Mencuatnya tagar #BubarkanMUI di media sosial merupakan buntut dari protes warganet tentang indikasi terorisme dalam tubuh lembaga umat Islam ini. Polemik narasi pembubaran MUI diwarnai dengan berbagai nalar-nalar yang beragam. Muncul pertanyaan sensitif di antara nalar-nalar tersebut, mungkinkah narasi ini disebabkan karena islamofobia?
Narasi pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) bergema di media sosial dengan tagar #BubarkanMUI. Masifnya tagar bubarkan MUI ini buntut dari adanya salah satu pengurus MUI yang ditangkap Densus 88 karena diduga terlibat terorisme, yaitu Zain An-Najah yang kini telah dinonaktifkan dari anggota Komisi Fatwa MUI.
Banyak yang menilai ini sebagai fenomena delegitimasi MUI sebagai institusi umat Islam yang telah lama berdiri dan mempunyai pengaruh yang kokoh bagi bangsa Indonesia. Akibatnya, banyak tokoh-tokoh yang bereaksi untuk menetralisir narasi pembubaran MUI.
Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) mengatakan sepenuhnya memang karena ada permasalahan. Jangan sampai diartikan dengan penyerangan aparat terhadap MUI. Teroris bisa ditangkap di mana pun, di hutan, mall, rumah, gereja, dan masjid. Kalau aparat diam dan terjadi sesuatu bisa dituding kecolongan akan ada proses hukum dan pembuktian secara terbuka.
Baca Juga: MUI Kritik SKB, Manuver Tersirat Ma’ruf Amin?
Mahfud meminta tak ada pihak yang memprovokasi soal isu pembubaran MUI. Menurutnya, itu semua provokasi yang bersumber dari khayalan, bukan dari pemahaman atas peristiwa.
Tidak hanya itu, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan bereaksi dengan mengatakan, tuntutan pembubaran MUI berlebihan. MUI penting sekali untuk bangsa dan negara, kontribusinya banyak untuk menjaga umat dan nilai-nilai luhur agama bagi kehidupan kita bermasyarakat.
Teten Masduki, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, juga ikut berkomentar, bahwa jika terdapat oknum yang terlibat tentu saja tidak bisa dikatakan bahwa MUI harus dibubarkan. Sebenarnya itu tidak ada kaitan langsung dengan MUI, itu pribadi, terangnya.
Dari komentar-komentar di atas, menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara oknum terduga terorisme yang merupakan pengurus MUI, dengan MUI sebagai sebuah lembaga. Seperti apa konstruksi nalar terkait hal ini?
Meraba Penalaran
Nalar yang membawa narasi pembubaran MUI, pada dasarnya bertolak pada semacam labelling terorisme terhadap MUI. George Herbert Mead dalam bukunya Mind, Self, and Society, menggambarkan tentang teori interaksi simbolik yang mengilhami lahirnya labelling theory atau teori penjulukan yang dapat disebut juga sebagai reaksi sosial. Mead menyebut proses labbeling ini lahir dari dunia orang-orang yang menyimpang (devians).
Teori interaksi simbolik, menggambarkan perilaku manusia yang belajar memainkan peran dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran dalam sebuah masyarakat. Munculnya penjulukan atau lebelling disebabkan oleh sebuah peristiwa sosial yang mengandaikan terjadinya suatu penyimpangan.
Penyimpangan dalam konteks ini tentunya terorisme. Masyarakat menilai MUI sebagai lembaga yang luhur karena punya peran mengagregasikan kepentingan umat Islam. Tapi, muncul oknum yang terduga teroris.
Namun, seperti yang dikemukakan berbagai pihak, labelling terhadap MUI sepenuhnya tidak dapat diterima. Jika menelisik menggunakan ilmu logika, kekeliruan simpulan tersebut berakar pada kesalahan penalaran yang disebut dengan “kuantifikasi tersembunyi”.
Yohanes Pande Hayon dalam bukunya Logika: Prinsip-prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur, menyebutkan kuantifikasi tersembunyi adalah bentuk proposisi atau simpulan yang tidak tegas menunjuk jumlah atau kuantitas objeknya. Kuantifikasi tersembunyi dibagi ke dalam dua jenis, yakni “komposisi” dan “divisi”.
Komposisi digambarkan ketika seseorang menilai anggapan yang berlaku pada individu atau sebagian kelompok (parsial), pasti berlaku pada seluruh kelompok secara menyeluruh (kolektif). Sementara divisi terjadi ketika seseorang menilai anggapan pada suatu kelompok pasti terjadi pada semua individu dalam kelompok tersebut.
Baca Juga: Intoleransi Mana Yang Dimaksud Jokowi?
Pada kasus narasi pembubaran MUI, jenis komposisi yang terjadi, yakni kasus salah satu pengurus MUI yang ditangkap Densus 88, kemudian disimpulkan untuk menyebutkan MUI adalah lembaga terindikasi terorisme.
Amirsyah, Sekretaris jenderal (Sekjen) MUI, juga mengatakan narasi pembubaran MUI sangat naif dan tidak masuk akal. Logikanya, jika ada warga negara terduga teroris, Indonesia tak akan bubar. Jika ada oknum menteri yang terduga korupsi, maka Indonesia tetap utuh, demikian juga jika ada oknum TNI/Polri yang melanggar peraturan-perundangan-undangan, maka TNI/Polri tetap utuh untuk mengawal NKRI.
