Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly, and applying the wrong remedies.
-Groucho Marx-
PinterPolitik.com
Gelagat seseorang untuk mulai berpolitik dapat tercium melalui ungkapan Groucho Marx di atas. Berpolitik, dalam arti upaya untuk meraih kekuasaan lebih tinggi dari kekuasaan yang dimiliki sekarang, sering kali dilakukan oleh seorang pejabat negara, tak terlepas pula Natalius Pigai.
Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2012-2017 yang resmi tak menjabat sejak Jumat (10/11) lalu ini, telah lama memikirkan langkah karirnya setelah lengser. Seperti predikat ‘Putra Papua’ miliknya, Pigai nampaknya ingin melesat di daerah asalnya, yakni dengan menjadi Gubernur Papua.
Pada Februari 2017 saja, ketika jabatannya di Komnas HAM masih tersisa 9 bulan, dia sudah diterpa isu politik untuk maju di Pilkada Papua 2018, menantang petahana yang relatif kuat, Lukas Enembe. Pigai pun menanggapi dengan santai, namun tetap tidak menolak kemungkinan itu.
Tolak PDIP, Pigai Juga Ingatkan Lukas Enembe Waspada #pilkada https://t.co/cbQZLA0h7I
— RMOL.CO (@rmolco) October 12, 2017
Perannya yang belakangan cenderung kontra dengan banyak kebijakan presiden, membuat publik bertanya-tanya. Kenapa ia bersikap demikian? Padahal, Komnas HAM seharusnya bekerja sama dengan presiden dan kabinetnya dalam mengusut masalah HAM. Ataukah itu adalah bentuk ‘protes’nya karena merasa anggara Komnas HAM dikurangi pada 2016?
Sementara, bila ingin meraih elektabilitas pribadinya, Pigai tak menunjukkan kinerja positif di Komnas HAM. Di bawahnya dan jajaran komisioner yang lain, Komnas HAM justru tidak produktif dan menuai banyak kritik. (Baca juga: Komnas HAM, Tumbuhkan Taringmu!)
Ibarat memberi senjata dan pelurunya kepada musuh, fakta ini jelas sama sekali tidak mendukung modal politik Pigai untuk maju di kontestasi manapun.
Pigai, Aktivis Menuju Pejabat
Pigai adalah putra reformasi dari Papua. Tak ada aktor Papua yang besar setelah reformasi dan tumbuh dengan popularitas sebesar Pigai. Namanya dikenal dengan cukup baik oleh publik, karena cukup sering dipanggil menjadi pembicara maupun diwawancara oleh televisi nasional.
Aktor Papua lain yang masih aktif saat ini, baik di Papua maupun di nasional (DPR-RI) adalah angkatan lama. Karena faktor generasi ini juga, Pigai adalah yang paling memahami isu Hak Asasi Manusia (HAM). Banyak sekali sikap-sikapnya yang mengambil perspektif dari kasus-kasus HAM, utamanya kasus dari daerahnya, Papua.
Pigai lahir di Papua sambil mendengar senjata, kemudian merantau ke Jawa. Ia berkuliah di Kota Pendidikan, Yogyakarta, merasakan huru hara reformasi tahun 1998 di Jakarta, kemudian lulus kuliah pada tahun 1999. Pigai adalah mahasiswa pergerakan yang aktif, tak hanya di level kampus namun sampai level nasional.
“Itu mah terlalu kecil, kecuali saya koruptor. Maaf ya saya lahir saja sudah dengar senjata. Itu terlalu kecil, emang gue salah apa?”
-Natalius Pigai, menghadapi ancaman kasus etik Komnas HAM-
Di level nasional, Pigai turut menjadi anggota Pemuda Cipayung, yang turun aksi dalam demonstrasi 1998. Ia juga menjadi Ketua Asosiasi Mahasiswa Papua pada tahun 1999. Jabatannya ini kemudian mengangkat karir profesionalnya dengan baik.
Setelah lulus kuliah di tahun 1999, ia langsung bekerja menjadi staf khusus Menteri Transmigrasi sampai tahun 2006, kemudian berpindah ke Kemendagri. Dari Kemendagri, dimulailah karirnya di ranah konflik politik dan HAM, yakni dengan menjabat Deputi Pengawasan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias sampai 2010.
Keterpilihannya sebagai komisioner Komnas HAM pada 2012 memang dilalui dengan seleksi profesional dan dengan proporsional. Pigai kemudian mendapatkan dukungan luas dari masyarakat Papua, yang kemudian mendorongnya agar masuk ke Kabinet Kerja pada 2014.
Galaknya Pigai, Si Kartu Joker
Kartu ‘The Fool’ atau yang sering dikenal sebagai kartu Joker adalah bagian dari permainan kartu remi yang memiliki ciri unik. Berbeda dengan kartu-kartu lain yang adalah bagian dari empat kelompok gambar besar, Joker berdiri dengan liar.
Joker dapat menjadi pengganti kartu lain, dapat menjadi kartu terlemah, dapat pula menjadi kartu yang terkuat. Semua bergantung pada permainan apa yang sedang dijalankan. Natalius Pigai, memainkan peran Joker selama konstelasi politik sejak 2014 hingga kini.
Pada Pemilu 2014, Komisioner Komnas HAM ini sempat dituduh berpolitik praktis oleh pihak Prabowo-Hatta karena ikut berkomentar soal sengketa hasil Pemilu 2014. Ia kemudian dinilai berpihak kepada Jokowi, juga karena turut memanaskan isu pelanggaran HAM Prabowo.
