Sukmawati Soekarno, si putri bontot pengagum seni dan budaya, sangat dekat dengan mendiang Ayahnya. Dengan siapa lagi kedekatannya terjalin?
PinterPolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]angis Diah Mutiara Sukmawati Soekarnoputri barangkali belum menjamin kisruh puisi ‘Ibu Indonesia’ reda. Empat laporan telah datang ke Polri untuk memperkarakan puisi yang sudah beredar sejak 2006 itu, hingga kini pun masih terus diproses dan didalami oleh pihak kepolisian.
Pihak pelapor mayoritas berasal dari organisasi masyarakat berbasis Islam yang menuding dirinya menodai Islam. Sementara Sukmawati hanya bisa berkata bila puisinya tak dimaksudkan untuk menghina, sebab dirinya sendiri adalah seorang Muslimah yang bangga.
Sebelum polemik puisi ‘Ibu Indonesia’ mengemuka, sosok Sukmawati memang tak sering muncul di media. Bila dibandingkan dengan dua saudara perempuannya – Megawati dan Rachmawati Soekarno – sosoknya pun tak terlalu tenar. Padahal, di tahun 2016 lalu, ia sempat melaporkan imam besar FPI, Rizieq Shihab, karena menodai simbol negara Pancasila. Apa daya, kini dirinya terancam delik yang sama, namun menodai agama.
Tragedi tersebut membuatnya jauh lebih familiar di mata masyarakat, ketimbang Guntur dan Guruh Soekarnoputra yang adem ayem. Sama seperti saudara laki-lakinya, Guruh, Sukmawati punya ketertarikan kepada seni dan budaya yang begitu kentara. Bila Guruh suka menggubah lagu-lagu patriotik mengayun, Sukma lebih senang menari dan berpuisi. Soal lagu, ia mengaku hanya menjadi penikmat.
Walau ‘cuma’ jadi penikmat, Sukma punya standar musik bagus versi dirinya sendiri. “Lagu itu harus kokoh, patriotik, dan menggelorakan semangat perjuangan. Seperti karya Ismail Marzuki yang menyampaikan cinta tanah air dan kebangsaan.”
Sukma lantas menyebut Koes Bersaudara yang sempat dipenjara karena tak sesuai dengan ‘selera’ musik rezim saat itu, sebagai musik ‘cinta-cintaan’ yang tak berkarakter dan meniru musik ‘Barat’.
Jangan salahkan Sukmawati bila punya selera seperti itu. Hal tersebut memang terbentuk dan banyak dipengaruhi oleh kedekatannya dengan sang Ayah yang punya ideologi politik kiri dan anti Imperialisme.
Sejak remaja, ia banyak menghabiskan waktu di istana. Di kala itu pula, ia menjadi saksi bagaimana ayahnya didongkel dari kursi pemerintahan oleh Soeharto dengan Supersemar. Cerita memilukan itu direkamnya dalam buku berjudul Creeping Coup D’tat Mayjen Soeharto. Kedekatannya ini, juga membuatnya sering menghibur dan merawat ayahnya, “Bapak seperti hidup tapi ‘tak hidup’. Aspirasinya hancur berantakan. Dia sering menangis,” ungkapnya dalam The Indonesian Presidency: The Shift from Personal toward Constitutional Rule yang ditulis Angus McIntyre.
Terbayang akan kesedihan di akhir hayat Ayahanda, Sukmawati beberapa kali berusaha memindahkan makam Bung Karno ke Bogor. Bukan tanpa alasan, ia teringat bagaimana ayahnya punya hasrat dimakamkan di Batu Tulis, Bogor. Daerah Priangan yang sejuk dan dekat dengan para petani Marhaen, seperti yang juga tertulis dalam otobiografinya.
Tapi apa daya, tak ada satu pun anggota keluarga yang mendukungnya. Bahkan Megawati, yang dipandang berpengaruh dalam keluarga pun tak merestui. Padahal, menurut Sukma, ia hanya ingin mendekatkan tulang ayahnya dengan anggota keluarga yang masih tersisa.
