Site icon PinterPolitik.com

NasDem Diserang, SBY-JK-Paloh Dijegal?

NasDem Diserang, SBY-JK-Paloh Dijegal?

Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate (Foto: Tribunnews)

Viralnya hacker Bjorka membuat Menkominfo Johnny G Plate mendapat hantaman sentimen minor, hingga dituntut untuk dicopot dari jabatannya. Sebagai kader Partai NasDem, apakah viralnya Bjorka merupakan indikasi terdapat agenda untuk menyerang dan menghancurkan citra NasDem? Mungkinkah Surya Paloh sedang dicegah bergabung dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK)?


PinterPolitik.com

Kabar gembira. DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dalam Rapat Paripurna kelima Masa Persidangan I tahun sidang 2022-2023 pada Selasa, 20 September 2022. 

Entah berkaitan atau tidak, banyak pihak yang mengaitkannya dengan fenomena hacker Bjorka beberapa waktu terakhir ini. Bjorka yang menyebarkan beberapa data pejabat negara membuat masyarakat begitu menyadari pentingnya perlindungan terhadap data pribadi.

Pengesahan RUU yang sudah dibahas sejak tahun 2016 itu menjadi afirmasi tulisan Marcus Hobley yang berjudul Public opinion can play a positive role in policy making. Menurut Hobley, meskipun sering kali diremehkan, opini publik memiliki kemampuan untuk mengubah jalannya sejarah. 

Ini dicontohkan pada perubahan sikap Presiden ke-32 Amerika Serikat (AS) Franklin D Roosevelt untuk terlibat di Perang Dunia II. Serangan Jepang yang membombarbir Pearl Harbour menumbuhkan kesadaran luas di hati dan pikiran publik AS. Roosevelt yang awalnya enggan terlibat akhirnya harus menjawab dukungan luas publik. 

Mirip dengan apa yang terjadi pada Roosevelt, serangan hacker Bjorka tampaknya menjadi penggugah hati dan pikiran masyarakat luas. Meskipun kasus kebocoran dan pencurian data telah lama terjadi, Bjorka yang membocorkan sejumlah data pejabat tampaknya menjadi pemantik kuat atas pengesahan RUU PDP.

Ini terlihat dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD pada 14 September 2022. “Peristiwa ini mengingatkan kita membangun sistem yang canggih,” ungkapnya.

Melihat Kejanggalan

Well, terlepas dari dampak positif yang diakibatkan, fenomena hacker Bjorka sangat menarik untuk dianalisis sebagai objek kajian tersendiri. Ada tiga variabel untuk mengatakan itu. 

Pertama, mengutip pakar kompetensi keamanan siber I Made Wiryana, yang dilakukan Bjorka belum dapat disebut sebagai hacker karena tidak meretas sistem keamanan. Menurutnya, apa yang dilakukan Bjorka lebih tepat disebut sebagai pengumpul data. 

“Karena, istilahnya, tidak ada rasa penasaran teknis. Ya mungkin dalam mengumpulkan itu, dia memakai social engineering, tapi kalau sebagai hacker technical, dia tidak perlu memiliki keahlian itu (meretas),” ungkap Made pada 15 September 2022.

Kedua, seperti yang disebutkan Menko Polhukam Mahfud MD, data yang dibocorkan Bjorka bukanlah rahasia negara, melainkan data pribadi yang bersifat umum. 

Mahfud MD misalnya membandingkan Bjorka dengan apa yang dilakukan Wikileaks pada tahun 2014 lalu. Berbeda dengan Wikileaks yang membocorkan pembicaraan telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Perdana Menteri (PM) Australia, Bjorka hanya membocorkan data umum seperti NIK, nomor telepon, tanggal lahir, dan sejenisnya

Sama dengan Made, Mahfud MD juga menyebut Bjorka tidak memiliki keahlian dan kemampuan untuk membobol data sulit yang bersifat rahasia. 

Ketiga, viralnya Bjorka telah membuat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mendapat hantaman sentimen minor. Publik langsung mengaitkan latar belakang Johnny yang tidak mendukung posisinya sebagai Menkominfo. 

Apalagi, anggota Komisi I DPR Fadli Zon menyoroti perubahan nomor Johnny menggunakan nomor AS (+1) setelah kasus Bjorka. “Kalau Kominfo saja pakai nomor Amerika, bagaimana rakyat?,” tanya Fadli Zon pada 12 September 2022.

