Site icon PinterPolitik.com

NasDem Blunder, Anies Gagal Capres?

NasDem Blunder, Anies Gagal Capres?

Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh bersama mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (Foto: ANTARA /FAUZI LAMBOKA)

Berbagai upaya disebut merintangi terbentuknya koalisi NasDem-Demokrat-PKS agar Anies Baswedan gagal maju sebagai capres di Pilpres 2024. Mungkinkah NasDem melakukan blunder karena terlalu dini mendeklarasikan Anies sebagai bakal capres 2024? Kemudian, apakah Anies akan gagal maju di Pilpres 2024?


PinterPolitik.com

Dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul Anies Lakukan Blunder Besar? pada 27 September 2022, telah diberikan penegasan bahwa Anies Baswedan telah melakukan blunder karena terlalu dini mengungkapkan keinginannya secara terbuka untuk maju di Pilpres 2024.

Disebut blunder karena deklarasi tersebut berpotensi kuat untuk menjadikan Anies sebagai target serangan politik. Seperti yang telah diulas, saat ini berbagai kandidat sebenarnya tengah menahan diri. 

Mengacu pada kebiasaan partai politik yang mengusung capres-cawapres di akhir waktu, menyatakan diri siap maju sejak dini sama saja dengan mengundang berbagai pihak untuk memberikan serangan politik.

Seperti dalam bukunya The Art of War, Sun Tzu menuliskan, “Manuver perang haruslah seperti angin yang bertiup. Lakukanlah gerakan tanpa suara (silent operation) dengan tenang.” 

Sebagai sosok yang telah malang melintang di dunia politik, serta mengetahui memiliki retakan dengan PDIP sejak Pilgub DKI Jakarta 2017, Anies seharusnya sangat memahami pentingnya silent operation.

Untuk meminimalisir serangan dan hambatan politik, seperti yang dilakukan PDIP, Anies dan partai yang mendukungnya seharusnya melakukan deklarasi di akhir waktu. Konteks ini yang menjadi pertanyaan serius terhadap Partai NasDem. 

Kenapa partai yang dipimpin Surya Paloh itu terkesan buru-buru mendeklarasikan Anies sebagai bakal capres 2024?

Melihat gestur politik terkini, deklarasi itu tengah menjadi bumerang. PDIP terlihat memberikan serangan-serangan politik, hingga disebut-sebut mendesak NasDem keluar dari koalisi. 

Surya Paloh bahkan harus menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara langsung untuk menegaskan komitmen partainya dalam mendukung pemerintahan.

Dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul Jokowi Tidak Restui Anies Nyapres? pada 3 November 2022, juga telah dijabarkan bahwa terdapat kemungkinan Presiden Jokowi tidak merestui Anies maju sebagai capres di Pilpres 2024.

Alasan utama atas simpulan itu adalah perbedaan gestur politik yang kentara. Ketika Partai Golkar ataupun Partai Gerindra menegaskan untuk mengusung ketua umum partainya sebagai capres di Pilpres 2024, serangan politik semacam itu tidak terlihat.

Tidak ada kritik terhadap Airlangga Hartarto maupun Prabowo. Dorongan agar Golkar dan Gerindra keluar kabinet juga tidak tercium baunya.

Lantas, apakah kita sedang menyaksikan blunder dari keputusan Surya Paloh dan NasDem? 

Terjebak Kabut Perang?

Dalam literasi perang yang lebih baru, penegasan yang disebutkan Sun Tzu pada abad 5 SM dapat kita temukan lebih rinci dalam buku On War karya Carl von Clausewitz yang ditulisnya pada tahun 1832. Dalam bukunya, Clausewitz menggambarkan perang sebagai kabut (fog of war). 

Perang adalah realitas yang penuh dengan ketidakpastian (realm of uncertainty). Sama seperti di dalam kabut, kita kesulitan untuk memprediksi apa yang ada di depan dan di sekeliling. Perang sangat tidak bisa ditebak. Terlalu banyak informasi dan informasi-informasi itu terus berubah. 

Situasi ini persis seperti yang digambarkan dalam dilema narapidana (prisoner’s dilemma). Dua kelompok (atau lebih) yang berhadapan berada pada situasi asimetri informasi. Masing-masing pihak tidak mengetahui situasi presisi kelompok lain.

