Indonesia dianggap sebagai surga bagi peredaran narkoba internasional. Adanya permintaan yang tinggi, harga yang kompetitif dan hukum yang bisa dibeli menjadi alasan mengapa gembong narkoba melakukan ekspansinya ke negara ini.
Pinterpolitik.com
Presiden Jokowi menunjuk Heru Winarko untuk menggantikan Budi Waseso (Buwas) sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Sebelumnya, Heru menjabat sebagai Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan korupsi (KPK).
BNN memiliki banyak pekerjaan rumah terkait peredaran narkoba di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2016, jumlah narkoba yang masuk ke Indonesia berkisar 250 ton per tahun. Buwas juga menyatakan bahwa 70 persen narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) merupakan terpidana kasus narkoba.
Peredaran narkoba yang begitu pesat mengakibatkan peningkatan jumlah pengguna barang haram tersebut. Indonesia tercatat memiliki sekitar 6 juta pengguna narkoba dengan 27 persen di antaranya merupakan mahasiswa dan pelajar.
Ini tentu menjadi permasalahan serius karena narkoba berpotensi merusak generasi muda Indonesia secara sistemik. Apalagi dengan adanya dugaan keterlibatan aparat penegak hukum yang membuat pemberantasan narkoba terasa semakin sulit dilakukan.
Bahkan peredaran narkoba juga tumbuh subur di dalam penjara, dengan sekitar 50-70 persen narapidananya menjadi pecandu narkoba.
Fakta yang terjadi di Indonesia terlihat berbanding terbalik dengan usaha Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang melakukan perang besar terhadap narkoba. Hampir 6.011 pengguna dan pengedar narkoba meninggal di Filipina antara 1 Juli 2016 hingga 24 Maret 2017 akibat aksi extra judicial killing (eksekusi di luar putusan pengadilan).
Aksi yang dilakukan Duterte mendapat banyak kecaman dari dunia internasional karena dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). Namun, Duterte mendapat dukungan besar dari masyarakat Filipina dalam memberantas narkoba.
Melihat parahnya masalah narkoba dalam negeri, apakah Indonesia perlu mengikuti jejak Filipina dalam memberantas narkoba? Akankah Heru Winarko membawa BNN lebih keras memerangi narkoba?
Belajar dari Duterte
Tindakan yang dilakukan oleh Duterte dalam pemberantasan narkoba di Filipina merupakan gebrakan besar. Hal tersebut melahirkan pro dan kontra di dalam maupun di luar negeri.
Pihak yang mendukung menganggap tindakan Duterte dilakukan karena kejahatan narkoba di Filipina semakin tidak terkendali. Maka dari itu perlu adanya tindakan strategis dalam memberantas narkoba “whatever it takes”.
Instruksi untuk membunuh pengguna dan bandar narkoba yang dikeluarkan oleh Duterte mendatangkan 6000 lebih korban jiwa. Sejak saat itu, setidaknya 700 ribu pengguna narkoba telah menyerahkan diri kepada pihak berwenang.
Duterte juga memberikan kesempatan kepada pecandu dalam memperbaiki kehidupannya. Ia menyediakan pusat rehabilitasi dan pelatihan keterampilan bagi pengguna narkoba. Tindakan Duterte didukung oleh masyarakat Filipina. Hasil polling menunjukkan 92 persen rakyat Filipina setuju pada tindakan tegas yang dilakukan Duterte terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika.
Sementara itu, pihak yang kontra menyatakan bahwa tindakan Duterte merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Apa yang dilakukan Duterte ini terkesan menunjukkan bahwa bukan hanya bandar, tetapi pencandu pun merupakan penjahat yang layak untuk dibunuh.
Uni Eropa menyatakan kebijakan “drug wars” di Filipina membuat persoalan HAM menjadi sangat buruk. Amerika Serikat dan Uni Eropa mengecam tindakan tersebut sebagai bentuk pemerintahan otoriter.
Hal yang dilakukan Duterte bukanlah tanpa alasan. Ia melihat bahwa narkoba membawa dampak buruk terhadap perkembangan Filipina, apalagi dampaknya yang merusak generasi muda. Pecandu narkoba di Filipina berjumlah 1,8 juta orang pada 2015 dari total jumlah penduduk negara itu yang mencapai 100 juta jiwa. Sementara itu, ada 4,8 juta orang berumur 10-69 tahun yang menggunakan narkoba setidaknya sekali seumur hidupnya.
Jika dibandingkan, 6 juta pecandu di Indonesia jelas lebih banyak daripada Filipina. Apalagi data tersebut belum termasuk pengguna narkoba yang masih mencoba-coba. Jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk, maka rasio pengguna narkoba di Indonesia ada di angka 2,4 persen, sementara Filipina di angka 1,8 persen pengguna.
Artinya fenomena narkoba di Indonesia lebih parah dibandingkan dengan Filipina. Jika demikian, mengapa Indonesia tidak menerapkan kebijakan yang sama dengan Filipina?
