Kepala KSP Moeldoko tampak menajamkan klaim pemerintah, yang sebelumnya disebut oleh Presiden Jokowi dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa kasus dan penanganan Covid-19 di Indonesia lebih baik dibandingkan negara lainnya. Lalu, mengapa seolah klaim ini dinarasikan secara sistematis belakangan ini? Adakah tujuan politik tertentu di baliknya?
Di antara hingar bingar polemik Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) selama hampir satu bulan ini, sebuah pola tampak terbangun dari komunikasi dan pernyataan spesifik para elite eksekutif di sepanjang periode yang sama.
Yakni terkait ihwal mengenai serangkaian klaim pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 yang seolah sedikit terdistraksi akibat prahara regulasi sapu jagat tersebut.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memulainya di awal bulan lalu dengan menyatakan penanganan dan jumlah kasus Covid-19 di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan negara maju dan berpenduduk besar lain seperti Amerika Serikat (AS), India, Brasil, maupun Rusia.
Lantas tak berselang lama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto seolah tampil menyokong klaim kepala negara dengan sebuah pernyataan bahwa angka kesembuhan serta persentase kenaikan Covid-19 di Indonesia lebih baik dibanding kebanyakan negara lain, termasuk persentase angka rerata dunia.
Teranyar, Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mempertajam narasi dua elite sebelumnya, dengan memberikan penilaian yang sesungguhnya masih dapat diperdebatkan ketika menyebut penanganan Covid-19 di Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara adidaya, AS.
Padahal, dalam sebuah acara PandemicTalks di awal pekan ini yang diinisiasi oleh sejumlah ahli terkait seperti dokter, peneliti kesehatan, doktor di bidang bedah saraf, biomedical scientist, hingga data scientist sampai pada sebuah postulat bahwa situasi dan penanganan Covid-19 di Indonesia masih sangat buruk sampai saat ini.
Klaim yang menyatakan bahwa penanganan pandemi membaik atau lebih baik dikatakan hanya merupakan “ilusi” belaka. Salah satu yang menjadi penyebabnya disebut akibat data terkait kasus Covid-19 yang dihimpun dan dikemukakan bukan merupakan representasi yang sesungguhnya, plus bukan pula merupakan indikator pengendalian wabah.
Testimoni terbaru dari Moeldoko dan terhitung merupakan yang ketiga kalinya atas konteks yang sama dari elite Istana seakan menyiratkan sesuatu, dan membuat sebuah tanya tampaknya tak dapat dibendung, terkait mengapa belakangan ini terdapat semacam konstruksi narasi semacam itu? Adakah tujuan politik tertentu yang berbarengan dengan momentum atau dinamika tertentu saat ini?
Agar Pilkada Sukses?
Perspektif eksistensi relasi kuasa tampaknya dapat menjadi pintu masuk untuk memahami kecenderungan pembentukan narasi tertentu yang mana diejawantahkan oleh pernyataan teranyar Moeldoko.
Dengan menggunakan kacamata posmodernisme, dalam sebuah paparan bertajuk Society Must Be Defended, Michel Foucault datang dengan konsep yang disebut sebagai biopolitics, di mana mendefinisikan sebuah mekanisme yang bertindak sebagai alat kontrol negara pada populasi secara keseluruhan melalui objek-objek biologis.
Data maupun pengetahuan mengenai konteks biologis, seperti rasio kelahiran dan kematian, tingkat reproduksi, definisi tentang kesehatan, dan sebagainya, dikatakan Foucault dapat menjadi objek dalam mengimplementasikan mekanisme kontrol demi strategi atau tujuan politik tertentu.
Foucault menemukan sampel awal “kekuatan” biopolitics pada implementasi vaksin cacar yang dikembangkan pada akhir abad ke-18. Ini disebut sebagai salah satu upaya pertama untuk mengendalikan populasi dalam hal kalkulus probabilitas di bawah justifikasi kesehatan masyarakat.
Sementara sampel lainnya ialah saat Prancis merilis sejumlah riset mengenai wabah seperti kolera, tifus, malaria, hingga pes pada dekade 1890-an, dan memperkenalkannya ke Afrika Barat bersamaan dengan dikeluarkannya regulasi kesehatan masyarakat mengenai standar kesehatan terbaru.
Tujuannya adalah agar tercipta respons dengan cara yang persis sama seperti yang Prancis inginkan dan muaranya berkaitan dengan insentif pasar dan produksi teknologi baru yang akan diberlakukan oleh negara koloninya itu.
Dua sampel dengan dimensi berbeda tersebut membuktikan bahwa biopolitics dapat diterapkan dan menjadi sebuah strategi negara dalam mengkonstruksikan perspektif hingga kontrol dengan derajat tertentu atas masyarakatnya.
Pada konteks rilis dan klaim Moeldoko, Airlangga, dan Presiden Jokowi yang simultan atas penanganan dan kasus Covid-19 Indonesia yang lebih baik dibandingkan dengan negara lainnya, bisa jadi hal tersebut merupakan sebuah bentuk biopolitics untuk membangun kontrol, dalam hal ini kepercayaan atas agenda politik tertentu.
