Polemik tentang negara Islam sebagai alternatif bentuk pemerintahaan ideal, selalu punya cerita dari setiap fase sejarah politik di Indonesia. Kisah tentang Kartosuwiryo yang berbeda pandangan dengan Sukarno menjadi cerita menarik simbol benturan konsep negara dalam politik di indonesia. Lantas, apakah narasi negara Islam masih belum usang?
Meskipun saat ini Pancasila telah disepakati secara bersama sebagai ideologi negara, cita-cita pendirian negara Islam tidak pernah sepenuhnya mati dari narasi politik di Indonesia, setidaknya hingga saat ini.
Impian akan negara Islam jika dilihat dalam perkembangannya pun selalu sulit diterima oleh masyarakat Muslim itu sendiri. Meski menjadi mayoritas, umat Islam tidak pernah mendukung secara dominan ambisi setiap kelompok yang ingin mendirikan negara Islam.
Jika dirunut dari sejarah, gerakan negara Islam tidak diberi tempat oleh kolonialisme Belanda, gagal bersaing dengan kelompok nasionalis dan Islam tradisional yang mendapat dukungan mayoritas pemilih di masa Orde Lama, hingga diberangus oleh rezim Orde Baru.
Ahmet T. Kuru dalam bukunya Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment, mengatakan doktrin tentang negara Islam sebenarnya berangkat dari kekeliruan tentang pemahaman hadis yang menyebut bahwa agama dan negara adalah saudara kembar, keduanya saling membutuhkan agar dapat berkembang, agama merupakan dasar sedangkan negara adalah penjaganya.
Kuru memberikan penjelasan bahwa tafsir tentang perkataan yang disinggung di atas bukanlah frasa hadis melainkan pepatah Sasaniyah, pepatah kuno yang telah berkembang lama di negeri Persia. Menurutnya, inilah awal kekeliruan besar tentang pembuatan negara Islam.
Impian pembentukan negara Islam, meski keliru sejak dari awal kemunculannya, tapi selalu ada dan berusaha untuk mewujudkannya. Ada yang berubah menjadi ormas, dan tak menolak kenyataan politik mutakhir, namun tetap dengan agenda yang sama. Lainnya, menjadi partai politik dan “menyesuaikan” dengan keberadaan Pancasila.
Tentu pertanyaannya, mengapa impian negara Islam tidak pernah terwujud, dan bahkan ditolak oleh kelompok atau masyarakat Islam lainnya yang mayoritas. Lantas, seperti apa akar sejarah gerakan ini, saat partai Islam terbesar di masa Orde Lama, yaitu Masyumi juga pernah diisukan lekat dengan pendirian negara Islam, dikarenakan adanya tokoh Kartosuwiryo di dalamnya?
Baca juga: Wiranto, Prahara Negara Islam Indonesia
Kartosuwiryo dan Masyumi
Kartosuwiryo merupakan tokoh Islam Indonesia yang menginspirasi aksi kekerasan dan terorisme berlatar belakang agama. Dalam sejarahnya, dia dicatat sebagai tokoh di balik gerakan Darul Islam (DI) yang merupakan gerakan politik yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan ini mempunyai pasukan yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII), sehingga biasa disebut dengan DI/TII.
C. Van Dijk dalam bukunya Rebellion Under The Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia, mengatakan Kartosuwiryo mengenyam pendidikan kedokteran di Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS), tapi tidak selesai karena alasan ingin mengikuti aktivitas politik. Ia kemudian pergi ke rumah Tjokroaminoto di Surabaya, saat itu menjadi kota pusat pergerakan kaum nasionalis.
Menurut Van Dijk, meskipun Kartosuwiryo tiba di Surabaya dua tahun setelah kepergian Sukarno ke Bandung, pengalaman politik yang diperoleh Kartosuwiryo di sana banyak kemiripan dengan Sukarno. Jika Sukarno pernah tinggal di rumah itu pada periode 1916-1921. Kartosuwiryo tiba di Surabaya dua tahun setelahnya, 1923.
