Site icon PinterPolitik.com

Nasdem dan Risalah “Tentara Rasa-rasa”

nasdem dan risalah tentara rasa rasa

Ketua Umum (Ketum) Partai Nasdem Surya Paloh (tengah) memimpin jalannya Apel Siaga di Parkir Timur Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, pada 15 Juni 2022. (Foto: Antara)

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasdem yang dimulai pada 15 Juni lalu diawali dengan Apel Siaga di Parkir Timur Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Satu yang menarik adalah Nasdem tampak konsisten memeragakan seremoni acara partai ala kemiliteran. Lantas, mengapa hal itu seolah menjadi ciri khas partai besutan Surya Paloh?


PinterPolitik.com

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasdem telah berlangsung sejak 15 Juni lalu di Jakarta Convention Center (JCC) dengan pengusungan nama calon presiden (capres) sebagai agenda yang paling dinantikan.

Sejak awal, acara tersebut diwarnai berbagai gagasan nama kandidat dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), sebelum nantinya akan disepakati dan diusung Nasdem di pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

Jika mengacu pada aspek historis, usulan nama capres dari Partai Nasdem agaknya memiliki signifikansinya tersendiri. Pada Pilpres 2014 lalu, Nasdem menjadi partai politik (parpol) pertama yang mengusung Joko Widodo (Jokowi) bersama PDIP dan berbuah manis. Hal serupa kemudian berlanjut di Pilpres 2019.

Tiga nama lantas muncul dari hasil rekapitulasi Rakernas Nasdem kali ini, yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, dan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo.

Dengan kata lain, tak keliru kiranya untuk sejenak memasuki ruang imajinasi dan membayangkan satu dari tiga nama itu sebagai Presiden Republik Indonesia berikutnya.

Namun, di balik segala hingar bingar Rakernas tersebut, Partai Nasdem agaknya konsisten mengartikulasikan kultur partai ala kemiliteran sejak awal terbentuk.

Ya, sebuah seremoni khas bertajuk Apel Siaga digelar di kawasan Parkir Timur Senayan, Jakarta dengan cukup khidmat sebelum Rakernas berlangsung. Apel diawali dengan parade pakaian daerah dari setiap DPW dan diikuti defile 300 pembawa bendera merah putih.

Prosesi berlanjut dengan hadirnya Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dengan menaiki mobil jeep terbuka. Tak sendiri, Surya Paloh seolah tampak didampingi seorang letnan kepercayaan di sampingnya, yakni Ketua Koordinator Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Nasdem yang juga sang putranya sendiri Prananda Surya Paloh.

Paloh dan Prananda terlihat mengenakan seragam Garda Pemuda Nasdem, lengkap dengan baret biru berlogo Nasdem. Keduanya lantas menuju mimbar utama Apel Siaga sembari diiringi tabuhan marching band sebelum keduanya bergiliran menyampaikan pidato di hadapan para elite dan kader partai.

Lalu, mengapa atribut dan seremoni bertema militer itu senantiasa menjadi ciri khas Partai Nasdem?

Tiru Meiji hingga Nazi?

Seremoni dan penggunaan seragam khusus yang mencirikan sebuah parpol tidak dapat dilepaskan dari konstruksi sosio-politik yang terbangun. Political uniform atau seragam politik selain sebagai cara untuk menunjukkan identitas, juga dikaitkan dengan keyakinan politik radikal (far-right ataupun far-left).

Di era berkembangnya bermacam ideologi politik dan perebutan kekuasaan atas negara pada awal abad 20, seragam politik cukup erat menjadi ciri khas parpol sebagai identitas, termasuk untuk menarik simpati khalayak.

Meskipun seragam politik awalnya erat terkait dengan sayap militer atau organisasi paramiliter, penggunaannya dalam dogma politik radikal membuatnya menjadi simbol yang terintegrasi dari sebuah parpol.

Sayap militer Sturmabteilung dan Schutzstaffel misalnya, yang memiliki seragam politik khas dan menjadi identitas umum Partai Nazi Jerman hingga puncaknya hampir menguasai Eropa di bawah tangan besi Adolf Hitler.

Begitu pula dengan pemakaian seragam politik dalam gerakan parpol beraliran fasis di berbagai negara mulai dari Italia, Portugal, Inggris, Meksiko, Tiongkok, hingga Jepang.

Khusus Jepang, kultur seragam politiknya dianggap memiliki pengaruh signifikan bagi konteks serupa di Indonesia. Dalam One Look Suits All: Japan, Land of Uniform, Mitamura Fukiko mengatakan bahwa penggunaan seragam di Jepang telah menjangkau semua sendi kehidupan, termasuk politik.

Paling tidak, itu terjadi sejak era Meiji yang menjadi titik awal transisi Jepang dari masyarakat feodal tertutup ke negara dengan paradigma baru yang lebih terbuka dengan ide-ide yang berasal dari luar, baik dalam hal ilmu pengetahuan, teknologi, filosofis, politik, hukum, hingga estetika.

Terdapat empat impetus filosofis dan praktis yang dianalisis Fukiko di balik masifnya penetrasi seragam di Jepang sejak dulu yakni sebagai identifikasi, kebanggaan dan motivasi, kekuatan menarik massa, serta keamanan dan kenyamanan. Di era modern, tujuan sebagai medium promosi brand melengkapi empat tujuan penggunaan seragam di Jepang sebelumnya.

Pada masa Perang Dunia II silam, Jepang pun menginternalisasi propagandanya ke negara jajahan salah satunya melalui pemberian seragam politik – termasuk seremoninya – sebagai simbol kebanggaan, dan daya pikat politik.

