Maraknya penggunaan narkoba di kalangan artis semakin membenarkan stereotip tentang kehidupan dunia hiburan Indonesia yang dekat dengan hedonisme dan hal-hal yang ‘tidak sehat’.
PinterPolitik.com
“Drugs take you to hell, disguised as heaven”.
[dropcap size=big]K[/dropcap]ata-kata tersebut diucapkan oleh Donald Lynn Frost yang saat ini menjabat sebagai presiden dan Chief Executive Officer (CEO) LTI Printing – sebuah perusahaan jasa percetakan di Amerika Serikat. Narkoba memang membuat kita merasa seperti di surga, namun sesungguhnya itu adalah neraka yang sedang disamarkan. Sepertinya kata-kata itu saat ini sedang dialami oleh artis dan penyanyi, Ridho Rhoma. Ridho tampaknya mulai merasakan ‘neraka’ yang disamar-samarkan itu.
Sebelumnya diberitakan bahwa putra dari Rhoma Irama – Raja Dangdut Indonesia sekaligus pendiri dan ketua Partai Islam Damai Aman (Idaman) – ditangkap dalam sebuah operasi yang dilakukan oleh tim Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Barat. Ridho ditangkap polisi atas tuduhan kepemilikan narkoba jenis sabu seberat 0,7 gram di sebuah hotel di bilangan Daan Mogot, Jakarta Barat, pada Sabtu, 25 Maret 2017 lalu.
Polisi tangkap penyanyi Ridho Rhoma ketika tengah nyabu di hotel: https://t.co/V99ru8ghpo pic.twitter.com/45xhurx16C
— Rappler IDN Times (@rappleridntimes) March 25, 2017
Penangkapan Ridho ini disayangkan oleh banyak pihak, mengingat ayahnya, Rhoma Irama dikenal sebagai seorang pendakwah yang selalu menebarkan ajaran-ajaran kebaikan dalam lagu-lagunya, sebut saja dalam lagu ‘Mirasantika’ dan lain sebagainya.
Ridho malu2in H Roma Irama aja #AnakSekolahanEps57dan58
— atik ayudya (@ayudya_atik) March 28, 2017
Kasus yang menimpa Ridho ini menambah daftar panjang para artis dan figur publik yang terjerat kasus narkoba. Sebut saja Raffi Ahmad yang ditangkap pada Januari 2013 lalu, atau Roger Danuarta yang ditangkap pada 2014, Gatot Brajamusti yang terjerat narkoba pada Agustus 2016 lalu, dan masih banyak deretan panjang artis dan figur publik lain yang terjerat narkoba. Maraknya penggunaan narkoba di kalangan artis semakin membenarkan stereotip tentang kehidupan dunia hiburan Indonesia yang dekat dengan hedonisme dan hal-hal yang ‘tidak sehat’.
Kasus narkoba di kalangan para artis sebetulnya menggambarkan masih kuatnya pasar narkoba di kalangan atas atau kalangan orang-orang yang kuat secara ekonomi. Publik tentu bertanya-tanya, mengapa makin hari makin banyak artis yang terjerat kasus narkoba?
Narkoba dan Figur Publik
Ketika ditanya, Ridho Rhoma mengaku menggunakan narkoba karena ingin kurus! Tunggu dulu, bukannya kalau ingin kurus bisa dengan cara diet dan olahraga?
Ingin Kurus, Alasan Ridho Rhoma Pakai Sabu https://t.co/GRoz5XLha3
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) March 28, 2017
Memang, dunia hiburan dan narkoba adalah dua hal yang selalu bersinggungan. Terkait kasus yang menimpa Ridho Rhoma dan banyaknya artis yang menggunakan narkoba, Juru bicara Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Besar Sulistiyandriatmoko mengatakan bahwa hal tersebut merupakan sebuah fenomena ‘Gunung Es’ – masih banyak artis dan figur publik yang juga menggunakan narkoba. Biasanya kalau satu sudah tertangkap, maka akan ada banyak lagi yang terlibat.
Beban kerja di dunia hiburan yang dianggap berat umumnya menjadi penyebab mengapa banyak artis yang akhirnya terdorong untuk menggunakan narkoba. Dunia hiburan juga menjadi salah satu tempat yang sangat rentan terhadap narkoba. Kerentanan itu bisa muncul dari faktor beban kerja, pergaulan, dan gaya hidup, sehingga kecenderungan menggunakan narkoba menjadi tinggi, termasuk dengan alasan sebagai doping.