Kartosuwiryo dan Soekarno satu perguruan dari pemimpin Sarekat Islam (SI), Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Keduanya tinggal di rumah yang sama dan memperoleh pengalaman perdana ilmu berpolitik dari guru yang sama pula.
Bedanya, Sukarno sempat dekat dengan Tjokroaminoto, tapi kemudian hubungannya makin terasing setelah bapak proklamator itu pindah. Saat di Bandung, Sukarno bersama Tjipto Mangunkusumo dan sejumlah aktivis mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Sementara itu, Kartosuwiryo dekat dengan Tjokroaminoto dan patuh terhadap kebijakannya. Sampai-sampai Kartosuwiryo sempat menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. Seperti yang banyak diketahui, Tjokroaminoto dikenal sebagai sosok karismatik dengan pemikiran yang sangat fleksibel. Ia mampu menyerap kombinasi ide-ide Islam, nasionalis, dan sosialis.
Rumahnya menjadi tempat para aktivis pergerakan anti-Belanda berkumpul, termasuk Alimin dan Muso, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) di kemudian hari. Sikap radikal Kartosuwiryo makin mengkristal setelah Tjokroaminoto meninggal (1934). Melalui Sarekat Islam yang telah berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Kartosuwiryo mempropagandakan konsep jihad terhadap Belanda.
Pada 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Cilugagar, Tasikmalaya. Melalui DI/TII Kartosuwiryo menggencarkan pemberontakan dengan tujuan mendirikan negara Islam di sejumlah daerah seperti di Jawa Barat.
Pemberontakan ini juga didukung oleh Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan pada 20 Januari 1952, Abu Daud Beureuh di Aceh pada 21 September 1953, Ibnu Hajar dari Kalimantan Barat, dan Amir Fatah dari Jawa Tengah. Pemberontakan ini sempat menguras banyak tenaga ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), cikal bakal TNI saat ini.
Namun gerakan DI/TII dan lainnya berangsur melemah karena berkurangnya pasokan logistik, pendanaan, dan minim dukungan. DI/TII selesai setelah Kartosuwiryo ditangkap pada 1962, dan itu adalah akhir dari gerakan DI/TII yang digagasnya dalam pentas politik di Indonesia.
Dari catatan Rendy Adiwilaga dalam Jurnal Wacana Politik Vol. 2 terbitan tahun 2017, disebutkan bahwa Mohammad Natsir yang mempunyai ideologi yang sama dengan Kartosuwiryo membentuk Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Bahkan mereka sempat aktif di Masyumi, partai Islam terbesar saat itu.
Masyumi adalah fusi partai Islam pertama, jauh sebelum adanya PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Masyumi adalah organisasi induk berbagai organisasi Islam, mulai dari organisasi tertua seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, NU, Persis, dan sebagainya.
Tapi di kemudian hari muncul isu tentang keterlibatan Masyumi terhadap pemberontakan DI/TII. Tentunya isu ini tidak lepas dari kedekatan antara Natsir dengan Kartosuwiryo yang keduanya bersama mendirikan DDII.
Henri Isnaeni dalam tulisannya Sikap Masyumi Terhadap DI/TII, menggambarkan gerakan partai Islam seperti Masyumi akhirnya mengambil jarak dengan gerakan pendirian negara Islam. Masyumi mengecam segala gerakan separatis, dan menyatakan tidak terikat dengan DI/TII.
Perdebatan antara Masyumi dengan DI/TII mempunyai sejarah panjang yang masih banyak belum disingkap. Salah satu contohnya adalah resolusi politik yang dikeluarkan oleh Masyumi atas penolakannya terhadap gerakan DI/TII
Beda cara, Natsir tidak menggunakan aksi kekerasan tapi lebih menggunakan metode tarbiyah (pendidikan) untuk mendapatkan dukungan dalam mendirikan konsep negara Islam yang diyakininya sebagai kekuatan politik esensial umat Islam.
