HomeNalar PolitikNasib Puan Ditentukan Jokowi?

Nasib Puan Ditentukan Jokowi?

Peluang Puan Maharani maju di Pilpres 2024 semakin berat setelah elektabilitasnya disebut merosot akibat polemik UU Ciptaker. Dengan statusnya sebagai Ketua DPR, Puan sebenarnya dapat bermanuver untuk menjadi pengkritik eksekutif yang sah. Akan tetapi, apakah Presiden Jokowi memberikan ruang untuk itu?


PinterPolitik.com

“Fakta sosial secara teoretis sangat sulit diulang karena dia menghilang dengan waktu. Akan tetapi, kita dapat menangkap ‘fakta’ tersebut dalam bentuk pemerian dengan menggunakan mediasi ‘tanda’” – Tommy Christomy & Untung Yuwono, dalam pengantar buku Semiotika Budaya

Agar tidak mengulangi kejatuhan Partai Demokrat yang gagal melanjutkan estafet kekuasaan di 2014, PDIP telah lama menunjukkan gelagat sedang mempersiapkan kandidat untuk maju di Pilpres 2024. Sampai saat ini, setidaknya terdapat tiga nama teratas, yakni Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo, Ketua DPR Puan Maharani, dan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini.

Namun, dengan masih rendahnya elektabilitas Risma, kandidat tampaknya mengerucut pada Ganjar dan Puan. Dalam berbagai survei, Ganjar dan Prabowo Subianto terlihat salip-menyalip di posisi puncak kandidat 2024. Sementara Puan, kendati elektabilitasnya rendah, trah Soekarno tampaknya menjadi faktor utama mengapa dirinya diusung di 2024 nanti.

Namun menariknya, dalam perkembangan diskursus mengenai pilihan antara Puan dan Ganjar, terdapat sinyal yang menunjukkan partai banteng lebih condong memilih Puan. Kendati hal ini tentunya dibantah dengan alasan penentuan kandidat 2024 masih cukup cair sampai saat ini.

Hal ini misalnya ditegaskan oleh Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat dengan menyebutkan, semuanya tergantung pada usaha Ganjar dalam menjaga dan meningkatkan elektabilitasnya.

Pernyataan tersebut sekiranya penting apabila kita mengacu pada tulisan Leo Suryadinata yang berjudul Golkar’s Leadership and the Indonesian President. Pada 2014 lalu, disebutkan terdapat ketidaksetujuan dari beberapa internal PDIP terhadap pengusungan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Calon Presiden (Capres). Akan tetapi, menimbang elektabilitasnya yang tinggi, Megawati Soekarnoputri tetap mencalonkannya.

Baca Juga: Golkar, Partai Jokowi Selanjutnya?

Dengan kata lain, jika elektabilitas Ganjar paling tinggi sampai satu atau dua tahun lagi, pilihan terbaik PDIP tentunya mencalonkan Gubernur Jawa Tengah tersebut.

Lantas, dengan elektabilitas Puan yang terpaut jauh dari Ganjar, apakah peluang mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) ini telah pupus?

Posisi Puan Strategis?

Dalam survei yang dilakukan Parameter Politik Indonesia (PPI) pada 3-8 Februari, selaku politisi yang merupakan aktor lama, elektabilitas Puan (0,7 persen) justru lebih rendah dari Ustaz Abdul Somad (1,6 persen) dan Habib Rizieq Shihab (0,8 persen).

Tiga tertinggi adalah Prabowo Subianto (19,9 persen), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (11,9 persen), dan Ganjar Pranowo dengan elektabilitas mencapai 11,3 persen.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Untuk mendongkrak elektabilitasnya, serta kembali menegaskan diri sebagai representasi wong cilik, Puan sebenarnya dapat memanfaatkan posisinya sebagai Ketua DPR untuk mengkritik laju pemerintahan Jokowi.

Pasalnya, DPR memiliki kewenangan yang sah untuk mengkritik eksekutif dalam rangka memenuhi fungsinya sebagai checks and balances. Terkait saran tersebut, mungkin ada yang menyebutnya tidak mungkin karena posisi PDIP yang bukan oposisi.

Pernyataan skeptis seperti itu dapat kita bantah dengan mengacu pada kasus Marzuki Alie ketika menjadi Ketua DPR periode 2009-2014. Menariknya, kendati Marzuki Alie adalah politisi Partai Demokrat, alumnus Universiti Utara Malaysia ini terlihat beberapa kali memberikan kritik tajam terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada 9 Januari 2012, misalnya, Marzuki Alie mengkritik realisasi APBN 2011 yang tidak optimal. Terdapat beberapa poin disebutkan, antara lain lemahnya perencanaan program dan kegiatan, lemahnya perencanaan koordinasi antara unit perencana dan pelaksana, serta lemahnya pelaksanaan kegiatan.

Menurutnya, realisasi yang tidak optimal tersebut membuat pemerintah tidak mampu menggerakkan perekonomian domestik dan sektor riil.

Lalu, pada 11 Oktober 2013, Marzuki Alie bahkan secara spesifik menyinggung SBY. Saat itu, Ia menyarankan agar SBY tidak perlu marah atas pernyataan Luthfi Hasan Ishaaq yang menyebut namanya dalam persidangan kasus korupsi dan pencucian uang yang menjeratnya.