Atas kondisi itu, Clausewitz sangat mewanti-wanti soal posisi. Musuh tidak boleh mengetahui kita berada di mana, akan melakukan apa, kapan akan menyerang atau berpindah, dan seberapa banyak logistik yang kita dimiliki.

Di titik ini, melansir berbagai pemberitaan terbaru terkait upaya mengganjal terbentuknya koalisi NasDem-Demokrat-PKS, tampaknya Surya Paloh telah terjebak dalam kabut perang (fog of war). 

Mungkin dalam kalkulasi NasDem, deklarasi cepat Anies ditujukan untuk mendapatkan efek ekor jas sebesar mungkin. NasDem ingin menghimpun simpatisan Anies untuk menjadi pemilih mereka di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024.

Namun, berbagai turbulensi terkini tampaknya menunjukkan miskalkulasi Surya Paloh dan Partai NasDem. Mungkin sudah dikalkulasi akan ada serangan politik. Namun, mungkin kalkulasi yang ada tidak membayangkan serangan politik yang terjadi akan sebesar dan semasif ini. Tagar #TenggelamkanNasDem juga viral beberapa waktu yang lalu di Twitter.

Jika koalisi NasDem-Demokrat-PKS benar-benar gugur di tengah jalan, Anies sekiranya mendapati dirinya gagal maju sebagai capres di Pilpres 2024.

Lantas, apakah kegagalan itu akan menghampiri Anies? Atau, mungkinkah turbulensi politik saat ini adalah bagian dari strategi NasDem?

NasDem Sengaja?

Sebagai pebisnis dan politisi senior, sekiranya sulit membayangkan Surya Paloh tidak membayangkan skenario terburuk. Ketegangan antara Anies dan PDIP sekiranya sudah menjadi rahasia umum sehingga Paloh dan NasDem pasti sudah membayangkan reaksi keras partai berlambang banteng bermoncong putih.

Atas asumsi tersebut, ada kemungkinan bahwa NasDem memang menginginkan turbulensi politik yang terlihat saat ini untuk terjadi. Alasannya sederhana, yakni agar Anies tetap menjadi top of mind publik alias terus mendapatkan panggung politik.

Setelah purna tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies mutlak membutuhkan panggung politik agar namanya tidak meredup. Atas kebutuhan ini, menjadikan Anies sebagai magnet pemberitaan media adalah sebuah keniscayaan.

Mengutip pakar komunikasi politik, Brian McNair, dalam bukunya An Introduction to Political Communication, media massa merupakan alat “persuasi kesadaran”. Melalui berbagai pemberitaan yang ada, masyarakat tengah dipersuasi dan digiring untuk terus membicarakan Anies.

Terlepas itu isu positif atau negatif, yang terpenting adalah Anies terus menjadi gravitasi pembahasan publik. 

Seperti yang telah disimpulkan dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul Capres 2024 Hanya Omong Kosong? pada 8 Agustus 2022, ingar-bingar pembahasan berbagai pihak, termasuk elite politik soal nama-nama capres-cawapres, adalah untuk kepentingan pemberitaan media.

Strategi itu bertumpu pada dua fondasi. Pertama, mengutip sejarawan Yuval Noah Harari, isu politik selalu lebih menarik perhatian masyarakat. Ini adalah bahan gosip yang sangat menggairahkan. 

Kedua, seperti dijelaskan Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise, media massa saat ini telah menggantungkan dirinya pada klik, views, dan sensasi. Dengan besarnya ketertarikan masyarakat pada isu capres-cawapres, media massa secara naluriah akan memburu berita terkait isu tersebut.

Well, sebagai penutup, ada dua kesimpulan yang dapat ditarik atas gestur politik yang terlihat. Pertama, NasDem sepertinya telah melakukan miskalkulasi politik. 

NasDem telah terjebak kabut perang sehingga tidak memprediksi besarnya serangan politik terhadap Anies dan dirinya. Jika gagal diantisipasi, ada kemungkinan Anies akan gagal maju sebagai capres di Pilpres 2024.

Kedua, ada pula kemungkinan turbulensi politik yang ada justru diharapkan. Tujuannya untuk tetap menjadikan Anies sebagai top of mind publik. Isu-isu yang ada justru adalah berkah bagi popularitas Anies dan Partai NasDem.  

Kita lihat saja mana kesimpulan yang terjadi. Jika Anies benar-benar gagal maju di Pilpres 2024, maka kesimpulan yang pertama adalah yang tepat. (R53)

Exit mobile version