DDII yang digagas Natsir, kemudian hari mendapatkan simpati dari mahasiswa dan menjadi lembaga alternatif dalam membentuk masyarakat yang Islami. Lembaga ini kemudian menginisiasi lahirnya KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan membangun Partai Keadilan di era Reformasi, partai yang menjadi cikal bakal PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
Well, sejarah perjalanan dari perjuangan Kartosuwiryo dalam mendirikan negara Islam dengan cara kekerasan rupanya ditolak secara alami oleh banyak pihak. Bahkan di sisi lain, Natsir yang punya cita-cita yang kurang lebih sama, juga memilih metode lain untuk menghadirkan nilai-nilai Islam secara kompromistis dalam bingkai kebangsaan.
Lantas, seperti apa melihat dua hal ini, di satu sisi nilai keindonesiaan sebagai bingkai kebangsaan, dan sisi lain Islam sebagai nilai keagamaan? Apakah kedua identitas tersebut sulit untuk menyatu?
Baca juga: Mungkinkah Negara Islam di Bawah Prabowo?
Islam-Nasionalis, Satu Identitas
Yusuf R. Yanuri dalam tulisannya Meneguhkan Visi Baru Islam di Indonesia, mengatakan, jika Indonesia memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, maka Islam memiliki surah Al-Hujurat ayat 13. Ayat tersebut dengan begitu tegas membenarkan prinsip kebhinekaan bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda suku, ras, bangsa, hingga keyakinan agar manusia saling mengenal dan memahami.
Kita hendaknya belajar dari sebagian negara mayoritas Muslim yang gagal menjadi sebuah negara. Secara umum, salah satu faktor terpenting yang membuat sebuah negara menjadi negara gagal adalah tidak adanya persatuan di tengah-tengah masyarakat. Harga yang harus dibayar dari sebuah konflik begitu mahal hingga menyebabkan sebuah negara menjadi negara gagal.
Oleh karenanya, jika Indonesia tidak mau masuk ke jurang kegagalan, masyarakat Indonesia harus kembali meneguhkan komitmen persatuan. Di saat yang sama, umat Islam di Indonesia sebagai mayoritas juga harus meneguhkan komitmen persatuan.
Bahkan sejak kemunculannya, Islam dan nasionalisme merupakan satu induk yang menyatu dalam satu helaan nafas perjuangan. Tidak ada pendikotomian antara keduanya, dikarenakan merasa bahwa terdapat nilai yang lebih tinggi dibandingkan identitas belaka.
Anton Timur Djaelani dalam bukunya Sarekat Islam dan Gerakan Nasionalisme di Indonesia, menjelaskan bahwa gerakan Sarekat Islam sejak awal didirikan mengemban misi pembebasan masyarakat pribumi dari penjajahan. Hal ini menerangkan nasionalisme yang berada dalam doktrin perjuangan Sarekat Islam itu sendiri.
Konsep Nasionalisme yang tertanam di Indonesia sebenarnya bukan konsep yang tunggal, tapi memiliki dimensi lain yaitu dimensi multiple identity. Hanya saja narasi politik seolah mendikotomikan konsep seperti itu. Artinya, jika memilih Islam, maka secara sekaligus memilih menjadi seorang nasionalis, begitu pula sebaliknya.
Filsuf Amartya Sen menyebut konsep ini sebagai plurality identity atau identitas majemuk, di mana sebagai seseorang dalam sebuah masyarakat yang kompleks tidak hanya mempunyai satu identitas. Dalam dirinya terdapat kemajemukan identitas yang berlapis dan kesemuannya menyatu dalam dirinya.
Pada akhirnya, dalam pendekatan ini kita dapat melihat adanya identitas yang berlapis, dapat dijadikan perspektif baru ketika membenturkan antara identitas Islam di satu sisi dengan identitas nasionalis di sisi lainnya. Keduanya bisa saling bertautan satu dengan lainnya, termasuk dalam ideologi politik dan juga perjuangan akan ide tersebut. (I76)
Baca juga: Islam Tengah, Kartu AS PAN?