Kalangan artis juga dianggap sebagai incaran utama bandar narkoba, mengingat kalangan artis biasanya berpenghasilan besar dan dengan demikian akan mendatangkan keuntungan bagi bandar-bandar narkoba. Kasus yang menimpa Ridho Rhoma ini harusnya membuka mata publik dan penegak hukum akan besarnya bisnis dan peredaran narkoba di konsumen level atas. Jumlah artis yang terjerat narkoba pun sepertinya sudah tidak bisa dihitung dengan jari lagi.
Lalu, bagaimana dengan para politisi? Kita tentu ingat kasus yang menimpa ketua DPR Kabupaten Pemalang sekaligus kader PDIP, Waluyo, yang ditangkap atas tuduhan terlibat pesta sabu pada 2012. Kita juga ingat kasus kepemilikan 400 butir pil ekstasi oleh Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Kabupaten Blora, Colbert Mangara Tua pada 2013 lalu.
Kasus terbaru adalah yang menimpa Fanny Safriansyah – putra dari Hamzah Haz yang lebih dikenal dengan nama Ivan Haz pada awal tahun 2016 lalu. Politisi PPP dan anggota DPR RI ini diduga terlibat kasus narkoba karena namanya menjadi langganan bandar narkoba yang ditangkap polisi – walaupun saat dilakukan tes urin, yang bersangkutan tidak terbukti mengkonsumsi narkoba.
Berkas Perkara Ivan Haz Minus Kasus Narkoba https://t.co/a2fpRXYknY pic.twitter.com/VUwH7R61fJ
— Okezone (@okezonenews) March 20, 2016
Kita juga ingat ketika ada wacana bagi semua anggota DPR untuk melakukan tes urin – walaupun wacana yang digulirkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut tidak disetujui oleh ketua DPR RI saat itu, Ade Komarudin. Hal ini tentu menimbulkan dugaan bahwa di gedung wakil rakyat pun ada peredaran barang haram tersebut. Benarkah demikian? Tentu perlu ada penelusuran yang lebih dalam.
Yang jelas, keterlibatan publik figur – baik itu artis atau pun politisi – dalam kasus narkoba harus ditanggapi dengan lebih serius. Keberadaan artis dan politisi yang menggunakan narkoba akan menjadi preseden semakin buruknya kasus narkoba di Indonesia. Jika figur publiknya saja demikian, apalagi masyarakat biasa. Figur publik seharusnya menjadi contoh dan panutan bagi masyarakat tentang bagaimana hidup yang baik dan benar.
Jerat-jerat Narkoba
Berkaitan dengan narkoba, ada sebuah kisah tentang filsuf Yunani bernama Epicurus (341-270 SM) yang menggunakan tetrapharmakos – sejenis narkoba yang terbuat dari lilin, lemak babi, getah pinus, dan beberapa jenis getah pohon lainnya – untuk menjelaskan hal-hal yang akan membuat hidup bahagia. Menurutnya ada 4 hal yang membuat hidup bahagia: tidak usah takut pada Tuhan, tidak usah takut pada kematian, hal-hal yang baik akan mudah didapatkan, dan hal-hal yang buruk akan mudah bertahan.
Menurut Epicurus, jika hidup dengan prinsip-prinsip tetrapharmakos tersebut, maka seseorang akan sampai pada keadaan yang disebutnya ataraxia, yakni keadaan bebas dari kekhawatiran dan kesulitan – yang mungkin rasanya sama seperti saat orang menggunakan narkoba. Benarkah demikian? Atau jangan-jangan Epicurus sedang mabuk tetrapharmakos saat menulis pandangan tersebut? Faktanya memang dunia filsafat sangat dekat dengan narkoba. Dalam segala kebesaran dan nyeleneh pemikirannya, Friedrich Nietzsche diduga mengkonsumsi opium saat menulis “The Genealogy of Morallity”. Bahkan sebuah survei pada tahun 2013 menyebutkan bahwa 90 % mahasiswa filsafat di Inggris menggunakan narkoba. Wow!
Sebetulnya, kehidupan yang ‘bahagia’ dalam pemikiran Epicurus tersebut adalah sesuatu yang semu – neraka yang disamarkan. Saat ini pun pemikiran Epicurus itu sudah tidak banyak digunakan. Satu yang bisa dipelajari adalah bahwa sebagai bagian dari realitas, manusia tidak akan pernah bisa mencapai ataraxia dengan tetrapharmakos atau narkoba tersebut.
