Deklarasi Partai NasDem untuk mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres di Pilpres 2024 menimbulkan ketegangan di koalisi pemerintahan Jokowi. Apakah ini menunjukkan NasDem adalah duri dalam koalisi Jokowi, khususnya bagi PDIP?
Pada 31 Oktober 2019, Aaron Connelly dan Evan A. Laksmana dalam tulisan mereka Jokowi Offers Prabowo a Piece of the Pie di Foreign Policy, memiliki pandangan menarik soal dirangkulnya Prabowo Subianto ke dalam koalisi oleh Joko Widodo (Jokowi).
Menurut mereka, keputusan menunjuk Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) dapat membahayakan Jokowi dan demokrasi Indonesia.
Connelly dan Evan bertolak dari masa lalu Prabowo yang merupakan menantu Soeharto, diduga melakukan penculikan aktivis pada 1998, dan disebut pernah ingin mengkudeta Presiden BJ Habibie. “Prabowo could be a disaster,” tulis mereka.
Dalam hipotesis Connelly dan Evan, ada kemungkinan Prabowo berusaha untuk mendominasi kebijakan keamanan di luar batas otoritas hukumnya, meningkatkan friksi di militer, serta friksi antara militer dengan sipil. Prabowo juga dipercaya akan menggunakan pendekatan garis keras untuk keamanan internal, serta menuntut peran yang lebih besar dalam kontra terorisme.
Pengaruh besar Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra dipercaya dapat menciptakan matahari kembar di pemerintahan Jokowi. Menurut Connelly dan Evan, jika di kemudian hari Prabowo dilihat membahayakan, Jokowi dapat menggunakan kendalinya di Polri dan Jaksa Agung untuk menjerat Prabowo. Di sisi lain, jaringan Prabowo di militer dinilai dapat digunakan untuk mengambil alih kekuasaan.
Jika skenario yang dibayangkan Connelly dan Evan terjadi, ini tentu buruk bagi stabilitas pemerintahan dan demokrasi Indonesia. Jokowi dan Prabowo akan saling menjepit dengan kekuasaannya masing-masing.
Namun, seperti yang kita lihat saat ini, asumsi Connelly dan Evan benar-benar meleset. Alih-alih menjadi matahari kedua, Prabowo justru menjadi sosok yang lunak dan begitu patuh terhadap Jokowi.
Ketakutan Connelly dan Evan bahwa Prabowo akan membuat tegang hubungan Indonesia dengan Tiongkok atau Amerika Serikat (AS) juga melenceng jauh. Prabowo tidak lagi bersuara keras soal intervensi Tiongkok di Laut China Selatan (LCS), melainkan justru menyebut Tiongkok sebagai “negara sahabat”.
Prabowo bahkan diterima masuk ke AS untuk melakukan diplomasi pertahanan. Baru-baru ini, Prabowo juga dikabarkan sudah deal untuk mendatangkan jet tempur F-15 buatan Paman Sam.
Bukan Prabowo, Tapi Surya Paloh?
Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Ada Luhut di Balik Bisunya Prabowo? pada 20 Januari 2021 dan Prabowo, “Senjata” Luhut Bendung Megawati? pada 6 Juni 2022, telah dijelaskan kenapa Prabowo justru menjadi lunak setelah menjadi Menhan.
Sedikit mengulang, kata kunci dari perubahan itu adalah pendidikan Prabowo yang ditempa sebagai seorang prajurit.
Francis Fukuyama dalam bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century, memberikan apresiasi terhadap rantai komando di militer karena memegang derajat kontrol terpusat yang besar atas berbagai keputusan pada tingkat strategis dan operasional.
Dalam penerapannya, seorang prajurit menjadi begitu memahami pentingnya rantai komando dan kepatuhan kepada atasan.
Dengan status Prabowo sebagai bawahan Presiden saat ini, tentu sang jenderal bintang tiga akan memberikan patuh dan hormat kepada Jokowi. Prabowo bahkan disebut meminta izin Jokowi untuk maju di Pilpres 2024.
