HomeNalar PolitikNajwa Jadikan Terawan “Sosok Mitologi”?

Najwa Jadikan Terawan “Sosok Mitologi”?

Apresiasi tertuju pada jurnalis senior Najwa Shihab saat mewawancarai kursi kosong sebagai personifikasi Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto. Mengapa kiranya hingga Najwa sampai harus melakukan konsep wawancara demikian? Serta apa dampak signifikannya yang mungkin terjadi?


PinterPolitik.com

Jurnalis senior Najwa Shihab mendapat apresiasi setelah mewawancarai sosok tak kasat mata pada sebuah acara di stasiun televisi swasta. Bukan pada sosok dari dunia lain seperti yang Harry Pantja lakukan, akan tetapi dalam sebuah acara bertajuk “Menanti Terawan”.

Ya, Najwa mengaku bahwa hampir tiap pekan, timnya telah mengundang Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto dalam tema yang berkaitan dengan pandemi Covid-19.

Akan tetapi sepanjang itu pula, Menkes tak kunjung memenuhi invitasi yang akhirnya harus membuat Najwa melakukan wawancara “kursi kosong”. Beragam pertanyaan dilontarkan pada sosok artifisial Menkes Terawan, mulai dari pertanyaan seputar nihilnya penampilan sang menteri di hadapan publik hingga bagaimana reaksi atas desakan mundur dari berbagai pihak.

Tentu pertanyaan-pertanyaan tersebut tak ada jawabnya, meski sesungguhnya sangat dinantikan publik seantero tanah air dari sosok yang seharusnya aktif mengayomi penanganan pandemi.

Namun, mengapa kiranya Najwa sampai berkeputusan untuk melangsungkan wawancara berkonsep “kursi kosong” semacam ini?

Bukan Yang Pertama

Entah sengaja menghilang atau “dihilangkan”, yang jelas Terawan absen memainkan perannya yang relevan dan signifikan sebagai seorang Menteri Kesehatan sejak sejumlah pernyataan kontroversialnya pada awal pagebluk.

Konsep wawancara kursi kosong yang Najwa lakukan dinilai merupakan repesentasi klimaks dari kesan geregetan publik atas impresi kehilangan sosok paling vital dalam penanganan pandemi Covid-19 di tanah air tersebut.

Namun secara konsep, Najwa bukanlah yang pertama. Pada tahun 2012, pembawa acara The Last Word di stasiun televisi MSNBC, Lawrence O’Donnell berimprovisasi dengan mewawancarai kursi kosong setelah narasumbernya, Craig Sooner, kuasa hukum George Zimmerman yang terlibat kasus penembakan remaja kulit hitam Amerika Serikat (AS), mendadak walk out dari agenda wawancara meski awalnya telah hadir di studio.

Sementara di Australia pada awal tahun 2019, jurnalis senior ABC dalam program 7:30, Leigh Sales merespon penolakan wawancara Menteri Olahraga Bridget McKenzie atas isu dana kementerian yang diduga mengalir demi kepentingan Pemilihan Federal 2019.

Sales akhirnya tetap melangsungkan segmen interview di hadapan kursi kosong yang kemudian menjadi viral serta mendapat reaksi masif di negeri Kangguru.

Dunia jurnalisme Britania Raya pun tampaknya tak mau ketinggalan. Kay Burley dalam acara @Breakfast di stasiun tv Sky News melakukan improvisasi brilian saat chairman Partai Konservatif Inggris James Cleverly tiba-tiba berhalangan untuk melangsungkan wawancara secara langsung yang telah diagendakan.

Burley tetap melakukan tugasnya dan mengajukan pertanyaan yang memang telah direncanakan, termasuk bagaimana Perdana Menteri (PM) Boris Johnson membandingkan pemimpin oposisi dari Partai Buruh, Jeremy Corbyn dengan Stalin, hingga isu korban kebakaran Grenfell Tower pada tahun 2017 yang kembali hangat dibicarakan di negeri Ratu Elizabeth.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Fenomena jurnalisme dengan “menginterogasi” kursi kosong ini diamati oleh analis media asal Inggris, Adam Fisher sebagai ihwal yang sesungguhnya sangat bermakna serius.

Dalam tulisannya yang berjudul Spokesperson Endures Empty Chair Humiliation, Fisher mengatakan bahwa konsep mewawancarai kursi kosong merupakan opsi pamungkas yang terkadang digunakan sebagai taktik sekaligus daya tarik oleh media untuk “mempermalukan” mereka yang selalu menghindari atau menolak sorotan media atau sebuah interview.

Fisher kemudian menyoroti dua konsekuensi minor bagi subjek yang direpresentasikan dengan kursi kosong tersebut, yakni visual humiliation atau penghinaan visual dan konstruksi cerita maupun narasi pemberitaan yang justru semakin tak menguntungkan.

Kendati demikian, tak dapat dirinci secara pasti apakah konsep wawancara kursi kosong sebagai representasi Menkes Terawan yang dilakukan Najwa Shihab bertujuan untuk “mempermalukan” seperti apa yang disampaikan oleh Fisher sebelumnya, atau justru murni sebagai reaksi kekecewaan paripurna yang dinilai juga dirasakan mayoritas masyarakat di tanah air dari sosok mantan Kepala RSPAD Gatot Soebroto itu.

Lantas, apakah wawancara kursi kosong yang ternyata memiliki tendensi “mempermalukan” tersebut telah tepat dan proporsional digunakan oleh Najwa dalam berbagai konteks terkait Menkes Terawan?

