Isu penundaan pemilu dikeluarkan oleh Partai Golkar, PKB, dan PAN. Di sisi lain, partai besar seperti PDIP, NasDem dan Gerindra telah menegaskan penolakan wacana. Dengan tanggal Pemilu 2024 sudah ditetapkan, mengapa wacana penundaan masih bergulir? Apakah ini untuk memetakan koalisi?
“In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way.” – Franklin D. Roosevelt, Presiden ke-32 Amerika Serikat
Jika boleh jujur, awalnya penulis tidak begitu tertarik pada isu penundaan pemilu. Awalnya, penulis mengira isu ini hanyalah salah satu mainan elite, dalam artian, ini hanya bagian manajemen isu. Seperti yang disebutkan Ed Rogers dalam tulisannya The politics of noise, merupakan praktik yang lumrah bagi politisi untuk menciptakan kebisingan politik dengan melempar isu tertentu.
Namun, setelah berbagai petinggi partai secara kompak bersuara, penulis mulai menaruh perhatian serius. Pasalnya, mestilah Golkar, PKB, dan PAN memiliki perhitungan matang di balik keluarnya dukungan terhadap penundaan Pemilu 2024. Menimbang pada wacana penundaan pemilu sangat tidak populis alias berlawanan dengan dukungan publik, hampir dapat dipastikan terdapat intrik politik serius di balik dukungan yang disampaikan.
Tidak hanya masyarakat umum dan akademisi, berbagai elite politik juga memberikan suara keras penolakan. Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah, misalnya, menegaskan bahwa keluarnya tanggal pemilu serentak pada 14 Februari 2024 seharusnya menutup skenario-skenario yang selama ini diserukan. Ada pula penolakan wacana penundaan pemilu dari Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh.
Namun, seperti yang diketahui, setelah tanggal Pemilu 2024 ditetapkan, isu penundaan pemilu faktanya tetap bergulir. Bukankah keluarnya tanggal pemilu seharusnya menjadi penutup wacana? Lantas, dengan berbagai kejanggalan yang ada, mengapa isu ini masih hangat terbaca publik?
Tes Ombak?
Mengacu pada pola-pola sebelumnya, kita dapat memahami isu ini sebagai trial balloon. Ini adalah teknik komunikasi politik yang dilakukan dengan cara sengaja melempar suatu isu untuk melihat dan memetakan reaksi publik.
Dengan kata lain, tengah dicoba untuk dilihat apakah publik mendukung atau justru resisten terhadap wacana penundaan pemilu. Namun, kembali pada premis awal, dengan wacana ini sangat tidak populis, bukankah sangat mudah menyimpulkannya pasti ditolak publik? Apalagi, untuk mewujudkan wacana ini membutuhkan amendemen UUD 1945.
Menimbang pada kejanggalan tersebut, kita perlu bertolak pada pola yang terjadi di Indonesia. Yang menarik adalah, pada kebanyakan kasus, trial balloon tidak ditujukan kepada masyarakat luas, melainkan kepada politisi dan partai politik. Ini adalah diplomasi terbuka untuk melihat ketertarikan politisi dan partai lain terhadap isu yang dilemparkan. Jika tertarik, lobi-lobi belakang layar kemudian akan dilakukan.
Ini terlihat jelas dari kronologis keluarnya isu penundaan pemilu. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang pertama melempar isu pada 23 Februari. “Dari semua (masukan) itu saya mengusulkan Pemilu 2024 ditunda satu atau dua tahun,” ungkap Muhaimin.
Sehari setelahnya, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto juga menyampaikan dukungan. “Aspirasinya kami tangkap tentang keinginan adanya kebijakan berkelanjutan dan juga ada aspirasi kebijakan yang sama bisa terus berjalan. Tentu permintaan ini, yang menjawab bukan Menko, karena Menko tadi menjawab urusan sawit,” ungkap Airlangga pada 24 Februari.
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) juga merespons sehari setelahnya. “PAN setuju bahwa pemilu perlu dipertimbangkan untuk diundur,” ungkap Zulhas pada 25 Februari. Bertolak pada respons yang hanya berselang sehari-sehari, dapat disimpulkan bahwa pernyataan sesudahnya adalah respons dari pernyataan sebelumnya.
Ross Tapsell dalam bukunya Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution, memberikan penjelasan menarik yang menjadi elaborasi penting. Menurut Tapsell, munculnya era digital di media massa telah mengubah wajah politik di Indonesia.