Indonesia Surga Narkoba
Tindakan yang dilakukan oleh Duterte sesuai dengan pemikiran Michel Foucault tentang “spectacle of the scaffold” yang ditulis oleh Danilo Andres pada Journal of Current Southeast Asian Affairs. Konsep tersebut menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh penguasa kepada penjahat, seperti menyiksa dan membunuh di depan umum merupakan simbolisasi politik dalam menjaga kedaulatan kekuasaannya.
Hal tersebut sama dengan apa yang terjadi di Eropa pada awal modernisasi, dimana aksi mempermalukan, menyiksa dan membunuh kriminal untuk mengaku bersalah di depan umum lumrah dilakukan. Hal ini merupakan cara terbaik penguasa dalam meraih kekuatan politik dari masyarakat.
Cara tersebut merupakan pesan tersirat kepada masyarakat bahwa apabila mereka melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh penjahat, maka akan dihukum dengan cara yang sama oleh penguasa.
Dalam hal perang terhadap narkoba, jelas Duterte berhasil menggunakan konsep tersebut. Persoalannya adalah apakah hal serupa bisa pula dilakukan di Indonesia?
Pertanyaan terkait apakah heru akan berani mengikuti langkah Duterte mungkin akan jadi pertanyaan tantangan bagi Heru Winarko.
Maraknya peredaran narkoba menjelaskan bahwa Indonesia merupakan pasar yang menjanjikan. Permintaan tinggi dari dalam negeri membuat bandar narkoba melakukan seribu satu cara untuk mengedarkan barang haram tersebut, termasuk dengan menyogok “aparat penegak hukum”.
Freddy Budiman merupakan salah satu contoh gembong narkoba yang memiliki kedekatan dengan sejumlah aparat penegak hukum. Freddy ditangkap atas tuduhan impor satu juta butir ekstasi ke Indonesia pada 2012. Ia juga sempat mengatakan bahwa selama berkiprah sebagai gembong narkoba, dirinya pernah mendapat bantuan dari seorang jenderal TNI bintang dua dalam mendistribusikan narkoba dari Medan ke Jakarta.
Freddy juga mengaku memberikan uang kepada personel BNN sebanyak Rp 450 miliar dan Rp 90 miliar ke sejumlah pejabat tertentu di Polri. Hal ini menjadi ironi ketika pemberantasan narkoba justru menjadi tumpul di ranah penegak hukum.
Bahkan, pada kesempatan wawancara di sebuah acara televisi, ada bandar narkoba yang mengaku kepentingan terkait narkoba bahkan telah masuk juga ke “istana”. Apakah itu berarti pemerintah juga terlibat? Perlu penelusuran yang lebih mendalam untuk membahas hal ini.
Yang jelas, Indonesia dan Filipina memiliki kesamaan dalam pemberantasan narkoba, terutama terkait penegak hukum yang ikut mengambil keuntungan dari masalah ini. Kondisi tersebut berubah ketika Duterte menjabat. Pecandu dan pengedar narkoba diberantas dengan berbagai cara.
Hasilnya? Jumlah pecandu dan pengedar narkoba di Filipina memang menurun, namun menghadirkan permasalahan baru, seperti korban salah tembak, menimbulkan keresahan masyarakat, hingga dugaan bahwa Duterte menggunakan narkoba untuk menghabisi lawan-lawan politiknya.
Terpilihnya Heru sebagai Kepala BNN juga menimbulkan berbagai praduga. Apalagi Heru pernah menjadi bawahan langsung Buwas di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), sehingga menimbulkan dugaan adanya kedekatan di antara keduanya.
Hubungan Heru dan Buwas tentu menimbulkan pertanyaan, apakah mungkin pemberantasan narkoba dapat digalakkan? Jika Heru adalah “orang lama”, maka sangat mungkin kebijakannya tidak jauh berbeda dari Buwas – yang nyatanya lebih sering “koboi-koboian” dan menarik pemberitaan ketimbang menyelesaikan masalah sampai ke akarnya.
Selain itu, banyak pertanyaan yang berseliweran di sana sini terkait ke mana uang dan barang sitaan hasil operasi penangkapan yang dilakukan oleh BNN. Selentingan yang bermunculan juga menyebutkan bahwa ada dugaan uang dan barang sitaan justru disalahgunakan oleh aparat.
Apa benar demikian? Buwas sendiri pernah menyatakan bahwa uang dan barang sitaan dari kasus narkoba digunakan untuk membiayai operasional BNN dan narkoba yang disita kemudian dibakar. Namun, apakah barang haram tersebut dimusnahkan seluruhnya? Tidak ada yang tahu pasti.
Yang jelas, fenomena BNN dan narkoba menjadi hal menarik ketika dinamika di dalamnya menimbulkan konflik kepentingan. Pada akhirnya, apakah Heru benar-benar mewakili orang lama atau membawa semangat baru akan dinilai dari bagaimana kinerjanya. Menarik untuk ditunggu. (L15)