Dan ketika berbicara agenda politik, Pilkada 2020 mendatang menjadi yang paling masuk akal untuk mendapat intervensi sokongan narasi positif, mengingat terdapat urgensi kepentingan politik yang berbenturan dengan resistensi atas penyelenggaraan kontestasi tersebut di tengah pandemi yang dianggap masih belum terkendali.
Jika sebelumnya Komnas HAM, MUI, PBNU, Muhammadiyah dan sejumlah kelompok masyarakat lainnya telah menyarankan agar Pilkada ditunda, rekomendasi dan desakan penundaan terbaru datang dari Pusat Penelitian Politik (Puslitpol) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan dianggap cukup sahih dalam menangkis logika dan berbagai justifikasi pemerintah atas diteruskannya Pilkada.
Tentu selain urgensi belum terkendalinya Covid-19 secara jelas, secara politik LIPI menganggap kekhawatiran terjadinya kekosongan jabatan jika Pilkada 2020 diundur adalah sesuatu yang tidak mendasar.
Kepala Puslitpol LIPI, Firman Noor mengatakan bahwa dalam sejarah kehidupan pemilu di indonesia, pernah terjadi penundaan pelaksanaan pemilu termasuk Pemilu 1955. Demikian pula dengan pelaksanaan pilkada di masa reformasi beberapa kali dilakukan penundaan, termasuk pada mekanisme pelaksana tugas atau harian yang bisa diterapkan.
Firman menambahkan, memajukan atau memundurkan pilkada secara administrasi pemerintahan juga bukanlah sebuah pelanggaran konstitusional, tetapi telah diatur dan ditetapkan dalam sistem administrasi pemerintah di Indonesia.
Meski begitu, narasi yang kemungkinan berusaha dibangun Moeldoko dan elite lainnya tampak menopang sebuah konstruksi yang terlampau kuat dan sistematis atas pelaksanaan Pilkada.
Sejauh ini sendiri, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tampak sangat solid untuk menyukseskan agenda tersebut.
Tinggal tingkat partisipasi masyarakat yang memang mungkin menjadi perhatian karena jika persentasenya rendah, tentu akan mencoreng agenda Pilkada 2020 secara keseluruhan.
Karenanya menjadi penting tampaknya untuk sejak awal menjamin hal tersebut dengan pembentukan narasi bahwa kondisi pandemi seolah sudah lebih baik atau terkendali.
Lantas, akan seperti apa dampaknya jika pembentukan narasi yang Moeldoko lakukan tersebut benar-benar ditujukan untuk agenda politik semata?
Justru Perburuk Situasi?
Apa yang dipraktikkan dalam kemungkinan pembentukan narasi yang Moeldoko dan elite lainnya lakukan tampaknya juga merupakan implementasi dari sebuah teori komunikasi, yakni medium theory.
Marshall McCluhan dalam The Medium is the Message, mendefinisikan bahwa bukan hanya pesan yang memengaruhi kesadaran kita tetapi medium di mana pesan itu tersampaikan. Medium atau media sendiri tak dapat dipungkiri memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan perspektif publik.
Tujuannya, tentu agar narasi yang disampaikan dapat terserap secara positif oleh publik, dengan probabilitas muara strategi dan tujuan politik yang telah dikemukakan sebelumnya.
Di sini kita melihat, para elite eksekutif tampaknya telah mempraktikkan teori tersebut. Pasalnya, alih-alih membangun narasi bahwa penanganan pandemi Covid-19 belum sebaik negara yang berhasil, seperti Tiongkok, Vietnam, atau Taiwan, pemerintah justru membandingkannya dengan negara yang memiliki penanganan pandemi yang buruk. Makna yang tercipta tentu akan sangat berbeda apabila pemerintah membandingkannya dengan negara yang berhasil.
Jika benar teknik ini tengah dilakukan, maka konsekuensi ihwal tersebut ialah sebuah bias di masyarakat yang sesungguhnya telah jamak terjadi sepanjang pandemi, yakni bias optimisme.
Dalam The Optimism Bias, Tali Sharot menyebut bias optimisme sebagai bias kognitif yang membuat seseorang percaya bahwa dirinya akan lebih kecil kemungkinan untuk mengalami hal-hal negatif.
Ya, narasi bahwa penanganan dan kasus Covid-19 di Indonesia lebih baik dibandingkan negara lainnya dinilai membuka kemungkinan bagi masyarakat yang menerima informasi tersebut untuk secara tidak langsung menjadi abai, baik terhadap protokol kesehatan maupun upaya preventif lainnya.
Apalagi yang seolah memberikan predikat glorifikasi atas tingkat kesembuhan yang tinggi, justru berpotensi menambah bias optimisme sebagian masyarakat bahwa Covid-19 tidak seberbahaya itu atau memang bisa sembuh sendiri.
Kendati demikian, serangkaian analisa tersebut hanya satu dari sekian kemungkinan yang ada. Boleh jadi pula narasi bahwa penanganan maupun kasus Covid-19 Indonesia telah baik seperti yang disampaikan oleh Moeldoko dan elite lainnya semata-mata untuk memberikan optimisme tersendiri bagi publik.
Tentu publik sendiri juga harus lebih cermat dalam menyikapi berbagai narasi yang disampaikan atau berusaha dikonstruksikan oleh pihak manapun, termasuk dari para elite, yang diharapkan tidak berdampak kontraproduktif pada penanganan Covid-19 di Indonesia. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.