Rusia untuk pertama kalinya menyinggung bahaya potensi Perang Dunia III. Ini dilontarkan setelah Ukraina dijanjikan bantuan militer tambahan oleh Amerika Serikat (AS). Bagaimana kita memaknai fenomena diplomatik ini?
Operasi militer yang diluncurkan Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari silam masih berlanjut hingga sekarang. Mirisnya, setelah beberapa kali mencoba melakukan perundingan perdamaian, kesepakatan dua arah belum juga bisa tercapai.
Lebih parahnya, Presiden Volodymyr Zelensky beberapa waktu terakhir justru semakin memohon pada negara-negara NATO untuk memberikan bantuan persenjataan.
Dan sepertinya permohonan itu dikabulkan, pada 25 April 2022, Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS), Antony Blinken, dan Menteri Pertahanan (Menhan) AS, Lloyd Austin, melakukan pertemuan dengan Zelensky di Ukraina. Meski belum dirincikan apa saja hasil pertemuannya, AS menjanjikan akan lebih memberi banyak bantuan militer pada negara terbesar di Eropa tersebut.
Satu pekan sebelumnya, Presiden Joe Biden memang sempat mewacanakan akan memberi bantuan militer sebesar US$ 800 juta atau Rp 11,5 triliun pada Ukraina.
Presiden Vladimir Putin pun tampaknya tidak ingin tinggal diam. Melalui Menlu Rusia, Sergei Lavrov, Rusia mengatakan bahwa kemampuan Zelensky dalam bidang akting telah membuatnya berhasil meyakinkan negara-negara Barat untuk membantu Ukraina menantang Rusia.
Menariknya, Lavrov mengatakan bahwa provokasi yang terus dilakukan Zelensky berpotensi memperkeruh situasi politik, dan membuat potensi ancaman Perang Dunia III (PD 3) tidak lagi hanya sebagai isapan jempol.
Lavrov menekankan bahwa Zelensky telah melakukan sebuah hal yang berbahaya. Bahaya ini sifatnya sangat serius serta nyata, dan Zelensky seharusnya tidak boleh meremehkannya.
Pernyataan Lavrov menjadi hal yang sangat penting dalam perkembangan konflik Rusia-Ukraina, karena itu menjadi pertama kalinya Rusia menyinggung secara langsung tentang kemungkinan terjadinya PD 3, semenjak konflik dimulai.
Selama ini, heboh-heboh tentang potensi terjadinya PD 3 selalu dimunculkan oleh media-media Barat, dan Presiden Biden sendiri. Maka dari itu, apa yang dikatakan Menlu Rusia ini telah menjadi batu tolak ukur yang sangat penting dan perlu kita perhatikan.
Lantas, bagaimana seharusnya kita memaknai fenomena diplomatik ini?
Apakah Hanya Gertakan?
Ancaman tentang potensi PD 3 oleh Rusia sontak ditanggapi Ukraina. Menlu Dmytro Kulebo mengatakan bahaya PD 3 yang dilontarkan Lavrov hanya sebagai geratakan agar tidak ada negara yang berani membantu Ukraina.
Apa yang dilakukan Menlu sesungguhnya Rusia memiliki istilah sendiri dalam dunia diplomasi. Alexander L. George, seorang profesor Hubungan Internasional dari Universitas Stanford dalam buku The Limits of Coercive Diplomacy, menyebutnya sebagai diplomatic compellence atau paksaan diplomatik. Ini adalah upaya diplomasi yang bertujuan merubah perilaku lawannya melalui sejumlah ancaman kekerasan.
Tujuan ancaman melalui diplomatic compellence menurut George ada tiga: pertama, untuk membujuk musuh agar berpaling dari tujuannya; kedua, untuk meyakinkan musuh supaya dapat memperbaiki tindakan politik yang sudah diambilnya; ketiga, membujuk musuh untuk membuat perubahan mendasar dalam kebijakan luar negerinya.
Ketiga tujuan itu bisa jadi benar semua, tetapi yang paling menjurus barangkali adalah poin kedua. Karena Zelensky sangat intens dalam meminta senjata dari Barat, maka Putin perlu menegur Presiden Ukraina tersebut agar berhenti “mencari perhatian” ke Barat.
Lalu, kira-kira seberapa berkomitmen Rusia akan ancaman tentang PD 3 ini? Benarkah hanya gertakan?
Robert Art, pengamat internasional dari MIT Center for International Studies dalam buku The United States and Coercive Diplomacy, mengatakan bahwa setidaknya ada 6 poin yang bisa membuat diplomatic compellence sukses.
Pertama, memiliki komitmen pada tujuan yang jelas; kedua, memiliki permintaan yang jelas; ketiga, memiliki kapabilitas kekuatan (seperti militer) untuk mendukung komitmennya.
Keempat, memiliki kepemimpinan yang kuat; kelima, membuat targetnya takut akan eskalasi yang tidak dapat diterima; keenam, penciptaan rasa urgensi dalam pikiran negara lawannya.
Melihat indikator-indikator ini, kita akan sadar bahwa hampir seluruhnya sudah dilakukan dan dimiliki oleh Putin. Mantan agen KGB itu beberapa kali telah menyampaikan tujuannya serang Ukraina, beberapanya yakni untuk menekan Ukraina sebagai negara yang netral dan tidak akan masuk NATO, memastikan Crimea berada pengaruh Rusia, dan menjamin tidak ada diskriminasi pada penduduk berbahasa Rusia yang tinggal di Ukraina.