Ketika Indonesia dijadikan sebagai wilayah ekspansinya pada 1942, Jepang mendirikan organisasi untuk pelajar dan pemuda untuk menghimpun kekuatan politik, seperti Seinendan dan Keibodan. Ya, fungsi seragam bekerja seperti apa yang dikemukakan Fukiko.

Tidak hanya dibalut seragam dan latihan perang, para pemuda juga diinternalisasi dengan nilai dan tradisi seremonial seperti baris-berbaris hingga defile. Seremoni kemiliteran lantas masuk ke berbagai sendi kehidupan bersamaan dengan tantangan kolektif untuk mengusir penjajah kala itu.

Tampilan dan seremoni itu terus dipertahankan setelah kemerdekaan yang mana salah satunya ditenarkan Presiden RI pertama Soekarno. Dengan gaya busana safari ala militer dilengkapi dengan brevet serta lencana di dada, Soekarno melengkapinya dengan kegemaran tampil di mimbar upacara sekaligus menasbihkannya sebagai ikon paling awal pencetus tradisi seragam politik di Indonesia.

Serupa dengan Seinendan dan Keibodan, beberapa waktu setelahnya karakteristik itu diinternalisasi oleh para organisasi kemasyarakatan (ormas) yang mulai bermunculan seperti Pemuda Pancasila (PP), Banser Nahdlatul Ulama (NU), Front Pembela Islam, hingga ormas lainnya.

Begitu pula yang kemungkinan dianut Surya Paloh saat membentuk karakter ormas Nasional Demokrat pada tahun 2010 silam, sebelum meng-upgrade-nya menjadi Partai Nasdem setahun berselang.

Ya, selain terinspirasi oleh filosofi dan sejarah panjang seragam politik seperti yang telah dijabarkan di atas, Paloh nyatanya memang memiliki rekam jejak sebagai inisiator ormas ala kemiliteran.

Sebagai putra seorang abdi negara, yaitu Letkol. Pol. Muhammad Daud Paloh, Surya Paloh tercatat merupakan pendiri organisasi Putra-Putri ABRI (PP-ABRI) dan jadi pimpinannya di Sumatera Utara.

Paloh juga merupakan salah satu pendiri Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) yang menjadi wadah komunikasi “anak kolong” dan masih eksis hingga saat ini.

Namun, kembali ke Partai Nasdem, pertanyaan berikutnya muncul yakni adakah tujuan khusus dari internalisasi filosofi seragam dan seremoni ala kemiliteran yang dilakukan Surya Paloh itu?

Agar Tak Seperti Puan?

Secara teoretis, esensi seragam dan seremoni ala kemiliteran Nasdem dapat dipahami melalui publikasi Leonard Bickman berjudul The Social Power of a Uniform. Mengutip Barry E. Collins, Bertram Raven, dan John Schopler, Bickman menyebutkan social power theory atau teori kekuatan sosial sebagai jawaban mengapa impresi dan sikap dapat dipengaruhi oleh sebuah penampilan.

Teori itu menyebutkan bahwa derajat kepatuhan akan perintah sebagian ditentukan oleh karakteristik orang yang memberi perintah. Mengacu pada Nathan Joseph dan Nicholas Alex dalam The Uniform: a sociological perspective, Bickman mengorelasikannya dengan fungsi seragam sebagai identifikasi status pemakainya, keanggotaan kelompok, dan legitimasi dalam berbagai pola interaksi yang terjadi, tak terkecuali sebuah seremoni.

Secara singkat, esensi seragam dan seremoni ala kemiliteran dapat menggambarkan hierarki, impresi koersi, punishment, dan reward yang mana semua itu berujung pada kepatuhan.

Menariknya, tidak semua parpol dapat mengadopsi karakteristik itu. Hanya mereka dengan kecenderungan personalized party atau partai yang memiliki sosok sentral tertentu yang kiranya dapat mempraktikkannya.

Dalam konteks Nasdem, kekuatan sosial dan muara tegak lurusnya kepatuhan kiranya tak hanya bertujuan untuk sosok Surya Paloh, melainkan untuk keberlangsungan kepemimpinan partai kepada putranya, Prananda Surya Paloh.

Hal itu mengacu pada realitas bahwa kemungkinan peluang terbaik untuk mempertahankan keberlangsungan aspek ekonomi-politik bisnis keluarga Paloh ialah melalui suksesi Nasdem kepada Prananda.

Pemberian kekuatan sosial melalui seragam dan seremoni ala kemiliteran itu agaknya berangkat dari belum terujinya Prananda dalam politik dan pemerintahan. Sampai saat ini, pengalaman politiknya masih sebatas anggota DPR RI periode 2014-2019 dan 2019-2024.

Kharismanya juga tampak belum setara dengan sang ayah. Hal ini terlihat dari pidato teranyarnya di Rakernas yang beredar di linimasa namun justru mendapat sorotan kurang positif dari netizen.

Akan tetapi, jika benar tujuan seragam politik dan seremoni adalah untuk mempertahankan estafet kepemimpinan Nasdem kepada trah Paloh, atribusi kekuatan sosial semacam itu kemungkinan kurang efektif jika tidak ada kinerja, prestasi, dan publisitas konkret.

Ihwal yang mungkin mirip dengan upaya suksesi PDIP dari Megawati Soekarnoputri kepada Puan Maharani.

Bagaimanapun, tiap parpol tentu memiliki karakteristik dan strategi tersendiri untuk soliditas internal sekaligus demi menarik simpati konstituennya. Yang terpenting, semua itu pada akhirnya diharapkan tetap bertujuan mewakili kepentingan rakyat saat kekuasaan telah direngkuh. (J61)


Exit mobile version