Sebagai kader Partai NasDem, suka atau tidak, viralnya Bjorka dan posisi Johnny sebagai Menkominfo membuat partai yang dipimpin Surya Paloh itu mendapat sorotan publik. Persoalan laten soal bagi-bagi kue kekuasaan atau spoils system menjadi sorotan utama.

NasDem dinilai tidak menerapkan asas the right man on the right place. Johnny yang tidak memiliki latar belakang kuat di bidang komunikasi dan informatika, dinilai publik seharusnya tidak ditempatkan sebagai Menkominfo.

Lantas, jika melihatnya dari kacamata politik, mungkinkah viralnya Bjorka adalah agenda politik untuk menyerang dan menghancurkan citra Partai NasDem?

Targetkan NasDem?

Pada strategi nomor 3 dalam Thirty-Six Stratagems, disebutkan, kill with a borrowed knife (借刀殺人, Jiè dāo shā rén) – pinjam tangan seseorang untuk membunuh. 

Sedikit memberi konteks, Thirty-Six Stratagems adalah 36 strategi Tiongkok kuno yang digunakan dalam politik, perang, dan interaksi sipil yang diperkirakan telah ada sebelum era Sun Tzu.

Menariknya, strategi nomor 3 tersebut juga ada dalam pepatah Jawa yang berbunyi, nabok nyilih tangan (memukul dengan meminjam tangan orang lain). Artinya, patut diduga bahwa aktivitas memukul secara tidak langsung tampaknya sudah melekat dalam peradaban manusia.

Kembali pada kasus Bjorka. Melihat pemberitaannya yang begitu cepat viral dan masif, bukan tidak mungkin strategi nomor 3 telah digunakan untuk menyerang NasDem. 

Seperti yang dijelaskan Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam buku Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media, media massa digunakan untuk melakukan fabrikasi persetujuan (fabrication of consent). 

Melalui pemberitaan media, pihak tertentu dapat melakukan doktrinasi, propaganda, dan menyebarkan ide yang bertujuan untuk menciptakan persetujuan di tengah masyarakat.

Kasarnya, cukup masuk akal mengatakan terdapat pihak yang memiliki agenda fabrikasi persetujuan agar masyarakat menilai NasDem bukanlah partai yang baik. 

Lantas, jika memang ada agenda tersebut, untuk apa itu dilakukan?

Untuk menjawabnya, kita dapat meminjam metode investigasi detektif fiktif Sherlock Holmes yang disebutkan dalam novel A Study in Scarlet, yakni menggunakan metode bernalar dari belakang ke depan. 

Sedikit memberi konteks, dalam literasi filsafat, khususnya epistemologi, cara bernalar Sherlock Holmes telah digunakan sebagai contoh bagaimana membangun argumentasi yang dalam dan tajam. Metode bernalar dari belakang ke depan memusatkan perhatian pada motif alias kenapa suatu fenomena terjadi. 

Dalam studi hukum dan kriminologi, pencarian motif menjadi aspek penting karena merupakan alasan di balik terjadinya tindak kejahatan. Dalam penjelasan umum, motif didefinisikan sebagai keinginan yang mendorong tindakan.

Nah, memetakan motif yang mungkin, jika benar ada agenda menyerang NasDem, motif yang paling mungkin adalah untuk menjegal Surya Paloh dan NasDem sebagai king maker di Pemilu 2024. Pasalnya, Surya Paloh dan NasDem akan menjadi pelengkap dari gabungan kekuatan SBY dan Jusuf Kalla (JK).

Seperti yang dijelaskan dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, SBY-JK-Paloh Taklukkan Megawati?, gabungan tiga sosok itu akan menjadi kekuatan politik yang mengerikan dan berpotensi mengalahkan Megawati Soekarnoputri beserta PDIP di Pemilu 2024.

Entah siapa pun yang akan diusung oleh trio SBY-JK-Paloh, yang jelas, mencegah bersatunya tiga tokoh itu sangat masuk akal untuk dilakukan. Apalagi, setelah memutuskan turun gunung, SBY saat ini tengah menerima berbagai serangan politik.

Sebagai penutup, viralnya Bjorka tampaknya bukanlah fenomena hacker semata. Ada dimensi politik tingkat tinggi yang tampaknya tengah menyasar NasDem agar trio SBY-JK-Paloh tidak terbentuk. – setidaknya untuk mengurangi kekuatan politik yang mungkin terbentuk. (R53)

Exit mobile version