Apa yang dialami oleh Ridho Rhoma dan sebagian besar pecandu narkoba adalah adanya dorongan bahwa dengan menggunakan barang haram tersebut, seseorang bisa mencapai ataraxia. Teori paling kuno untuk menjelaskan dorongan tersebut adalah demonology, yakni pandangan yang mengatakan bahwa segala hal buruk yang dilakukan oleh manusia adalah karena dorongan setan. Apakah teori ini masih bisa digunakan? Dari sisi agama, tentu saja teori ini masih relevan. Mungkin Ridho Rhoma sedang mengalami godaan dari ‘si jahat’?
Selain demonology, faktor-faktor lain yang dianggap berpengaruh dan mendorong seseorang menggunakan narkoba adalah faktor sosial (pergaulan), ekonomi (stress karena beban ekonomi) dan politik (penegakkan hukum yang buruk dan kebijakan politik yang tidak melindungi masyarakat dari narkoba). Faktor sosial mungkin dialami oleh Ridho Rhoma karena pergaulannya di dunia hiburan. Dari sisi ekonomi, mungkin saja Ridho sedang banyak tekanan pekerjaan, sehingga melarikan diri ke narkoba. Dan dari sisi politik, agaknya kebijakan pemberantasan narkoba di Indonesia belum benar-benar efektif memberantas peredaran narkoba.
Narkoba memang bisa menghancurkan sebuah negara. Kita tentu ingat kisah Perang Candu atau Opium Wars (1839-1860) yang terjadi akibat tingginya angka kecanduan opium di Tiongkok yang diimpor dari Barat. Tingginya kecanduan di masyarakat Tiongkok saat itu menyebabkan munculnya berbagai persoalan sosial dan ekonomi di dalam masyarakat. Pemerintahan Dinasti Qing saat itu menyadari hal tersebut dan berusaha untuk memutus rantai perdagangan opium. Aksi pemerintah Tiongkok yang menghancurkan 1.400 ton opium milik para pedagang Inggris akhirnya melahirkan perang. Pada akhirnya, negara sebesar Tiongkok kalah dari Inggris dalam perang itu, sekaligus menandai semakin lemahnya kekuasaan Dinasti Qing di Tiongkok.
Saat ini pun, Indonesia sedang mengalami persoalan yang serius dalam hal pemberantasan narkoba. Tercatat jumlah pengguna narkoba di Indonesia telah mencapai angka 5,9 juta jiwa dari total 250-an juta populasi, atau 2,36 % dari total keseluruhan populasi. Jika tidak ditangani dengan baik, maka akan semakin banyak kasus Ridho Rhoma yang lain. Jangan sampai – seperti Tiongkok – negara ini pun menjadi mudah dihancurkan karena narkoba. Memberantas narkoba bukan hanya berarti menyelematkan generasi bangsa, tetapi juga menyelamatkan negara ini secara keseluruhan.
Persoalan Narkoba: Terlalu!
Lalu, kebijakan apa yang paling cocok untuk memberantas narkoba di negara ini? Apakah kita harus menggunakan cara-cara keras seperti yang dilakukan oleh Presiden Filipina, Rodrigo Duterte dengan menembak mati pengedar dan pengguna narkoba? Perlu diingat rasio pengguna narkoba di Indonesia lebih tinggi dibandingkan Filipina – di Indonesia rasionya 2,36 % terhadap populasi, sementara Filipina ‘hanya’ 1,8 % terhadap populasi. Oleh karena itu, sudah selayaknya ada kebijakan yang lebih mangkus dan sangkil – effektif dan effisien.
Meski Ridho Irama terkena narkoba, tapi Rhoma Irama tetaplah raja dangdut yang tak ada tandingannya..
Selamat pagii..
— elza peldi taher (@elzataher) March 27, 2017
Untuk memberantas narkoba, perlu ada kebijakan yang lebih komprehensif – tidak hanya sebatas memberantas produksi dan pengedarnya saja – tetapi juga perlu ada kebijakan untuk melahirkan ketahanan masyarakat terhadap narkoba. Kebijakan memasukan pelajaran tentang bahaya narkoba ke dalam kurikulum pendidikan nasional adalah sesuatu yang harus digalakkan – walaupun sudah sangat telat untuk dilaksanakan. Dengan adanya basis pemahaman tentang bahaya narkoba, niscaya ada ketahanan dalam masyarakat untuk menangkal narkoba.
Jika masyarakat kita sudah kebal terhadap narkoba, maka dengan sendirinya pasar narkoba akan mati. Prinsip ekonomi berlaku: selama masih ada permintaan, penawaran akan jalan terus. Persoalan narkoba memang sungguh ‘terlalu’ – meminjam kata-kata yang sering diucapkan oleh Rhoma Irama. Jika tidak ditangani dengan serius, Ridho Rhoma tidak akan menjadi yang terakhir. (S13)