Komentar Amirsyah dapat menjadi contoh logika penalaran kuantifikasi tersembunyi jenis komposisi yang telah dijelaskan di atas.
Setelah membedah penalaran keliru tersebut, mungkinkah ada intrik politik di balik mencuatnya tagar pembubaran MUI?
Memotret Framing Islamofobia
Din Syamsuddin, Cendekiawan Muslim mantan Ketua Dewan Pertimbangan MUI, mengatakan terdapat pihak tertentu yang mengkampanyekan pembubaran MUI. Menurutnya, desakan dari pihak tertentu untuk membubarkan MUI tidak perlu ditanggapi serius.
Setidaknya, terdapat dua alasan untuk itu. Pertama, terdapat kelompok anti-Islam atau islamofobia yang merasa mendapat dukungan oleh rezim berkuasa yang diam saja dan terkesan membiarkannya.
Kedua, desakan itu palsu, yakni hanya merupakan manuver untuk mengalihkan perhatian (pengalihan isu) dari masalah besar yang sedang dihadapi bangsa, atau pelanggaran etika kekuasaan yang sedang disegerakan penyelesaiannya.
Dua alasan yang disampaikan Din, sejatinya mengandaikan prinsip kausalitas (sebab-akibat). Sederhananya, narasi pembubaran MUI disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu, karena islamofobia atau karena pengalihan isu. Rasanya, di antara kedua hal tersebut, yang menarik untuk ditelisik lebih lanjut adalah alasan pertama, yaitu tentang islamofobia.
Jika melihat sejarah istilah islamofobia, maka kita akan mulai dari peristiwa-peristiwa yang berawal dari pandangan Barat, terutama Amerika dan Eropa, tentang pemahaman mereka akan gagasan agama dan masyarakat Islam.
Karen Armstrong dalam bukunya Islamofobia, menjelaskan bahwa islamofobia masih menjadi momok menakutkan untuk sebagian kalangan, termasuk kalangan Barat. Salah satu penyebabnya adalah kemunculan representasi Islam yang keras melalui fenomena terorisme, ISIS, dan wahabisme yang dianggap sebagian orang sebagai paham radikalisme. Sumber pengetahuan yang representatif terkait hal tersebut, tentu saja media massa.
Walter Lippman dalam bukunya Public Opinion, menjelaskan media masa juga memiliki sejumlah fungsi, salah satunya cultural transmission. Terkait dengan fungsi ini, dalil populernya ialah “world outside and pictures in our heads”, mengartikan bahwa media berfungsi sebagai pembentuk makna.
Kemudian, melalui interpretasinya mengenai berbagai peristiwa secara mengakar dapat mengubah interpretasi orang tentang suatu realitas dan pola tindakan mereka. Sederhananya, pandangan terhadap realita ditampilkan oleh media dengan sebuah cara tertentu.
Dalam pandangan media Barat, stereotip yang terbangun terhadap Muslim adalah kesan radikal yang kerap melakukan kekerasan dan anti perdamaian. Muslim kerap dianggap sebagai penganut Islam konservatif. Muslim juga dipandang sebagai golongan yang lemah sementara Barat dipersepsikan superior.
Baca Juga: Rizieq dan FPI Bangkitkan Islamofobia?
Edward W. Said dalam bukunya berjudul Orientalisme, menerangkan media Barat dalam hal ini Eropa dan Amerika, kerap merepresentasikan Islam dengan acuannya sendiri. Umumnya, yang terjadi adalah hegemoni. Adapun sisi yang biasa dilihat oleh media Barat yaitu, pertama, Islam dan kekerasan; kedua, Islam dan perdamaian; ketiga, Islam dan sifat lemah.
Dengan gambaran yang timpang tentang Islam, bermuncul pemahaman yang sempit dan membentuk semacam ketakutan yang kita sebut dengan istilah islamofobia. Sekalipun dalam masyarakat Islam, seperti di Indonesia, islamofobia dapat hadir di tengah masyarakat yang terikat oleh makna yang dibuat oleh media, tak terkecuali media sosial maupun media massa.
Jika mengikuti perdebatan di media sosial, paradigma orientalisme yang memandang Barat lebih superior dari Timur, termasuk Islam, tidak jarang ditemukan. Dalam perdebatan politik publik sekalipun, berbagai politisi juga tidak jarang membawa narasi betapa berbahayanya intoleransi dan Islam konservatif yang kerap dipersepsikan sebagai “ancaman”.
Dengan demikian, pandangan Din Syamsuddin soal narasi pembubaran MUI berkaitan dengan islamofobia, atau tepatnya orientalisme, sekiranya dapat diafirmasi, atau setidaknya layak diperdebatkan lebih lanjut.
Sebagai penutup, MUI sebagai organisasi keagamaan di Indonesia, yang lahir dan asli terbentuk melalui kearifan lokal nusantara, harus menjadi katalisator untuk berusaha merekatkan persatuan dalam kebinekaan. Alih-alih merespons keras narasi pembubaran, MUI sekiranya lebih tepat memanfaatkan momen ini untuk berbenah dan menjaga raison d’etre-nya. (I76)