Walau usaha tersebut masih jauh panggang dari api, satu hal yang pasti memang pengaruh sang ayah yang ikut diturunkan pada preferensi keseniannya. Ia sempat menjadi murid pelukis terkenal Dukut Hendranoto atau Pak Ooq. Ia adalah animator pertama yang mendapat kesempatan belajar ke Studio Walt Disney pada 1952, langsung atas bantuan Soekarno sendiri.
Pilihannya masuk ke Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) juga membawanya pada hal lain, termasuk perkenalannya dengan suami pertama, yakni Pangeran Mangkunegara IX. Kesukaannya pada seni tari mendekatkan keduanya. Walau tak banyak yang merekam, Sukmawati pernah berkontribusi dalam tarian “Alamat Buruk” yang mendapat pujian langsung dari Farida Oetoyo, maestro balet Indonesia.
Di luar kesenian, bagaimana kedekatan Sukmawati dengan saudara perempuan lainnya?
Panas Dingin dengan Kakak
Perselisihan yang terjadi antara anak-anak perempuan Soekarno adalah rahasia umum. Siapa yang tidak tahu bila Megawati bertahun-tahun ‘perang’ dengan Rachmawati? Walau Megawati tak selalu terang-terangan mengungkapkannya, namun ketegangan nyata adanya dari cara Rachmawati getol menyerang, baik secara sikap politik – dengan bergabung di partai oposisi pemerintah – hingga secara verbal.
Sementara sebelum pertikaian terjadi, Sukmawati terang-terangan mengagumi Megawati. Menurutnya, kakak perempuan tertuanya itu ‘cool’. Baginya, Megawati adalah pribadi yang tenang dan tak banyak bicara, tetapi saat berorasi di depan umum, ia terlihat sangat piawai dan berubah menjadi seorang politikus handal.
Melihat pidato menggugah yang dilakukan Megawati, Sukmawati mendukung sang kakak turun ke medan politik negeri, walau itu harus melangkahi perjanjian keluarga yang menyebut tak akan ada yang boleh terlibat politik praktis. Tapi kini dapat disaksikan sendiri, keempat anak Soekarno sudah membasahi kakinya masing-masing di ranah politik. Tentu saja selain Guntur Soekarnoputra. Tetapi tak apa, jatuhnya ketiga perempuan ini dalam politik, ternyata diganjar oleh penghargaan MURI di tahun 2009.
Namun, kekaguman Sukmawati terhadap Megawati lama-lama luntur juga. Jika Rachmawati sedari awal konsisten mengkritik, Sukmawati baru ‘tersadar’ kemudian. “Saya kecewa, saat (Megawati) jadi presiden. Dia kurang peduli terhadap perempuan, ia juga kurang tegas dan demokratis,” jelasnya.
Sukmawati menilai Megawati terkesan seperti kurang suka saat Soeharto dilengserkan pada 1998. Ternyata, Megawati tak berbeda jauh dengan penguasa Orde Baru, begitu pikir perempuan berusia 66 tahun ini. Kata ‘cool’ kemudian berubah menjadi ‘nothing’ baginya.
Menelan kekecewaannya, Sukmawati akhirnya mendirikan sendiri partainya, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme. Awalnya. ia juga ikut bergelut di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) tetapi tak bergabung dengan PDI. Namun, PNI Marhaenisme ternyata tak mampu lolos verifikasi administrasi parpol tahun 2014 dan 2019.
Kesepakatan untuk tak terjun ke dunia politik, akhirnya tak hanya dilanggar oleh sebagian besar anak-anak Soekarno, tetapi juga para cucunya. Anak-anak Sukmawati, baik yang lahir dari pernikahan dengan Pangeran Mangkunegaran IX maupun Muhammad Hilmy, juga ikut menjejakkan kaki di dunia politik.
Garis Politik dan Agama Trah Soekarno
Sukmawati menikah dua kali, yang pertama dengan Pangeran Solo yang menggemari kesenian. Lepas status sebagai Puteri Keraton, Sukmawati menikahi Muhammad Hilmy. Kini, sang Adipati Mangkunegaran IX juga duduk sebagai Komisaris PT Bumiputera, yang sebelumnya dipegang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Sementara itu, anak-anak Sukmawati dari dua suaminya, juga ikut terjun ke dunia politik. Anak dari pernikahannya dengan Adipati Mangkunegaran IX, Paundrakarna, tercatat pernah menjadi kader PDIP dan duduk sebagai anggota DPRD Solo. Tapi sayang, ia memutuskan untuk keluar dari dunia politik untuk menggeluti aktivitas kesenian dan sosial.
