Bipang Ambawang sebagai salah satu makanan rekomendasi Jokowi untuk dikonsumsi dan oleh-oleh lebaran menjadi hal yang kontroversial. Jokowi dianggap tidak elok untuk melakukan pernyataan tersebut karena bipang atau babi panggang babi haram untuk Muslim. Lantas, mengapa Jokowi merekomendasikan Binpang Ambawang dalam pidatonya? Apakah ada maksud tertentu di balik pernyataan tersebut?
Pada pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diunggah pada akun YouTube Kementerian Perdagangan (Kemendag), masyarakat diminta untuk tidak melakukan mudik. Tidak sampai di situ, pernyataan tersebut dilanjutkan dengan pernyataan yang menarik.
Untuk melepas rindu, Jokowi menganjurkan masyarakat membeli oleh-oleh lebaran untuk keluarga masing-masing. Ia memberikan beberapa ide, seperti Empek-empek Palembang, Gudeg Jogja dan Bipang Ambawang dari Kalimantan Barat.
Munculnya rekomendasi Bipang (babi panggang) Ambawang menjadi pernyataan yang kontroversial. Pasalnya, Bipang Ambawang ini merupakan makanan yang terbuat dari babi. Pernyataan Jokowi menjadi rancu karena menganjurkan masyarakat untuk membeli makanan yang mengandung babi sebagai oleh-oleh lebaran.
Banyak yang kecewa terhadap larangan mudik yang dijabarkan pada video tersebut. Banyak yang berpendapat bahwa pernyataan Jokowi tidak elok, mengingat daging babi haram untuk umat Muslim.
Walaupun menuai kritik, banyak juga yang pasang badan untuk Jokowi. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad meminta masyarakat untuk tidak berburuk sangka kepada Jokowi. Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman juga sempat mengatakan bahwa “bipang” yang dimaksud Jokowi adalah snack beras jipang.
Banyak juga yang mengatakan pernyataan Jokowi tidak hanya diperuntunkkan untuk masyarakat Muslim tapi semua warga lintas agama sehingga narasi bipang dianggap tidak bermasalah.
Baca Juga: Jokowi Afirmasi Buruknya Komunikasi Pemerintah?
Lantas, mengapa pernyataan kontroversial itu dapat mencuat? Apakah ini permasalahan tata kelola komunikasi yang buruk?
Buruknya Komunikasi Pemerintah
Usai pernyataan Bipang Ambawang, banyak yang meminta agar tim komunikasi Jokowi untuk dievaluasi. Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengaku dirinya sering mengatakan ‘dapur’ Istana tidak beres. Istilah ‘dapur’ menyasar ke tim komunikasi inti, penulis pidato dan tim riset data yang merupakan pihak di belakang pembuatan naskah pidato presiden.
Mempromosikan makanan mengandung babi untuk hari raya Idul Fitri tentu merupakan kesalahan fatal yang dilakukan oleh sosok presiden. Hal ini menunjukkan buruknya manajemen komunikasi di pemerintahan.
Bernadette Hyland-Wood dan kawan-kawan dalam tulisan yang berjudul Toward Effectvie Government Communication Strategies in the Era of Covid-19 menjelaskan mengenai strategi efektif komunikasi oleh pemerintah. Wood mengatakan bahwa komunikasi pemerintah dianggap efektif jika pemerintah memiliki pesan yang jelas, disampaikan melalui platform yang layak, didesain untuk target pembicara dan disampaikan oleh orang terpercaya.
Jokowi tentu merupakan orang yang terpercaya dalam menjabarkan larangan mudik untuk masyarakat menjelang lebaran. Namun, Jokowi sebagai presiden menyampaikan pesan yang janggal karena mengatakan Bipang Ambawang sebagai makanan di hari raya yang membuat kerancuan makna pada pernyataan tersebut.
Buruknya manajemen komunikasi pemerintah juga dapat dijelaskan melalui tulisan Asa Boholm yang berjudul Lessons of success and failure: Practicing risk communication at government agencies yang menjelaskan tentang risiko berkomunikasi.
Boholm mengatakan adanya risiko dalam komunikasi yang dilihat dari berbagai aspek, yakni relevansi informasi dengan fakta, penerimaan target komunikasi atas informasi tersebut, dampak atas infomasi tersebut serta langkah mitigasinya.
Baca Juga: Manajemen Isu, SBY Ungguli Jokowi?
Berangkat dari tulisan tersebut bisa disebutkan bahwa pemerintah tidak memiliki strategi komunikasi yang efektif dan baik. Pada konteks lebaran, bipang sendiri tidak memiliki korelasi dengan hari raya umat Islam.
Bipang Ambawang merupakan salah satu contoh kasus buruknya gaya komunikasi pemerintah. Masalah tata kelola komunikasi pemerintah yang tidak efektif memang sering menjadi sorotan publik, terutama dalam penanganan pandemi Covid-19.
Hal ini terlihat pada inkonsistensi informasi antara pemerintah daerah dan pusat, transparansi data terkait kondisi pandemi dan sebagainya. Permasalahan tersebut tentu menghalangi penanganan krisis pandemi dan juga mempengaruhi trust masyarakat terhadap pemerintah.
Selain itu, tata kelola komunikasi yang tidak efektif terlihat pada tidak sensitifnya pernyataan pejabat pemerintah dalam menanggapi pandemi. Pada awalnya, pemerintah terkesan “remeh” dengan pandemi yang terlihat pada candaan yang dilontarkan pejabat pemerintah atas Covid-19, misalnya guyonan mobil Korona Luhut B. Panjaitan.
