisan Schubert dan Heberer digambarkan bahwa para pengusaha itu mulai menjadi kelompok strategis dan menyadari kekuatan mereka semakin besar. Meski demikian, hal tersebut tidak menutupi kenyataan bahwa relasi mereka dengan partai dan negara pada awalnya adalah soal melindungi diri dari kebijakan negara itu sendiri. Menurut Guiheux, relasi yang terjadi antara sektor privat dengan negara-partai kemudian kooperasi alih-alih konfrontasi atau menjadi musuh.

Wajar Jika Terjadi

Berdasarkan kondisi tersebut, wajar jika technopreneur ada yang harus bergabung dengan partai politik. Mereka harus menemukan cara untuk menghadapi negara yang berpotensi menjadi musuh besar bagi mereka jika tak mengambil langkah yang tepat.

Nadiem dan kawan-kawan dapat menghindari benturan dengan negara terutama jika mereka mulai terancam dengan berbagai regulasi. Hal-hal yang terkait dengan pajak atau legalitas yang sempat membayangi boleh jadi tak akan terlalu mengancam jika mereka bisa menyelaraskan diri dengan pemegang posisi-posisi kunci dalam pemerintah.

Meski kabar merapatnya Nadiem cs. ke PDIP telah dibantah, bergabungnya mereka sebenarnya adalah hal yang tergolong rasional. Sebagai partai terbesar selama dua periode terakhir, bergabung dengan PDIP dapat membuat potensi negara menjadi musuh technopreneur dapat diminimalisasi.

Meski dibantah, jika Nadiem dan technopreneur lain bergabung dengan partai, maka mereka bisa melindungi diri dari negara Share on X

Jika resmi menjadi kader, para technopreneur ini dapat mempengaruhi arah partai agar bisa membuat kebijakan yang ramah dengan bisnis mereka. Dengan kekuatan modal dan jejaring yang mumpuni, para technopreneur ini bisa memberi anjuran agar tak ada regulasi atau pajak yang membuat bisnis mereka tak nyaman.

Bagi PDIP sendiri, merapatnya mereka sendiri dapat memberikan manfaat khusus. Sebagaimana diketahui, belakangan ini para technopreneur ini tengah mesra dengan pihak Istana. PDIP bisa saja mengamankan para technoprenur agar lebih loyal kepada mereka ketimbang entitas politik lain termasuk Jokowi sendiri.

Pada akhirnya, meski telah terbit bantahan, potensi merapatnya para technopreneur ke dalam partai politik merupakan hal yang rasional untuk mencegah negara menjadi musuh bisnis mereka. Kita lihat saja, apakah para technopreneur ini benar-benar akan berpartai atau tidak nantinya. (H33)

 

 

 

Exit mobile version