Jokowi tidak berani menegur Menteri Perdagangan atas kebijakan impor pangan karena takut dengan Surya Paloh. –Rizal Ramli
PinterPolitik.com
[dropcap]N[/dropcap]ilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Sampai detik ini, kurs rupiah sudah mencapai 14.821 per dollar AS. Permasalahan ekonomi ini membuat Jokowi dihujani banyak kritik, tidak terkecuali dari kalangan profesional seperti mantan Menteri Koordinator Kemaritan (Menko Maritim) Rizal Ramli.
Dalam Twitter pribadinya, Rizal Ramli menilai bahwa salah satu penyebab melemahnya nilai tukar rupiah adalah karena Jokowi tidak memiliki keberanian untuk mencegah kepentingan dalam kabinet seperti membatasi kuota impor dari Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita hingga menekan ekspor dari Menteri BUMN Rini Soemarno.
Rizal bahkan memperkuat pendapat itu ketika dimintai keterangan dalam acara Indonesia Business Forum di TV One. Ia mengatakan bahwa Mendag Enggartiasto adalah “biang kerok” dari krisis ekonomi yang saat ini terjadi di Indonesia.
Rizal Ramli menambahkan bahwa Enggartiasto telah melebihkan impor garam 1,5 juta ton, impor gula ditambahkan 2 juta ton, hingga impor beras ditambah 1 juta ton. Hal itu membuat petani dalam negeri menjerit, sekaligus membuat elektabilitas Jokowi jadi merosot.
Anjloknya Rupiah ke Level 15 Ribu Baru Fase Awal. Krn sebagian mentri2 @jokowi bagian dari masalah utang, impor, ineffisiensi dll. Hanya dengan tindakan tegas Mas JKW, stabilitas lebih cepat tercapai ?? https://t.co/XXmfEJig2B
— Dr. Rizal Ramli (@RamliRizal) September 7, 2018
Menariknya, Rizal mengatakan bahwa Jokowi tidak berani menegur Mendag Enggartiasto karena Jokowi takut dengan Surya Paloh. Diketahui bahwa Enggartiasto adalah politisi Nasdem yang saat ini menjadi Menteri Perdagangan dalam kabinet Jokowi.
Rizal Ramli mengatakan Jokowi tidak berani menegur Mendag Enggartiasto karena takut dengan Surya Paloh Share on XTudingan Rizal Ramli itu sontak mendapatkan reaksi keras dari Partai Nasdem. Partai asuhan Surya Paloh itu bahkan mengancam akan membawa kasus ini ke jalur hukum jika Rizal Ramli tidak menarik ucapannya.
Menjadi menarik ketika Rizal mengatakan bahwa kebijakan beberapa menteri dalam kabinet Jokowi bisa mengancam elektabilitas sang presiden. Lantas, jika memang menteri-menteri seperti Mendag Enggartiasto mengancam elektabilitas Jokowi, mengapa ia masih dipertahankan dalam kabinet? Benarkah karena Jokowi takut dengan Surya Paloh?
Jokowi Bisa Kalah karena Pangan
Baru saja dibangga-banggakan karena keberhasilan di Asian Games, kini Jokowi dihantam isu krisis ekonomi karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Padahal, kontestasi Pilpres akan segera bergulir.
Faisal Basri menuding krisis ekonomi Indonesia dikarenakan orang-orang dalam kabinet Jokowi seperti Mendag Enggartiasto dan Menteri BUMN Rini Soemarno tidak dapat mengimbangi kebijakan impor dan ekspor. Faisal menilai sejauh ini Mendag melakukan impor besar-besaran terhadap produk luar negeri, sedangkan BUMN tidak sama sekali melakukan ekspor.
Sependapat dengan Faisal Basri, Rizal Ramri mengatakan bahwa kebijakan menteri-menteri Jokowi ini bisa “menggerogoti” elektabilitas presiden. Bisa disederhanakan bahwa Jokowi mungkin saja tidak lagi dipilih dalam Pilpres karena kebijakan impor pangan dari pemerintah buat masyarakat jadi menjerit.
Permasalahan pangan tidak bisa dianggap sepele. Di beberapa negara seperti Haiti, Presiden Jean-Betrand Aristide pernah diturunkan secara paksa setelah kerusuhan akibat krisis pangan yang melanda negara tersebut pada tahun 2008. Permasalahan pangan juga menjadi penyebab rakyat meminta Nicolas Maduro mundur dari kursi kepresidenan di Venezuela.
Menurut Matthew Busch, pengamat ekonomi-politik Asia Tenggara, jika harga makanan di Indonesia menjadi lebih mahal, presiden akan disalahkan. Ini menjadi masalah tersendiri bagi Jokowi karena akan membuat masyarakat mengevaluasi kinerja sang presiden.
Jika Jokowi tidak bisa mengatasi permasalahan tersebut, bukan tidak mungkin Jokowi bisa dikalahkan oleh Prabowo pada Pilpres mendatang. Pasalnya penantang Jokowi itu kerap kali mengkampanyekan visi ekonomi kerakyatakan yang sama sekali berbeda dengan pembangunan ekonomi Jokowi yang disebut berkiblat ke neoliberal.
