Site icon PinterPolitik.com

NasDem Terjebak Politik Jawa Jokowi?

NasDem Terjebak Politik Jawa Jokowi?

Presiden Jokowi (kanan) dan Ketum Partai NasDem Surya Paloh (kiri) (Foto: Detik)

Politikus Partai NasDem Irma Suryani Chaniago memberikan komentar sinis ihwal bergabungnya Sandiaga Uno ke dalam kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi). Irma sempat menyinggung soal perjuangan partai-partai koalisi Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019. Apa yang bisa dimaknai dari pernyataan Irma ini?


PinterPolitik.com

Bergabungnya Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Sandiaga Uno ke dalam kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya sudah sejak lama diduga oleh banyak pihak. Bertempat di Istana Negara, spekulasi tersebut akhirnya menjadi kenyataan dengan dilantiknya Sandi sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) menggantikan pejabat sebelumnya, Whisnutama Kusbandio. 

Sandi sendiri sebenarnya bukan mantan lawan politik Jokowi pertama yang kini menjadi pembantunya di pemerintahan. Ia menyusul pasangan duetnya di Pilpres 2019, Prabowo Subianto yang sudah lebih dulu menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) Jokowi. 

Kendati sudah diprediksi, merapatnya mantan kompetitor itu tetaplah menjadi buah bibir di masyarakat. Tak semua pihak bisa legawa menerima keputusan Presiden tersebut. 

Sejumlah mantan pendukung paslon Prabowo-Sandi ikut angkat suara terkait hal ini.  Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Jansen Sitindaon, misalnya, meski mengucapkan selamat, namun di saat yang sama Ia juga mengungkit soal dukungan yang telah Ia berikan selama Pilpres kemarin. 

Tak hanya dari kalangan pendukung Prabowo-Sandi, faktanya sorotan minor juga datang dari lingkaran Presiden Jokowi sendiri.  

Di antara mereka yang kontra, komentar paling sinis bisa dibilang datang dari politikus Partai NasDem, Irma Suryani Chaniago. Dalam pernyataannya, Irma yang juga sempat menjabat sebagai Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf itu menilai keputusan ini membuat perjuangan partai-partai koalisi saat Pilpres menjadi sia-sia. 

Terlepas dari segala perdebatan yang ada, nyatanya strategi merangkul semua lawan politik ini sebenarnya telah menjadi ciri khas dari kepemimpinan Jokowi bahkan sejak Ia menjabat di periode pertama. 

Di periode sebelumnya, sejumlah nama yang tadinya kontra terhadap Jokowi kini justru menjadi orang dekatnya, misalnya Ali Mochtar Ngabalin yang hingga kini masih menjabat sebagai Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP). 

Lantas mengapa strategi ini ditempuh oleh Jokowi? Apa kira-kira implikasinya bagi dinamika politik tanah air?

Politik Jawa ala Jokowi?

Politikus Partai Gerindra, Arief Poyuono memberikan komentar cukup menarik terkait kritik Irma terhadap keputusan Jokowi mengangkat Sandi sebagai Menparekraf. Melalui akun Twitter pribadinya, Arief menilai strategi yang dilakukan Jokowi ini kental dengan filosofi politik masyarakat Jawa. 

Menurutnya, Jokowi memang tak menginginkan adanya oposisi sebab dalam filosofi Jawa, keberadaan kelompok penantang dianggap sebagai destabilisasi. Kendati dalam demokrasi keberadaan kelompok oposisi merupakan suatu hal yang ideal, namun hal itu berpotensi memunculkan “dua matahari” yang dapat mengurangi daya kekuasaan Jokowi. 

Senada, pengamat politik dari Universitas Diponegoro, Teguh Yuwono juga pernah mengatakan bahwa strategi merangkul lawan politik yang dilakukan Jokowi kental dengan budaya politik Jawa. 

Ia menyebut tujuan dari mengakomodasi semua kekuatan politik lawan adalah untuk mencapai harmoni dan keserasian. Ia menilai Jokowi termasuk pemimpin Jawa yang berpegang teguh terhadap nilai-nilai tersebut. 

Muhammad Roqib dalam bukunya yang berjudul Harmoni dalam Budaya Jawa menyebut bahwa spirit budaya menjadi kekuatan ampuh mempersatukan heterogenitas budaya Jawa. Spirit itu tercermin dalam budaya gotong royong yang menciptakan ruang kekerabatan dan keharmonisan. 

Ia juga menyebut bagi masyarakat Jawa harmoni, sosial adalah sesuatu yang sangat penting. Harmoni ini diwujudkan dengan mengikat kebersamaan dalam budaya gotong royong. Filosofi gotong royong ini-lah yang menurutnya kemudian diejawantahkan oleh para pendiri negara, termasuk Soekarno, untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia. 

Lalu apa hubungannya filosofi politik masyarakat Jawa dengan konteks pengangkatan menteri yang baru saja dilakukan Jokowi ini? 

Pengangkatan seorang menteri merupakan suatu tindakan yang berlandaskan pada aspek legal. Namun tak menutup kemungkinan filosofi kebudayaan dapat mempengaruhi keputusan tersebut. 

Lawrence M Friedman sebagaimana dikutip oleh Any Ismayawati dalam tulisannya yang berjudul Pengaruh Budaya Hukum terhadap Pembangunan Hukum di Indonesia mengatakan bahwa kultur hukum merupakan pola pengetahuan, sikap, dan perilaku sekelompok masyarakat terhadap sebuah sistem hukum.

Dari pola-pola tersebut, dapat dilihat tingkat integrasi masyarakat tersebut dengan sistem hukum terkait. Selain itu, budaya hukum juga menunjukkan pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan orientasi yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan. 