Anak Sukmawati dari pernikahannya dengan Muhammad Hilmy, Muhammad Putra Perwira Utama, lebih mantap berkarir di dunia politik. Uniknya, ketimbang memilih PDIP sebagai kendaraan politik, ia memilih partai Nasional Demokrat (NasDem).
Bukan tanpa alasan keputusan tersebut datang, dalam sebuah kesempatan Sukmawati memang pernah berkata bila Ketua Umum Partai NasDem adalah sahabat baiknya. Sukmawati menambahkan, anaknya memilih NasDem karena jumlah kader di PDIP sudah sangat membludak dan hal itu akan mengecilkan kesempatan anaknya terpilih menjadi calon legislatif di Dapil 6, yang meliputi Blitar, Tulungagung, dan Kediri, pada Pileg 2019 mendatang.
Kedekatan Surya Paloh tak hanya diakui oleh Sukmawati saja, tetapi terlihat pula dari bagaimana Puti Soekarno, Cawagub Jatim, mendatanginya ke kantor NasDem. Padahal, saat ini NasDem merupakan pendukung pasangan Khofifah dan Emil.
Sebenarnya, Surya Paloh pun tak hanya dekat dengan trah Soekarno saja, dengan trah Soeharto pun demikian. Bos media ini memang punya relasi ciamik dengan para keturunan pembesar negeri yang terjalin saat membangun dirinya sebagai bos media.
Namun yang sangat ironis dari kedekatan Surya Paloh dengan trah Soekarno adalah, bagaimana dirinya pernah menjadi pendiri sekaligus ketua dari gerakan anti Soekarno dan anti Komunis Komite Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) cabang Medan tahun 1966.
Ironisme ini lantas membuat dahi mengkerut, saat Sukmawati berkata bila partai yang didirikan Surya Paloh, NasDem, adalah partai yang memuat ideologi, cita-cita, dan pemikiran yang sama dengan Bung Karno. Dahi semakin berkerut saat Rachmawati berkata jika Surya Paloh adalah anak ideologis Bung Karno.
Pemikiran anak-anak Soekarno itu memang tak layak disepakati. Namun disadari atau tidak, sebetulnya Sukmawati sendiri sudah kuat membawa pengaruh ideologi Bung Karno, melalui selera bermusik, seni, juga puisi yang ‘mengguncang’ itu.
Puisi yang oleh sebagian kelompok, dianggap membandingkan Islam dengan budaya ini, sedikit banyak merefleksikan bagaimana Bung Karno memandang agama Islam. Sesuai dengan catatan antropolog AS Clifford Geertz, Soekarno adalah penganut Islam abangan, yakni mereka yang secara identitas-formal menganut Islam, tetapi dalam praktiknya masih melakukan ritual dari ajaran pra-Islam (Islam akulturatif).
Tak menjadi kejutan, bila kemudian pandangan Bung Karno lebih pluralis dan nusantarais dalam memandang agama. Pengaruh ini pula yang tercetak dalam diri Sukmawati, saat menuliskan puisi ‘Ibu Indonesia’-nya. Seperti yang dikatakannya, ia tidak bermaksud menyinggung umat Islam dan hanya tergerak untuk memahami Islam Nusantara sebagaimana dicita-citakan Soekarno. Tapi apa daya, dirinya dianggap menghina agama karena adzan dan kidung tak bisa begitu saja dibandingkan.
Walau begitu, memang alangkah bijak bila Sukmawati memikirkan kembali dampak dan respon yang akan terjadi, sebelum melempar karya berunsur ‘agama’ di saat konservatisme kontemporer sedang ranumnya berkembang.
Dampaknya sudah bisa dilihat, ajakan memahami Islam pada ‘api’ atau substansi, malah jatuh menjadi abu semata. (A27)