Untuk poin tentang kepemimpinan Putin, well, tidak bisa kita pungkiri bahwa ia adalah salah satu pemimpin dunia terkuat saat ini.
Kemudian, Rusia juga memiliki kekuatan yang pantas untuk bertindak keras. Rusia memiliki 1 juta personel militer dan 2 juta personel cadangan, sementara yang ditugaskan di Ukraina masih berjumlah 100 ribu sampai 200 ribu.
Terkait kesadaran akan bahayanya potensi konflik, selain melalui beberapa pernyataan tentang potensi penggunaan nuklir, Putin juga sesungguhnya sudah memberi pesan tersembunyi pada Zelensky dengan strategi militer yang dilakukannya.
Seperti yang sudah dibahas dalam artikel PinterPolitik Putin Sudah Antisipasi Taktik NATO? Putin saat ini sepertinya tengah jalankan strategi militer bernama Fabian strategy. Strategi ini menggunakan taktik attrition warfare (perang erosi), yaitu upaya untuk memenangkan perang dengan cara melemahkan musuh sampai ke titik keputusasaan tanpa melakukan pertempuran besar.
Dengan mengirimkan militernya secara sedikit demi sedikit, Putin tampak ingin membuat Zelensky menyerah akibat kehabisan tenaga dan personel. Di sisi lain, strategi seperti ini juga mampu mengirimkan pesan pada Zelensky bahwa konflik yang berkepanjangan dan lebih besar akan sangat merugikan Ukraina.
Dari hal-hal ini, bisa kita interpretasikan bahwa yang disampaikan Rusia sesungguhnya bukanlah gertakan belaka. Potensi eskalasi menjadi PD 3 selalu ada di depan mata, dan Putin merasa ini adalah waktu tepat bagi Zelensky untuk sadar.
Lantas, pertanyaan besarnya adalah, siapa yang sebenarnya bersikap ofensif dan defensif dalam fenomena diplomatik ini?
NATO Mulai Nakal?
Pada dasarnya, perang terlihat seperti sebuah kekacauan, pembunuhan yang terjadi di mana-mana menunjukkan bahwa aturan tampak tidak berlaku di medan pertempuran.
Namun, perang sering disalah pahami. Ahli militer legendaris dari Prusia, Carl von Clausewitz dalam bukunya On War, mengatakan bahwa meski perang sering dianggap sebagai jawaban atas buntunya politik, sejatinya politik akan tetap bermain dalam perang.
Perang sendiri, menurut Clausewitz, adalah sebuah alat politik, ia tidak lain berperan sebagai kelanjutan dari politik. Maka dari itu, secara alamiah, proses penyesuaian kepentingan di dalam perang pun pasti akan terjadi meski sudah terlanjur meletus.
Dari pandangan ini, bisa kita tarik asumsi bahwa pasti ada sebuah proses tarik ulur kepentingan di balik layar konflik Ukraina. Buktinya, Rusia tidak terlihat gentar ketika dijatuhi sejumlah sanksi ekonomi, bahkan masih menjalani hubungan energi dengan Eropa. Bisa kita interpretasi, ini artinya Rusia setidaknya sudah dikompromikan atau setidaknya tahu tentang konsekuensi yang akan dijatuhkan padanya.
Dan seperti yang sudah didiskusikan dalam artikel PinterPolitik, Konflik Ukraina Hasil Desain Biden? ahli bahasa sekaligus filsuf AS ternama, Noam Chomsky menduga bahwa ada sebuah skenario di balik konflik Ukraina yang akhir-akhirnya “menguntungkan” AS dan Rusia.
Selain AS diuntungkan melalui bisnis senjata, Chomsky juga menilai AS menggunakan konflik ini sebagai kesempatan untuk memperbesar pengaruhnya di Eropa. Sementara itu, Rusia mendapatkan wilayah yang kaya akan energi (Luhansk dan Donetsk), serta bisa memainkan pengaruhnya di Eropa karena banyak negara Eropa yang bergantung pada energi hasil produksi Rusia.
Tetapi, entah mengapa Putin akhirnya memilih momen pengiriman senjata dari AS sebagai yang paling tepat untuk berbicara tentang kemungkinan PD 3. Kalau kita coba interpretasi, bisa saja perundingan tentang pengiriman senjata lanjutan antara AS-Ukraina ini tidak sesuai dengan apa yang Putin ekspektasikan.
Dan mungkin juga, ini adalah indikasi bahwa ada sebuah “perubahan arah” dalam kesepakatan tentang bagaimana konflik di Ukraina seharusnya dijalankan, oleh karena itu, Putin perlu menegur Ukraina, AS, dan NATO agar memikirkan kembali tindakannya sebelum konflik ini bertambah bahaya.
Well, pada akhirnya itu semua hanya interpretasi. Motif sebenarnya dari ancaman PD 3 yang diucapkan Rusia hanya diketahui oleh mereka-mereka yang terlibat langsung dalam kemelut konflik.
Yang jelas, besar harapannya konflik Rusia-Ukraina bisa diselesaikan secepatnya, karena cukup sudah permainan politik tinggi ini merenggut nyawa keluarga-keluarga yang tidak bersalah. (D74)