Site icon PinterPolitik.com

Nadiem Ungkap Kegagalan Revolusi 4.0?

Nadiem Ungkap Kegagalan Revolusi 4.0?

Nadiem Ungkap Kegagalan Revolusi 4.0?

Setelah hampir sembilan bulan menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ), pemerintah berencana mengizinkan sekolah tatap muka pada awal tahun depan. Keputusan ini menimbulkan polemik lantaran diambil di tengah ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi pemerintah mengambil keputusan tersebut?


PinterPolitik.com

Pekan lalu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengumumkan akan mengizinkan institusi pendidikan di semua zona rawan Covid-19 untuk menggelar Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tatap muka. Keputusan itu akan berlaku mulai awal tahun 2021 mendatang.

Meski pembukaan sekolah tak diwajibkan dan harus memenuhi sejumlah persyaratan, namun keputusan tersebut tetap menimbulkan polemik tersendiri. Banyak pihak yang meragukan kesiapan pihak sekolah dalam menegakkan protokol kesehatan. 

Sejak Maret lalu semua kegiatan belajar mengajar memang tak lagi dilakukan secara tatap muka. Pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda ini memang terpaksa membuat semua kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan harus dibatasi demi menekan penularan virus, termasuk di institusi pendidikan. 

Alhasil, proses belajar mengajar selama hampir sembilan bulan terakhir terpaksa dilakukan secara daring (online). Gawai dan koneksi internet kini menjadi tools yang seolah ‘wajib’ dimiliki oleh setiap pelajar untuk tetap memperoleh akses pendidikan.

Kemendikbud pun sudah beberapa kali menerbitkan sejumlah kebijakan guna mendukung model pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini. Seperti subsidi kuota internet, penyesuaian kurikulum, hingga menghapus ujian nasional (UN).

Kendati demikian, implementasi pembelajaran jarak jauh ini nyatanya tetap menyisakan problem tersendiri. Banyak kalangan pelajar maupun pengajar mengeluhkan proses pembelajaran jarak jauh yang dinilai belum ramah anak dan inklusif, hingga infrastruktur dan akses teknologi yang belum merata.

Dalam beberapa kasus, model pembelajaran daring ini bahkan dikait-kaitkan dengan sejumlah kejadian bunuh diri yang melibatkan pelajar. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai penerapan pembelajaran online memberikan beban tugas yang berlebihan kepada siswa sehingga berdampak pada kondisi psikologisnya.

Kendala yang dihadapi siswa dalam proses KBM jarak jauh ini juga menimbulkan sejumlah pertanyaan. Pasalnya, menurut sejumlah studi, pelajar Indonesia menjadi salah satu pengguna teknologi tertinggi di dunia. Lantas pertanyaannya apa sebenarnya yang menjadi kendala dalam penerapan kegiatan belajar secara online di Indonesia?

Digital Divide

Pembelajaran daring memang menuntut kesetaraan untuk mengakses teknologi yang dibutuhkan bagi semua pihak. Untuk itu, peran negara dalam memastikan kesetaraan tersebut sangat dibutuhkan untuk memastikan kelancaran program pembelajaran online.

Judy Block dalam tulisannya yang berjudul Distance Education and the Digital Divide: An Academic Perspective mengatakan bahwa kesenjangan digital merupakan masalah utama yang dihadapi banyak negara dalam implementasi pembelajaran jarak jauh. Kesenjangan ini umumnya disebabkan oleh status sosial ekonomi seperti pendapatan, ras, etnis, jenis kelamin, usia, dan geografi.

Dalam konteks Indonesia, Nadia Fairuza Azzahra dalam tulisannya yang berjudul Addressing Distance Learning Barriers in Indonesia Amid the Covid-19 Pandemic mengatakan bahwa siswa dari keluarga berpenghasilan rendah dan masyarakat daerah pedesaan merupakan pihak yang paling dirugikan akibat terganggunya sistem pendidikan tradisional karena pandemi Covid-19.

Dalam kondisi normal sekali pun, mereka sudah menghadapi hambatan akses pendidikan. Lalu dalam konteks pandemi seperti saat ini, mereka sekarang perlu mengatasi hambatan tambahan yang disebabkan oleh ketidaksetaraan dalam mengakses infrastruktur teknologi.

Kendati topografi kepulauan dan pegunungan Indonesia sangat mendukung penyediaan internet seluler dan telekomunikasi. Namun, cakupan sinyal faktanya terkonsentrasi di pulau Jawa karena penyedia layanan didorong oleh iklim pasar yang memang memprioritaskan daerah perkotaan daripada daerah pedesaan yang kurang padat penduduknya.

Nadia kemudian menyimpulkan bahwa akses yang tidak merata ke Internet, disparitas dalam kualifikasi guru dan kualitas pendidikan, dan kurangnya keterampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menjadi tantangan dalam pembelajaran jarak jauh di Indonesia.

Pengamat pendidikan dari Center of Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji mengatakan berbagai kendala PJJ yang ada di tengah wabah Covid-19 membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia ketinggalan zaman. Dia bahkan menyebut sektor pendidikan Indonesia tak siap menghadapi abad 21.

Sinyal Kegagalan Revolusi 4.0?