Najwa Langgar Etik?

Nicolaus Mills dalam tulisannya di Dissent Magazine yang berjudul Television and the Politics of Humiliation mengkritik bagaimana media yang acapkali luput akan nilai-nilai tertentu.

Tanpa mengesampingkan kebebasan berekspresi dan nilai jurnalisme, Mills menyoroti fenomena alamiah media kontemporer terkait material dan rating yang membuat mereka terkadang berperilaku sekejam mungkin, luput terhadap fairness dan kaidah etis mendetail, hingga mengambil sudut pandang zero-sum society atau demi keuntungan kepentingan sepihak dan pada saat yang sama pihak lain dirugikan.

Hasilnya, konsekuensi seperti mempermalukan atau penghinaan visual atas subjek tertentu sering tak terhindarkan dan bahkan tak disadari secara mendetail dan spesifik dampak negatifnya.

Ihwal yang sama terjadi pasca Najwa mewawancarai kursi kosong Menkes Terawan. Selain mendapat apresiasi, tak sedikit juga yang mengkritik bahwa wawancara putri Quraish Shihab yang seolah bertendensi mempermalukan dan mengolok-olok tersebut akan turut berdampak pada gejolak psikis keluarga Menkes Terawan seperti istri dan anak-anaknya.

Pihak yang kontra berpendapat bahwa Menkes Terawan berhak menolak permintaan wawancara dengan pertimbangan dan alasan logisnya secara personal, sehingga tak patut “dibully” dan seolah menjadi jauh inferior dari sosok Najwa yang notabene menolak berbagai bentuk bullying.

Meski argumen kontra tersebut sontak dapat dengan mudah dianulir oleh komparasi gejolak serupa yang dirasakan tenaga medis dan mereka yang kehilangan nyawa akibat Covid-19, narasi berlawanan tersebut tak lantas dapat dikesampingkan begitu saja.

Pada titik ini, secara objektif konsep wawancara bangku kosong Najwa memang tak sepenuhnya keliru. Akan tetapi, terus berusaha menguak dan mengonfirmasi dari sumber primer atau minimal dari pihak terdekat yang terkait tampaknya memang tetap harus diupayakan sehingga narasi yang tercipta jauh lebih konstruktif dan proporsional bagi semua pihak.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Lantas, jika berkaca pada konsekuensi yang seolah sudah terlanjur tercipta berupa visual humiliation dan konstruksi pemberitaan yang semakin tak menguntungkan seperti yang dikemukakan Fisher, apakah momentum wawancara kursi kosong akan membuat perubahan berarti dari tindak tanduk Menkes Terawan ke depannya?

Memilih Yang Paling Elok

Situasi sitting ducks atau tersudut dinilai tak lantas membuat Menkes Terawan tak punya pilihan lain selain bersembunyi. Paling tidak tendensi bersembunyi-lah yang tercermin dari abituren Sepawamil (atau sekarang PAPK TNI) tahun 1990 pasca sejumlah pernyataan kontroversialnya di awal pandemi beserta pernyataan “sporadis” setelahnya.

Dalam The Role of Humiliation in Collective Political Violence, David Lacey menyebut bahwa memang humiliation atau perlakuan dipermalukan hingga penghinaan dapat sangat merusak aspek psikologis berupa runtuhnya self-esteem atau harga diri, kepercayaan diri, dan sebagainya.

Elemen tersebut nyatanya menjadi vital sebagai kebutuhan instingual yang dalam bagi siapapun, terlebih seseorang dengan jabatan serta kewenangan esensial.

Kendati demikian, dengan mengutip Donald Nathanson, terdapat strategi untuk memperbaiki “kerusakan” psikologis tersebut yang mungkin juga dialami Menkes Terawan saat ini.

Disebut sebagai attack-self strategy, yakni penerimaan terhadap social embarrassment atau rasa malu sosial yang mana itu bermuara pada refleksi positif pada perbaikan diri.

Menkes Terawan tentu berkemampuan dan memiliki opsi untuk mengadopsi strategi tersebut untuk membalikkan keadaan seperti dengan memperbaiki skill komunikasi publiknya, lebih aktif tampil mengayomi masyarakat di tengah pandemi, ataupun membuat keputusan personal yang revolusioner.

Sampel Menkes di berbagai negara yang aktif dan tampil dengan komunikasi mumpuni maupun mengambil berbagai keputusan revolusioner, termasuk mengundurkan diri sekiranya dapat dijadikan contoh oleh Terawan.

Sebut saja Alex Azar, Secretary of Health and Human Services AS yang meskipun tak terlampau tenar dari Anthony Fauci, namun tetap aktif membangun narasi konstruktif di AS selama pandemi, termasuk “menyeimbangkan” kontroversi yang dibuat Presiden Donald Trump.

Atau Menkes Malaysia Adham Baba yang aktif mengendorse dokter-dokter terbaik seperti dr. Noor Hisham, yang bahkan diakui dunia, untuk berkolaborasi dan menjadi ujung tombak yang solid dalam penanganan Covid-19 di negeri Jiran.

Maupun refleksi revolusioner seperti yang dilakukan Menkes di sebelas negara dengan mengambil keputusan untuk mengundurkan diri secara terhormat akibat merasa kinerjanya tak cukup mumpuni selama pandemi.

Tentu tampilan baru atau keputusan revolusioner apapun dari Menkes Terawan akan sangat dinantikan oleh publik dengan urgensi yang ada plus relevansi tupoksinya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?