Ada juga lelucon dari Mahfud MD yang mengatakan virus Corona tidak masuk ke Indonesia karena perizinan yang berbelit. Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga pernah mengatakan susu kuda liar sebagai obat tangkal virus Corona.
Berkaca dari gaya komunikasi pemerintah yang buruk dalam menangani pandemi dan kasus-kasus lainnya, sudah seharusnya masalah komunikasi dibenahi. Inkonsistensi pernyataan pada masalah mudik, misalnya, disebut-sebut membuat masyarakat kebingungan dan berimbas pada banyaknya masyarakat yang masih nekat melakukan mudik.
Bipang Ambawang, Pengalihan Isu?
Mungkin saja Jokowi sendiri tidak tahu bahwa Bipang Ambawang merupakan makanan yang mengandung daging babi. Walaupun begitu, banyak yang bertanya-tanya bagaimana Jokowi tidak mengetahui hal tersebut.
Hal rancu lainnya adalah Jokowi memiliki tim komunikasi khusus yang mempersiapkan script pidato presiden. Dari keterangan Fahri Hamzah, tim komunikasi Jokowi berisikan tim komunikasi inti, tim riset dan tim penulis naskah.
Hal ini patut menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin dengan tim yang lengkap, kata Bipang Ambawang dapat tertulis pada naskah pidato Jokowi yang membahas mengenai lebaran. Sebagai presiden yang memiliki tim komunikasi yang lengkap, sepertinya hal tersebut merupakan kesalahan yang terlalu fatal untuk terjadi dan sangat dapat dihindari.
Jika melihat momentumnya, menariknya pernyataan Bipang Ambawang ini keluar bersamaan dengan hangatnya isu tes wawasan kebangsaan (TWK) di KPK yang sedang bermasalah. Tidak hanya soal pernyataan TWK yang dinilai janggal, melainkan karena 75 pegawai KPK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan telah membuat 75 pegawai KPK, dikabarkan tidak lolos tes tersebut.
Mengacu pada momentum dan sulitnya membayangkan tim penulis naskah pidato presiden meloloskan kata Bipang Ambawang, mungkin saja pidato Bipang Ambawang merupakan pengalihan isu dari TWK KPK. Hal ini dapat dijelaskan melalui strategi manipulasi oleh Noam Chomsky.
Chomsky memperkenalkan strategi distraksi, di mana suatu masalah dapat “terkubur” atau terlupakan dengan cara membuat masalah baru. Dengan cara ini, masyarakat dapat teralihkan dari isu yang sebenarnya.
Chomsky mengatakan bahwa media berperan besar dalam pengalihan isu. Hal ini juga sejalan dengan konsep agenda setting theory oleh Walter Lippmaan, di mana media memiliki kemampuan untuk memilah agenda yang akan diberitakan.
Berangkat dari Chomsky dan Lippmaan, pemerintah bisa saja menciptakan masalah baru melalui Bipang Ambawang untuk mengalihkan masyarakat dari isu TWK KPK. Pemerintah tentu sadar pernyataan tersebut akan diberitakan oleh media, sehingga memperluas jangkauan pemberitaannya.
Sejak keluarnya pernyataan Jokowi tetang bipang, pemberitaan media banyak menyoroti pernyataan tersebut, mulai dari pembahasan isi pidato Jokowi, kritik terhadap Jokowi hingga mereka yang pasang badan untuk Jokowi.
Baca Juga: Noble Lie, Jokowi Pasti Berbohong?
Pendiri Drone Empirit, Ismail Fahmi mengatakan bahwa isu bipang lebih populer daripada isu TWK KPK yang mana merupakan isu yang lebih penting untuk diperhatikan masyarakat. Ismail pun mengaku bahwa siapa pun yang menyusun naskah pidato presiden merupakan strategi yang cerdas.
Masalah bipang sendiri populer di Twitter. Menurut data dari Ismail, topik mengenai isu TWK KPK hanya di-mention di atas 5.757 kali. Sementara itu, topik bipang sudah di-mention sebanyak 9.606 kali sehingga binpang mendapatkan perhatian lebih besar dari masyarakat daripada permasalahan KPK.
Penggunaan isu bipang juga efektif dalam pengalihan isu. Pasalnya, Jokowi sebagai sosok presiden yang menganjurkan masyarakat untuk membeli bipang di hari lebaran tentu menjadi pernyataan yang kontroversial. Membahas daging babi yang haram bagi Muslim tentu merupakan cara mudah untuk viral, mendapatkan atensi luas, dan mengubur isu lainnya.
Selain TWK KPK, masih banyak permasalahan lainnya yang sebenarnya lebih penting daripada pernyataan Jokowi tentang bipang. Masalah tersebut seperti varian baru Covid-19 dan kedatangan warga negara asing (WNA) di tengah pelarangan mudik.
Pada kesimpulannya, pernyataan Bipang Ambawang tidak perlu membutuhkan perhatian yang begitu besar. Jokowi tentunya tidak menginginkan masyarakatnya yang menganut agama Islam untuk memakan bipang yang notabene adalah daging babi. Masyarakat sekiranya tidak boleh luput dari berbagai masalah yang lebih penting dari Bipang Ambawang. (R66)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.