Alih-alih dekat dengan presiden dan ditunjuk menjadi menteri seperti yang diinginkan masyarakat Papua, Pigai malah semakin menjauh dari Jokowi. Memasuki tahun 2016, Pigai terlihat semakin aktif menyerang Jokowi dan kebijakan-kebijakannya.
Pigai tidak tertarik dengan banyaknya kebijakan populis Jokowi di Papua, yang menurutnya hanya pencitraan dan tak menyelesaikan masalah riil. Ia juga mengritik Jokowi karena tidak dianggap mampu menyelesaikan kasus kemanusiaan di Papua terkait dengan kelompok bersenjata.
Puncaknya, Pigai adalah salah satu orang yang mengritik keras tuduhan pemerintah terkait dugaan makar di seputaran Aksi Bela Islam. Ia juga lah yang memfasilitasi permintaan Rizieq Shihab untuk dibela di pengadilan internasional. Kedekatannya dengan oposisi akar rumput Jokowi, seperti Eggy Sudjana dan Asma Dewi (diduga sebagai pendiri Saracen) memperkuat indikasi ke sana.
Tentu, mengritik pedas dan menjadi oposisi adalah hal yang baik dalam demokrasi. Namun ada dua kesalahan fatal Pigai. Pertama, saat itu, dia adalah salah satu pimpinan lembaga negara yang seharusnya lebih mengedepankan kolaborasi dengan pemerintah ketimbang konfrontasi. Kedua, lembaga yang ia pimpin pun tidak memiliki catatan kinerja yang positif.
Komnas HAM mendapatkan catatan buruk dalam lima tahun terakhir. Beberapa keluhan mendasar dari masyarakat, misalnya pengabaian terhadap laporan pelanggaran HAM, ketidakpahaman Komnas HAM atas substansi pelanggaran HAM yang dilaporkan, hingga isu perpecahan antar komisioner mewarnai era kepemimpinan Pigai ini. Tidak adanya satupun kasus HAM berat yang ditangani juga menjadi bukti kegagalan Komnas HAM di era tersebut.
Secara kontras, pemerintahan Jokowi berhasil membawa perubahan fundamental dan konkrit bagi kehidupan masyarakat Papua. Disamakannya harga BBM dengan level nasional, diikuti oleh penurun harga bahan pokok, hingga penyelesaian jalan Trans Papua, menghasilkan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat Papua kepada Jokowi. Angkanya, menurut Indikator Politik, mencapai 90 persen.
Survei Indikator: Mayoritas Warga Papua Puas dengan Program Pemerintah https://t.co/r67aJutgT0
— Kompas.com (@kompascom) May 6, 2017
Karenanya, apa landasan Pigai begitu getol menyerang pemerintah, termasuk di waktu ia tengah menjabat sebagai komisioner? Terlebih, apa alasannya ia tak puas kepada Jokowi ketika 90 persen masyarakat di kampung halamannya mengaku puas?
Apakah Pigai sudah mendekat ke kubu Gerindra? Ataukah kritik-kritik terbuka seperti Pigai ini memang adalah bentuk dari sporadisnya oposisi Jokowi?
Yang jelas, bagi Pigai sendiri, kritik-kritik seperti ini tidak hanya menunjukkan kubu mana yang ia suka. Lebih dari itu, terlihat bahwa dialah Joker dalam konstelasi politik yang berusaha ia terabas. Sayangnya, dia bermain dalam permainan yang memosisikan Joker sebagai kartu terlemah.
Mengritik habis presiden, padahal mayoritas masyarakat Papua puas dengan pemerintah. Menyerang kubu pemerintah, padahal belum tentu ia diterima oleh oposisi.
Jalan Kekuasaan, Modal Apa?
Kepedulian Pigai kepada Papua seperti terselimut kepentingan. Belakangan, dia begitu aktif menyerang Lukas Enembe, gubernur petahana Papua.
Sebelumnya, jauh dari tugasnya sebagai komisioner Komnas HAM, ia juga sangat getol menyerang pemerintahan Enembe. Kuat diduga, Enembe yang adalah kader PDIP dan juga dekat dengan Jokowi, membuat Pigai gerah. Pigai ingin—atau diinginkan—untuk maju melawan Enembe di Pilkada 2018.
Namun, melihat rekam jejaknya dalam jabatan tertingginya sejauh ini, tidak banyak yang dapat dibanggakan oleh Pigai di mata orang Papua. Untuk menandingi kekuatan oligarki Enembe pun, Pigai belum tentu punya kekuatan politik yang mumpuni. Pigai seperti lupa, waktu itu dia adalah pejabat publik. Punya kemampuan lebih dari sekedar kritik bak aktivis.
Layaknya kartu Joker yang tak terkendali dan bisa menjadi apapun yang tak diduga, begitulah Natalius Pigai. Langkahnya seperti tanpa nilai dan tanpa pegangan. Mengaitkan infrastruktur dengan HAM di Papua? Berbicara atas nama sendiri namun mencatut nama institusinya? Begitu tak terkendali dan mengejutkan.
Namun, seperti kata Theodore Roosevelt, tak ada satu pun kejadian politik yang sebelumnya tak direncanakan oleh politisi.
Bisa saja, Pigai sebenarnya sadar ia tak punya cukup popularitas melawan Enembe. Karenanya, langkah Pigai beberapa waktu ke depan akan dihiasi oleh wawancara dengan televisi nasional guna menaikkan popularitasnya. Bagaimana menurutmu? (R17)