Memetakan geliat berbagai partai politik koalisi Jokowi, ketakutan Connelly dan Evan sekiranya bukan kepada Prabowo, melainkan kepada Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh.
Pada Oktober 2019 yang lalu, Paloh bahkan mengeluarkan dua ancaman terhadap Jokowi. Pertama, Paloh menyebut Jokowi dapat dimakzulkan apabila mengeluarkan perppu untuk membatalkan revisi UU KPK.
Kedua, mungkin tidak puas dengan pembagian kursi menteri, khususnya setelah Gerindra gabung koalisi, Paloh mengancam akan menjadi oposisi pemerintah. Kita tentu ingat akan foto pelukan mesra Paloh dengan Sohibul Iman, Presiden PKS saat itu.
Jokowi atau PDIP?
Baru-baru ini, manuver politik Surya Paloh juga menciptakan keriuhan di koalisi Jokowi. Setelah NasDem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal capres 2024, beredar dorongan agar NasDem segera keluar dari koalisi pemerintah.
Wacana reshuffle kabinet juga bermunculan, khususnya setelah politisi NasDem Zulfan Lindan menyebut Anies adalah antitesis Jokowi.
Seperti yang kita lihat di pemberitaan, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menjadi sosok yang begitu responsif terhadap manuver NasDem.
“Para pejuang kita kan ada bendera Belanda, birunya dilepas. Dan ternyata birunya juga terlepas kan dari pemerintahan Pak Jokowi sekarang, karena punya calon presiden sendiri,” ungkap Hasto pada 9 Oktober 2022.
Di titik ini, melihat respons keras Hasto, mungkin ada satu hal yang patut dipertanyakan. Apakah NasDem merupakan duri bagi Jokowi atau duri bagi PDIP?
Sejauh ini, Jokowi tidak mengeluarkan pernyataan terkait manuver NasDem. Ketika partai biru dikritik keras atas pernyataan Zulfan Lindan, Surya Paloh langsung turun gunung memberi penegasan bahwa NasDem sangat berkomitmen untuk mendukung pemerintahan Jokowi.
Oleh karenanya, mungkin lebih tepat mengatakan pihak yang melihat NasDem sebagai duri adalah PDIP.
Sejak Pilgub DKI Jakarta 2017, PDIP memang terlihat memiliki hubungan tidak harmonis dengan Anies. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, mungkin PDIP – meskipun tidak semua kader – memiliki dendam politik kepada eks DKI-1 tersebut.
Nancy Colier dalam tulisannya Why We Hold Grudges, and How to Let Them Go, menjelaskan dendam adalah perasaan yang begitu dalam dan begitu sulit dihilangkan. Bahkan menurutnya, dendam dapat menjadi sebuah identitas.
Dengan dendam, kita dapat mengenali diri dan orang lain. Kita mengidentifikasi siapa yang kita nilai sebagai orang jahat. Perasaan dendam membuat kita merasa menjadi pihak yang benar dan merupakan korban.
Menurut Colier, karena fungsinya sebagai pembentuk identitas, menghilangkan dendam seperti mencabut identitas seseorang. Akan ada perasaan yang sangat tidak nyaman dalam proses itu.
Sebagai partai yang mendeklarasikan Anies, bahkan menyebutnya sebagai antitesis Jokowi, sekiranya sangat dipahami mengapa PDIP bersikap begitu reaktif. Bagaimana pun juga, Jokowi adalah kader PDIP yang membawa partai banteng moncong putih kembali ke kursi kekuasaan.
Well, sebagai penutup, mungkin dapat dikatakan manuver terbaru NasDem tampaknya membuat mereka memiliki ketegangan dengan PDIP. Bukan tidak mungkin, partai yang dipimpin Surya Paloh itu dianggap sebagai duri dalam koalisi oleh PDIP. (R53)