HomeNalar PolitikNasdem Takut Ditikung Gerindra?

Nasdem Takut Ditikung Gerindra?

Partai Nasdem mengimbau partai-partai di koalisi Prabowo seperti Gerindra, PKS, dan PAN untuk tidak bergabung dalam koalisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan tetap menjadi oposisi bagi pemerintah. Imbauan ini bisa jadi berkaitan dengan kepentingan Nasdem dalam koalisi tersebut.


PinterPolitik.com

“A paranoid man makes paranoid plans” – Post Malone, musisi asal Amerika Serikat

Drama Pilpres 2019 tampaknya masih berlanjut usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan putusannya. Kisah politik ini kini berlanjut pada tahap selanjutnya, yaitu pembagian kekuasaan antar-parpol.

Kelanjutan drama ini semakin memuncak setelah presiden terpilih, Jokowi, membuka peluang lawannya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, untuk bergabung dengan pemerintahannya. Bagi Jokowi, bergabungnya lawan-lawannya ini dapat menjadi kesempatan cemerlang untuk membangun negeri bersama-sama.

Konflik dalam kisah drama kali ini mulai terlihat kembali dari sikap beberapa kawan Jokowi. Sepertinya, beberapa kawan satu gengnya ini sontak merespons setelah mendengar adanya kongkalikong di antara Jokowi dan Prabowo.

Partai Nasdem misalnya, menganggap bergabungnya partai-partai seperti Gerindra dan PAN akan berujung pada terbelahnya kabinet. Dari politisi Teuku Taufiqulhadi, Sekjen Johnny G. Plate, hingga sang Ketum Surya Paloh, turut mengimbau partai-partai tersebut untuk tetap berada pada barisan oposisi guna menjadi pengawas demokrasi.

Bak kisah cinta dalam sinetron, Jokowi pun semakin diperebutkan oleh masing-masing pihak. Waketum Gerindra Arief Poyuono misalnya, mengklaim bahwa Jokowi dalam sejarahnya lebih memiliki kedekatan dengan partainya dibandingkan dengan Surya Paloh dan Nasdem.

Terlepas dari polemik pasca-putusan MK ini, beberapa pertanyaan pun timbul. Apa kaitan antara oposisi dan demokrasi? Lalu, adakah alasan lain di balik imbauan Nasdem tersebut?

Oposisi dalam Demokrasi

Imbauan Nasdem terhadap Gerindra, PAN, dan PKS bisa jadi beralasan. Pasalnya, oposisi memang dianggap memiliki peran penting bagi berjalannya demokrasi dalam suatu negara.

André Béteille dalam bukunya yang berjudul Democracy and Its Institutions menjelaskan bahwa oposisi turut memainkan peran penting dalam sebuah demokrasi. Keberadaan oposisi merupakan fitur kehidupan sehari-hari yang dianggap beralasan dan berdasar.

Penjelasan serupa turut dipertegas oleh Ethan Scheiner dalam bukunya yang berjudul Democracy without Competition in Japan. Menurut Scheiner, menurut tradisi Schumpeterian, oposisi dianggap memiliki peran penting dalam mengawasi penguasa dalam suatu negara.

Dalam buku ini, Scheiner lebih menekankan pada model kompetisi partai yang menjadi fitur utama dalam sebuah demokrasi. Kompetisi yang terjadi antar-partai dianggap dapat menciptakan checks dan balances yang menjadi upaya penting dalam menjaga jalannya demokrasi.

Baca juga :  Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Persaingan ini dilakukan dengan harapan untuk memenangkan kekuasaan dalam Pemilu. Dengan harapan tersebut, oposisi nantinya akan mengkritik pemerintah dan menawarkan kebijakan-kebijakan alternatif sebagai modal untuk memperoleh kekuasaan dalam Pemilu yang berikutnya.

Kooptasi akan membuat oposisi menjadi bagian dari pemerintah sehingga melemahkan pengawasan terhadap penguasa. Share on X

Bisa jadi, peran oposisi sebagai penantang pemerintah inilah yang menjadi kekhawatiran. Upaya presiden terpilih untuk mengajak Gerindra dan PAN untuk bergabung dalam pemerintahannya bisa saja merupakan upaya untuk meniadakan tantangan tersebut.

Upaya semacam ini disebut sebagai kooptasi, di mana penguasa akan meniadakan momentum yang dimiliki oleh oposisi untuk menjadi penantang potensial bagi pemerintah yang berkuasa. Menurut Patrick G. Coy dalam tulisannya yang berjudul Co-Optation, kooptasi dilakukan dengan cara melibatkan oposisi penantangnya untuk terlibat dalam sistem.

Dalam arti lain, kooptasi akan membuat oposisi menjadi bagian dari pemerintah. Dengan begitu, oposisi memiliki kekuatan yang minimal untuk turut mengawasi dan mengkritik jalannya pemerintahan.

Cara inilah yang dilakukan oleh Vladimir Putin di Rusia. Menurut Grigorii V. Golosov dalam tulisannya yang berjudul Co-optation in the Process of Dominant Party System Building, rezim-rezim otoritarian juga kerap menggunakan kooptasi untuk mengamankan kekuasaannya.