Singkatnya, berdasarkan konsep yang diutarakan Friedman ini, maka dapat dikatakan kultur suatu bangsa sangat berpengaruh terhadap kondisi hukum bangsa tersebut, termasuk di dalamnya pengaruh dari nilai-nilai sosial budaya yang merupakan jiwa suatu bangsa. 

Berangkat dari sini, maka bukan tidak mungkin strategi merangkul lawan politik Jokowi sebenarnya memang dilandasi oleh filosofi politik Jawa. Jokowi memang tak mengharapkan adanya oposisi lantaran khawatir keberadaannya dapat mengganggu nilai-nilai harmonisasi yang memang dianutnya. 

Sebelumnya, mantan Wali Kota Solo ini guna menegaskan bahwa demokrasi Indonesia tidak mengenal konsep oposisi karena demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi gotong royong.

Langgengkan Politik Kartel?

Kendati mungkin saja terpengaruh oleh nilai-nilai politik Jawa, namun entah disadari Jokowi atau tidak, di saat yang sama, strategi ini telah melanggengkan politik kartel di Indonesia. 

Dan Slater dalam tulisannya yang berjudul Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-Sharing and The Contingency of Democratic Opposition menilai kekuatan oposisi dalam demokrasi Indonesia dihalangi oleh pembagian kekuasaan dengan praktik pembentukan koalisi yang sangat fleksibel, di mana partai-partai mengungkapkan kesediaan untuk berbagi kekuasaan eksekutif dengan siapapun. 

Slater juga menyebut upaya pembentukan koalisi besar ini dilakukan demi menghalangi kompetisi atau lahirnya kompetitor. Namun begitu koalisi tersebut terbentuk, partai-partai di dalamnya dapat saling meremehkan, mengkhianati, dan saling tuduh.

Sehingga, meski tujuan awalnya adalah ingin menghindari destabilisasi dan mewujudkan harmoni sebagaimana diungkapkan Arief Poyuono, upaya kartelisasi politik yang dilakukan Jokowi boleh jadi justru berpotensi menimbulkan turbulensi dalam koalisinya sendiri. 

Indikasi inilah yang sepertinya mulai terjadi pada NasDem, di mana kini mereka mulai merasa upayanya untuk memenangkan Jokowi di Pilpres lalu seolah “diremehkan” dan “dikhianati” dengan bergabungnya Prabowo-Sandi ke dalam kabinet. 

Lantas sekarang pertanyaan pentingnya, apa kira-kira implikasi dari strategi ini terhadap koalisi Jokowi ke depan, terutama dalam konteks ini, Partai NasDem?

NasDem-PKS di 2024?

Indikasi bahwa partai besutan Surya Paloh tersebut mulai tak nyaman dengan sejumlah kebijakan Jokowi sebenarnya bukan baru kali ini saja terjadi. Ketidaksukaan NasDem dengan strategi Jokowi yang merangkul lawan politiknya diutarakan sedari awal wacana bergabungnya Partai Gerindra ke kubu pemerintah mulai tercium publik. 

Surya Paloh sempat menyebut bahwa partainya siap menjadi oposisi jika tak ada satupun partai yang bersedia. Ia menilai jika semua partai berada di gerbong pemerintah, mekanisme checks and balances berpotensi terganggu. 

Indikasi ketidakpuasan ini pun semakin nyata ketika petinggi-petinggi NasDem sempat berbalas kunjungan dengan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang notabene merupakan partai yang paling konsisten menjadi oposisi Jokowi. 

Sejumlah analis dan pengamat politik kala itu berasumsi bahwa komunikasi lintas koalisi ini merupakan cara NasDem untuk mengungkapkan kekecewaan setelah Presiden mengganti AM Prasetyo, yang merupakan kadernya, dari jabatan Jaksa Agung. 

Direktur Indonesia Political Review, Ujang Komarudin juga menilai koalisi besar Jokowi memang sangat rentan terjadi perpecahan di tengah jalan. Sebab, koalisi yang dibangun Jokowi tidak berbasis pada ideologi, melainkan demi mengakomodir kepentingan semata.

Meski hingga kini belum terang-terangan mengatakan akan bercerai dari pemerintah, namun manuver-manuver tersiratnya, termasuk kerap membela Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang dipersepsikan sebagai lawan politik kubu Jokowi bisa dianggap sebagai kuda-kuda bagi NasDem untuk berpisah dengan koalisinya saat ini. 

Berbicara hitung-hitungan politik pun, NasDem, sebagai partai yang baru berusia 9 tahun ini nyatanya telah memiliki modal politik yang cukup signifikan. Jika kita asumsikan NasDem nantinya benar-benar akan berkoalisi dengan PKS, maka gabungan suara kedua partai ini hampir bisa mencapai presidential threshold sebesar 20 persen untuk mengusung pasangan sendiri di Pilpres 2024. 

Maka dengan mempertimbangkan asumsi ini, bukan tidak mungkin menjelang 2024 nanti, NasDem pada akhirnya akan benar-benar berpisah dengan Jokowi yang diduga juga tengah membangun kekuatan politiknya sendiri bersama Partai Golkar.

Namun demikian, kiranya hanyalah waktu yang bisa menjawab apakah asumsi itu akan benar-benar terwujud atau tidak. Yang jelas, manuver politik apapun yang dilakukan partai politik saat ini pastinya akan memiliki konsekuensi terhadap perubahan peta politik ke depannya, termasuk agenda politik elektoral di 2024. Menarik untuk disimak kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version