Menurutnya, media massa, khususnya media arus utama, telah menjadi wadah bagi elite politik untuk mengkonsolidasikan agenda politik mereka. Artinya, media arus utama merupakan arena terbuka para politisi untuk menunjukkan agenda, persepsi, dan pandangannya. Kita dapat melihat isu apa yang tengah dibahas elite melalui pengentalan isu di media arus utama.
Lantas, jika benar wacana penundaan pemilu sebenarnya tidak ditujukan kepada publik, apa kira-kira motif dari isu ini?
Petakan Koalisi?
Sedikit berspekulasi, menimbang pada kecilnya potensi wacana mendapat dukungan publik, sepertinya wacana ini ditujukan untuk melihat elite politik atau partai mana yang memiliki persepsi yang sama. Simpulan ini penulis tarik dari buku Annelies Kusters dan kawan-kawan yang berjudul Sign language ideologies: Practices and politics.
Dijelaskan, setiap tanda dan bahasa bersifat spesifik karena hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahaminya. Terdapat tanda-tanda yang hanya bisa dipahami ketika kita sudah dekat atau mengetahui cara berpikir seseorang. Contohnya, Anton sangat paham Andri sedang bersedih ketika Andri tidak mengunggah status di Facebook pada hari ini. Anton sangat paham bahwa Andri pasti membuat status setiap hari.
Begitu pula pada tanda dan bahasa politik. Sinyal-sinyal politik tidak ditujukan kepada publik, melainkan kepada para elite politik yang memang memahaminya. Nah, di titik ini, kita dapat membuat spekulasi bahwa isu penundaan pemilu digunakan untuk melihat partai yang memiliki persepsi yang sama guna memetakan koalisi untuk Pemilu 2024.
Persoalan kesamaan persepsi ini menjadi vital. Ivan Doherty dalam tulisannya Coalition Best Practices menyebut ada empat faktor esensial dalam membentuk koalisi partai politik. Pertama, koalisi harus bermanfaat bagi semua partai penyusunnya. Kedua, harus ada rasa saling menghormati dan pengertian. Setiap partai harus menunjukkan kemampuan untuk memahami sudut pandang partai lain, bahkan ketika ada ketidaksepakatan.
Ketiga, harus ada kemauan untuk berkompromi. Keempat, harus ada rasa kemitraan, bahkan jika ukuran partai berbeda. Kemitraan tidak berarti semua tanggung jawab dan posisi dibagi secara merata, melainkan setiap kelompok dihormati karena atribut unik yang dimilikinya, sehingga suara koalisi diambil secara bersama.
Dari keempat faktor esensial tersebut, semuanya membahas soal kesamaan atau titik temu. Nah, konteks kesamaan terhadap penundaan pemilu dapat menjadi titik temu pembicaraan koalisi. Sekalipun nantinya penundaan pemilu kandas, partai-partai yang bertemu setidaknya sudah merasakan kesamaan persepsi dan visi. Jika spekulasi tersebut tepat, kita dapat memetakan dua poros koalisi dini, yakni yang mendukung dan menolak penundaan.
Yang mendukung ada tiga partai, yakni PKB, Golkar, dan PAN. Sedangkan yang menolak ada enam partai, yakni NasDem, PDIP, PPP, Demokrat, PKS, dan Gerindra. Yang menarik, kita dapat memetakannya menjadi tiga poros jika partai non-koalisi pemerintah dibedakan.
Pertama, ada PKB, Golkar, dan PAN, yang dipimpin oleh partai beringin selaku yang memperoleh suara terbesar. Kedua, ada PDIP, Gerindra, PPP, dan NasDem, yang dipimpin oleh partai banteng. Ketiga, ada Demokrat dan PKS.
Terkait benturan PDIP dan Golkar, ini sudah diungkit berbagai pihak. Sudah berkali-kali pula dibahas dalam artikel PinterPolitik. Di satu sisi PDIP ingin mencatatkan hat-trick alias kembali menang di Pemilu 2024. Sementara di sisi lain, Golkar disebut ingin kembali menjadi partai penguasa. Untuk tujuan ini, partai beringin tidak boleh satu gerbong dengan PDIP lagi.
Yang menarik dari peta poros dini ini adalah, Golkar dan NasDem yang awalnya disebut berkoalisi justru menunjukkan sikap yang berbeda. Bahkan Surya Paloh turun langsung memberikan suara-suara tegas untuk menolak penundaan pemilu. Mungkin dapat dikatakan, poros Golkar-NasDem tampaknya urung terjadi di Pilpres 2024.
Well, kita lihat saja bagaimana kelanjutan isu penundaan ini. Sebagai penonton, kita hanya dapat menikmati dan menilai, sejauh mana keindahan orkestra politik yang sedang dimainkan. (R53)