Menurut Golosov, partai dominan di Rusia selalu melakukan kooptasi terhadap politisi-politisi yang dianggap memiliki potensi untuk merusak monopoli politik yang terjadi. Dengan kooptasi, penantang-penantang potensial ini tidak lagi menjadi ancaman terhadap rezim penguasa, melainkan menjalankan fungsi yang malah mendukung penguasa.

Dengan adanya kooptasi di Rusia ini, oposisi semakin kehilangan kualitas untuk dapat bersaing dalam perebutan kekuasaan. Akibatnya, oposisi pun memiliki kekuatan yang semakin kecil guna melakukan checks dan balances terhadap penguasa.

Lalu, bagaimana dampak kooptasi terhadap demokrasi di Indonesia?

Alasan Nasdem di balik imbauannya terhadap Gerindra, PAN, dan PKS pun bisa jadi benar. Pasalnya, upaya Jokowi untuk melibatkan Gerindra dan beberapa partai lain ke dalam pemerintahannya dapat disinyalir sebagai upaya kooptasi.

Jokowi Khianati Nasdem?

Meskipun alasan Nasdem beralasan, imbauan partai tersebut terhadap Gerindra, PKS, dan PAN bisa jadi didasarkan pada alasan politis. Pasalnya, koalisi Jokowi yang memang sudah “gemuk” membuat distribusi posisi-posisi strategis pemerintahan di antaranya semakin tersebar.

Sebelumnya, Nasdem tampaknya telah mendapatkan perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 2019. Jika dibandingkan dengan Pemilu 2014, partai ini memperoleh peningkatan perolehan suara – dari 6,7 persen pada tahun 2014 menjadi 9,05 persen pada tahun 2019.

Dengan peningkatan tersebut, jumlah kursi legislatif yang didapatkan Nasdem diperkirakan juga akan meningkat. Jika pada tahun 2014 Nasdem berhasil mengambil 36 kursi legislatif, kini partai tersebut diprediksi akan mendapatkan 59 kursi.

Baca juga :  Jokowi Tak Bisa Sapu Kemiskinan Ini Alasannya Menurut Peraih Nobel!

Dalam arti lain, peningkatan suara tersebut membuat pengaruh Nasdem turut meningkat. John McBeth dalam tulisannya di Asia Times menilai bahwa partai yang dipimpin oleh Surya Paloh ini akan semakin diperhitungkan oleh Jokowi. Kesetiaan Surya dan Nasdem terhadap Jokowi disebut-sebut membuat partai ini semakin layak untuk mendapatkan tambahan jatah menteri.

Bagi Jokowi, Surya dan Nasdem merupakan kawan politik yang bisa dibilang sangat setia. Pasalnya, partai ini disebut-sebut menjadi partai terdepan setelah PDIP dalam mendukung pencalonan Mantan Wali Kota Solo tersebut.

Namun, status “anak emas” Nasdem kini bisa jadi terancam dengan adanya kemungkinan bergabungnya Gerindra ke dalam koalisi Jokowi. Bisa dibilang, partai yang memperoleh jumlah suara terbanyak kedua dalam Pemilu lalu ini bisa membuat posisi Nasdem – berada pada urutan kelima dalam perolehan suara – semakin terpinggirkan.

Respons Nasdem terhadap kemungkinan bergabungnya Gerindra ke dalam koalisi Jokowi bisa jadi beralasan. Muhammad Ryan Sanjaya dari Universitas Gajah Mada (UGM) dalam tulisannya yang berjudul “The Political Economy of Coalition in Indonesia” menjelaskan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam koalisi politik memiliki nilai yang akan diperhitungkan dalam menentukan distribusi posisi kabinet.

Nilai yang didasarkan pada besarnya pengaruh sebuah partai dalam pengambilan keputusan ini disebut dengan nilai Shapley. Semakin besar nilai Shapley yang dimiliki oleh sebuah partai, semakin banyak reward yang akan didapatkan oleh partai tersebut.

Respons Nasdem tersebut bisa jadi berkaitan dengan posisi-posisi menteri yang diinginkan partai tersebut. Dalam periode pertama Jokowi, Nasdem telah memperoleh tiga posisi strategis, yaitu Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.

Bisa jadi, Nasdem ingin mempertahankan tiga posisi strategis tersebut. Pasalnya, tiga posisi strategis ini bisa saja memiliki resonansi dengan kepentingan-kepentingan kelompok yang ada di belakang partai tersebut.

Selain itu, Nasdem bisa jadi telah menyiapkan nama-nama tertentu untuk dicalonkan dalam kabinet Jokowi jilid kedua. Bisa jadi, ini menjadi upaya Nasdem untuk meningkatkan karier politik kader-kader mudanya.

Pada akhirnya, respons Nasdem bisa jadi merupakan perasaannya yang insecure terhadap kehadiran Gerindra yang memiliki pengaruh yang cukup besar untuk diperhitungkan dalam posisi kabinet.

Mungkin, lirik Post Malone dapat menjadi relevan dengan perasaan insecure Nasdem. Di balik ketakutan itu, partai ini bisa jadi telah merencanakan sesuatu guna memenuhi kepentingannya. Menarik untuk dinanti kelanjutannya. (A43)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

More Stories

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".