Baca Juga: Puan Ingin Evaluasi Jokowi?

Singkatnya, bertolak dari Marzuki Alie yang nyatanya tetap dapat mengkritik eksekutif meskipun berstatus sebagai politisi Partai Demokrat, Puan sebenarnya bisa saja menempatkan dirinya sebagai garda terdepan dalam mengkritik laju pemerintahan Jokowi.

Sekarang pertanyaannya, mengapa itu tidak dilakukan?

Ada Persepsi yang Dikhawatirkan?

Mengacu pada probabilitas untuk berperan sebagai oposisi eksekutif yang tidak dilakukan oleh Puan, sekiranya terdapat faktor tertentu yang membuat Ketua DPR perempuan pertama ini tidak melakukannya.

Untuk menjawabnya, kita dapat menggunakan teori semiotika pragmatis dari filsuf Charles Sanders Peirce. Seperti namanya, teori semiotika Peirce lebih menekankan pada persoalan pragmatis atau kegunaannya. Selain disebut pragmatis, teori semiotika Pierce juga disebut sebagai teori yang bersifat trikotomis karena melibatkan tiga segi, yakni representamen, objek, dan interpretan.

Representamen adalah fenomena yang pertama kali ditangkap, sedangkan proses kognitif yang terbentuk dari penangkapan itu disebut dengan “objek”. Sementara proses hubungan dari representamen ke objek disebut semiomis, yang kemudian berlanjut ke dalam proses penafsiran atau “interpretan”.

Berbeda dengan teori semiotika lainnya, seperti teori semiotika Ferdinand de Saussure yang hanya menginterpretasi dalam satu proses, teori semiotika Pierce memiliki keunggulan karena interpretasinya melibatkan dua proses. Dan yang lebih menarik adalah, interpretan yang tercipta dapat menjadi representamen baru, yang kemudian melahirkan interpretan lainnya.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Perhatikan gambar berikut untuk memudahkan.

Sumber: Semantic Scholar

Dengan menggunakan semiotika trikotomis Peirce, kita akan membuat simulasi interpretasi apabila Puan memposisikan dirinya sebagai oposisi pemerintahan Jokowi.

Puan yang mengkritik pemerintahan Jokowi adalah representamen. Langkah itu akan membentuk “objek” bahwa Puan berlaku kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Ini kemudian melahirkan interpretan bahwa Puan memenuhi fungsinya sebagai pengawas atau checks and balances eksekutif.

Akan tetapi, karena interpretan dapat menjadi representamen untuk diinterpretasi lagi, manuver Puan yang mengkritik pemerintahan Jokowi dapat membentuk “objek”, khususnya dari kalangan pengamat politik, bahwa hubungan PDIP dengan Jokowi mungkin tengah retak. Alhasil, interpretan yang menyebar di publik adalah PDIP tengah bersiap-siap meninggalkan Jokowi yang tidak lagi dapat maju di Pilpres 2024.

Baca Juga: PDIP akan Jadi Oposisi Jokowi?

Di titik ini, dengan Puan yang masih terlihat pasif dan tidak memanfaatkan posisinya sebagai Ketua DPR, ada kemungkinan interpretan semacam itu yang dikhawatirkan. Pasalnya, jika nantinya memberikan kritik masif, publik justru berfokus pada hubungan PDIP dengan Jokowi, bukannya Puan.

Apa yang nantinya menjadi headline pemberitaan adalah, “Ada apa antara Teuku Umar dengan Istana?”.

Bergantung pada Jokowi?

Terkait kekhawatiran tersebut, tampaknya terdapat angin segar dari Istana. Pasalnya, beberapa waktu terakhir, khususnya setelah Presiden Jokowi meminta masyarakat mengkritik dalam sambutannya di Laporan Akhir Tahun Ombudsman pada 8 Februari, pemerintah tampaknya tengah memainkan isu untuk menciptakan persepsi bahwa pemerintahan Jokowi terbuka terhadap kritik.

Dugaan ini semakin menguat dengan Presiden Jokowi yang menginisiasi wacana revisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ketika memimpin Rapat Pimpinan (Rapim) TNI/Polri di Istana Negara pada 15 Februari.

Nah, apa yang dilakukan Marzuki Alie sangat memungkinkan dilakukan oleh Puan apabila nantinya Presiden Jokowi memberikan pernyataan bahwa pemerintahannya terbuka menerima kritik dari legislatif atau DPR. Itu adalah momentum Puan untuk masuk.

Sekarang pertanyaannya, apakah pernyataan semacam itu akan terjadi? Terkait ini, kita hanya dapat menunggu. Namun yang jelas, itu dapat membantu Puan untuk mendongkrak elektabilitas, atau setidaknya mengurangi persepsi minor terhadap dirinya akibat insiden “mematikan microphone” ataupun blunderblunder lainnya. 

Kita nantikan saja, bagaimana pemerintahan Jokowi melakukan manajemen kritik ke depannya. Terlebih lagi, ada dugaan yang menyebutkan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut tengah melakukan rebranding politik melalui manuvernya yang meminta masyarakat mengkritik dan ingin merevisi UU ITE. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...