Hal ini bisa dimaknai bahwa Pilpres 2019 akan diwarnai dengan pertarungan gagasan antara Jokowi dan Prabowo mengenai arah pembangunan ekonomi. Koresponden Indonesia di media ABC David Lipson menulis bukan lagi isu agama, melainkan isu ekonomi yang akan menjadi isu krusial pada Pilpres Indonesia di tahun 2019.
New from me: Indonesia's sliding rupiah, not religion, could decide President Widodo's fate https://t.co/2B5SiNj1kN
— David Lipson (@davidlipson) September 14, 2018
Rizal Ramli berpendapat Jokowi harus mencopot Enggartiasto dari jabatannya sebagai Menteri Perdagangan jika ingin selamat. Lantas ketika elektabilitas Jokowi sudah dirusak oleh Enggartiasto mengapa Jokowi tak kunjung menindak tegas menteri yang terkenal hobi impor beras tersebut? Apakah tudingan Rizal Ramli bahwa Jokowi takut dengan Surya Paloh itu benar? Jika benar, apa yang membuat pimpinan partai Nasdem itu menjadi ditakuti?
Jokowi Takut Surya Paloh?
Dalam liputan media Tempo, pada tahun 2014 Surya Paloh pernah menawarkan perusahaan minyak dari Angola, Sonangol EP kepada presiden Jokowi untuk memasok kebutuhan energi minyak dalam negeri.
Tempo menambahkan keterangan bahwa Grup Sonangol adalah kongsi bisnis lama Surya Paloh. Pada 2009, Perusahaan Surya Energi mendapat pinjaman modal dari China Sonangol International Holding Ltd. Anak perusahaan Sonangol EP tersebut menyuntikkan dana US$ 200 juta kepada Surya Energi untuk menggarap Blok Cepu.
Tulisan Tempo seperti ingin menegaskan bahwa Surya Paloh coba memanfaatkan kedekatan dia dengan Jokowi untuk mengeruk keuntungan pribadi. Dugaan itu diperkuat oleh Tempo karena Perusahaan Sonagol merupakan mitra bisnis ketua umum Nasdem tersebut sejak tahun 2009.
Bisa jadi tudingan Rizal Ramli kepada Surya Paloh dikarenakan rekam jejak politisi asal Aceh tersebut dalam memanfaatkan proyek negara. Ia coba membongkar peran Surya Paloh yang diduga berada di balik kebijakan impor pangan oleh Mendag Enggartasto. Dari liputan Tempo bisa terlihat bahwa Surya Paloh merupakan seorang konglomerat dan memiliki kedekatan dengan konglomerat-pengusaha lainnya. Dengan kekuatan itu, Paloh bisa membantu pendanaan kampanye politik Jokowi.
Selain konglomerat, Surya Paloh juga merupakan pimpinan partai politik. Sekalipun partai Nasdem tidak sebesar Golkar dan PDIP, tetap saja suara partai asuhan Paloh tersebut bisa mendongkrak suara Jokowi pada pilpres nanti.
Surya Paloh pun dikenal sebagai pemilik beberapa media ternama seperti Metro TV, Media Indonesia dan metrotvnews.com dimana diketahui bahwa Metro TV sangat berperan dalam memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014. Oleh karena itu, ketika Jokowi memilih berkonfrontasi dengan Paloh, Jokowi akan kehilangan corong untuk memenangkan Pilpres pada tahun depan.
Di titik itu, terlihat bahwa Surya Paloh memainkan peran sebagai seorang oligark. Burhanuddin Muhtadi, dalam pemaparannya di Australian National University, mengungkapkan bahwa ada konsesi oligarkis antara Jokowi dengan Surya Paloh. Menurut Muhtadi, dengan modal politik yang rendah, Jokowi harus menjaga hubungan baik dengan oligark partai, termasuk Surya Paloh.
Dalam paparan Muhtadi tersebut, ada satu hal yang bisa diambil sebagai alasan mengapa Jokowi harus “menyerah” kepada oligark seperti Surya Paloh. Menurutnya, Jokowi bukanlah sosok sentral di internal partainya. Di PDIP, sang presiden kerap terlihat seperti tak berdaya di bawah kendali Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Julukan petugas partai amat lekat padanya karena kondisi tersebut.
Untuk mengimbangi dominasi Megawati tersebut, Jokowi butuh “patron” lain agar ia tidak didikte oleh satu orang dominan. Surya Paloh boleh jadi dianggap sebagai sosok patron yang dapat mengimbanginya.
Mungkin atas dasar itulah Jokowi lebih memilih diam sekalipun elektabilitasnya tergerus karena kebijakan impor pangan dari Menteri Perdagangan. Boleh jadi, ungkapan Jokowi merasa segan untuk menegur Enggartasto yang merupakan anak buah Surya Paloh di Partai Nasdem itu benar adanya. Artinya publik bisa menilai bahwa “diamnya” Jokowi ini adalah untuk melindungi kepentingan yang jauh lebih besar. (D38)