Carut marutnya sistem pembelajaran online di Indonesia akibat ketimpangan akses infrastruktur teknologi agaknya tak hanya menguak permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan, namun juga berpengaruh di sejumlah sektor lain, termasuk ekonomi.  

Tak meratanya infrastruktur internet tersebut tentu berpengruh terhadap tingkat digitalisasi sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).  Padahal, pemanfaatan teknologi digital menjadi kunci penting untuk memasuki era 4.0.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, per Juni 2020 baru 13 persen UMKM yang menggunakan platform digital seperti marketplace dan media sosial untuk mempromosikan dan menjual produknya.

Padahal, usaha mikro perlu mengadopsi strategi baru untuk menjaga produktivitas dan mempertahankan pendapatan mereka terutama di tengah pandemi Covid-19 yang segala sesuatunya kini bertumpu pada teknologi dan koneksi internet.

Keterbatasan akses teknologi ini juga menjadi ironi tersendiri di tengah derasnya kampanye Revolusi Industri 4.0 yang digalakkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Jika ketimpangan ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin mimpi memasuki era Revolusi Industri 4.0 hanyalah sekedar angan yang sulit diwujudkan.

Lantas sekarang pertanyaannya, apa sebenarnya yang menyebabkan ketimpangan infrastruktur tersebut bisa terjadi?

Kegagalan Otonomi Daerah?

Sejak rezim Orde Baru runtuh, salah satu amanat Reformasi adalah implementasi desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah. Kebijakan ini dimaksudkan  untuk memberikan kewenangan besar bagi pemerintah daerah dalam mengelola keuangan sehingga pembangunan ekonomi mampu berjalan optimal.

Kendati begitu, hingga saat ini impelementasi otonomi daerah agaknya belum sesuai harapan. Peneliti Indef, Rusli Abdullah juga menilai kebijakan tersebut nyatanya belum mampu menekan ketimpangan.

Hal itu, menurutnya tercermin dari Indeks Gini di Indonesia yang cenderung meningkat setelah implementasi otonomi daerah. Meskipun sempat menurun sejak 2015, namun penurunan rasio gini tersebut belum pernah mencapai level angka rasio gini pada awal implementasi otonomi daerah.

Francis Fukuyama dalam bukunya Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, juga pernah menyoroti kegagalan otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia. Menurutnya, kebijakan tersebut justru memicu terjadinya korupsi di semua tingkatan eselon.

Kegagalan implementasi otonomi daerah ini kemudian agaknya membuat pemerintah cenderung ingin mengembalikan kewenangan pembangunan kepada pemerintah pusat. Setidaknya hal ini tercermindari pengesahan Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) yang dinilai sejumlah pihak akan menyunat kewenangan pemerintah daerah, terutama dalam proses perizinan di segala sektor.

Kendati begitu, ekonom sekaligus filsuf ekonomi Friedrich August von Hayek pernah memberikan kritik terhadap implementasi sentralisasi ekonomi.

Tibor R. Machan dalam tulisannya Beyond Hayek: A Critique of Central Planning menyebutkan bahwa Hayek menilai perencanaan ekonomi terpusat tidak akan pernah dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien atau mengkoordinasikan kegiatan masyarakat untuk tujuan yang ingin mereka capai. Ia melandaskan argumentasinya pada asumsi yang menyebut sentralisasi ekonomi akan membuat para pengambil kebijakan kekurangan informasi mendetail di tiap-tiap daerah atau sektor.

Penekanannya adalah, jika pemerintah daerah saja tidak mendapatkan informasi mendetail terkait kondisi daerahnya, lantas bagaimana mungkin pemerintah pusat dapat memperoleh informasi yang lebih baik?

Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan mengganti orientasi pembangunan menjadi terpusat bukanlah jawaban yang tepat atas persoalan ketimpangan. Namun di sisi lain, tak dapat dipungkiri implementasi otonomi daerah perlu perbaikan secara sistemik untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Terkait dengan hal tersebut, Pengamat Politik LIPI Siti Zuhro menyebut bahwa salah satu persoalan yang membuat desentralisasi kekuasaan sejauh ini belum berhasil disebabkan karena penyelenggaraan otonomi daerah yang tidak didukung dengan grand design yang jelas.

Untuk itu, Ia menawarkan sejumlah solusi, yakni reformasi birokrasi dan penertiban dalam kebijakan di tingkat pusat hingga daerah. Sebab, kebijakan yang dibuat dalam bentuk aturan selama ini sering tidak berpihak kepada rakyat.

Pada akhirnya, mungkin dapat disepakati bahwa keputusan pemerintah untuk mengizinkan kembali pembelajaran tatap muka di tengah ketidakpastian penanganan pandemi merupakan wujud kebuntuan dari serangkaian persoalan sistemik dalam implementasi sekolah jarak jauh, terutama yang berkaitan dengan kesetaraan akses tekonologi komunikasi.

Tentunya, persoalan tersebut perlu mendapat perhatian lebih pemerintah. Pasalnya ketimpangan dalam akses dan literasi terhadap teknologi informasi berdampak pada banyak sektor, termasuk pada ambisi pemerintah dalam mewujudkan Revolusi Industri 4.0. Bagaimana strategi pemerintah dalam menyelesaikan persoalan ini, tetap menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version