Site icon PinterPolitik.com

Nadiem Tak Mempan Tekanan PAN?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim saat melakukan rapat kerja dengan Komisi X DPR RI pada Februari lalu.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim saat melakukan rapat kerja dengan Komisi X DPR RI pada Februari lalu. (Foto: JPNN)

Serangkaian kecenderungan yang ada seolah menyiratkan bahwa Partai Amanat Nasional (PAN) merupakan pihak yang paling aktif menyentil kinerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sejauh ini. Mulai dari isu PPDB, metode pembelajaran selama pandemi, hingga polemik Program Organisasi Penggerak (POP). Namun belakangan, permintaan maaf Nadiem yang elegan dan dinilai mulai meredam masalah seolah menepis skeptisme yang dibangun PAN. Lantas, apa yang menjadi maksud PAN sesungguhnya di balik tekanan kepada Nadiem tersebut?


PinterPolitik.com

Bombardir kritik tajam seolah tak henti mengarah pada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.  Setelah disasar isu PPDB serta polemik metode pembelajaran selama pandemi, persoalan administratif Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian turut menjadi elemen pendukung bagi para kritikusnya.

Apalagi tiga organisasi raksasa tanah air, Nahdladtul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), menjadi subjek yang “dirugikan” dalam masalah POP. Sontak, kritik hingga skeptisme dari berbagai pihak atas kemampuan Nadiem berdatangan.

Dengan berbagai suara sumbang yang seolah bertubi-tubi dihadapi dan tertuju secara personal kepada sosok Nadiem, agaknya seperti ada tendensi tertentu dibaliknya. Strategy of discrediting atau strategi mendiskreditkan dikaji oleh Oksana Sergeevna Issers dalam publikasinya yang berjudul Communicative Strategies and Tactics of Russian Speech akan membantu dalam memahami fenomena ini.

Issers menyebut konsep downside game sebagai bagian dari strategy of discrediting, di mana konsep tersebut merujuk pada fenomena penilaian negatif mengenai tindakan serta kualitas pihak tertentu dengan mengkonstruksikan negative attitude atau perilaku negatif pada pihak tersebut. Downside game sendiri Issers katakan ditandai oleh jamaknya tekanan secara politik dan upaya mengkontradiksikan berbagai substansi persoalan.

Berbagai tekanan secara politik yang tak henti dihadapi Nadiem selama ini – mulai dari polemik penghapusan ujian nasional (UN), Penerimaan Psesrta Didik Baru (PPDB,) metode pembelajaran selama pandemi, hingga POP – seolah menjadi downside game yang terkonstruksi dan menyerang sosok Nadiem secara spesifik.

Tak sedikit memang tokoh-tokoh politik, organisasi formal, hingga pengamat dan lembaga riset yang menaruh skepd kepada Nadiem dengan berbagai problematika yang ada. Puncaknya, saat isu reshuffle yang dihembuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemuka, sosok Nadiem menjadi salah satu yang direkomendasikan untuk dilengserkan dengan beragam alasan.

Bahkan meskipun, isu reshuffle telah mereda, masih terdapat pihak-pihak yang tak puas dan menginginkan Nadiem untuk dienyahkan dari kabinet. Salah satunya datang dari pelaksana harian (Plh.) Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Daulay yang menjadikan polemik POP sebagai isu pamungkas yang dianggap cukup untuk membuat Presiden Jokowi mendepak Mendikbud.

Di atas itu semua, ada satu hal yang cukup menarik. Entah publik sadari atau tidak, Partai Amanat Nasional (PAN) adalah pihak yang paling getol dan bisa dikatakan terdepan memberikan teguran ketika Nadiem “terpeleset” isu yang menekan mantan Bos Gojek itu.

Lalu, mengapa manuver PAN selama ini seolah sangat konsisten dalam menekan kinerja hingga posisi Nadiem sebagai Mendikbud? Apakah PAN juga terlibat dalam downside game seperti yang disebutkan oleh Issers sebelumnya?

PAN Ngarepin Apa?

Bukan tanpa alasan nama PAN sebagai entitas mengemuka dalam konteks ini. Hal ini mengacu pada berbagai kepingan manuver yang dilakukan oleh sejumlah anggota partai tersebut terhadap Nadiem, yang jika disatukan tampaknya merujuk pada pola dan tendensi tertentu.

Meskipun mendukung kebijakan penghapusan UN yang ditelurkan pada 2019 silam, sikap PAN terhadap Nadiem seolah berubah 180 derajat sejak isu PPDB mencuat. Kala itu, perwakilan PAN yang duduk sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Zita Anjani, mengkritik Nadiem yang disebut minim inovasi dan memunculkan diskriminasi pendidikan. Rasionalisasi itu memang dinilai relevan jika mendalami isu PPDB, namun problematika kompleks tersebut juga tidak serta merta dapat ditumpukan pada Nadiem seorang karena polemik ini seyogianya telah ada sebelum ia menjabat.

Lalu, PAN juga getol menyasar kebijakan merdeka belajar plus metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi yang dipadukan sebagai kritik ganda kepada alumni Harvard University itu.

Selain kritik terhadap POP Kemendikbud yang sudah dijelaskan sebelumnya, permintaan PAN agar Presiden Jokowi mencopot Nadiem terus digaungkan meskipun isu tersebut telah mereda. Lagi-lagi sosok Saleh Daulay menjadi aktornya dengan mengatakan bahwa tidak sulit untuk mencari pengganti Nadiem.

Padahal, meskipun Nadiem merupakan seorang teknokrat dan tidak memiliki afiliasi politik, langkahnya sebagai Mendikbud cukup memiliki beking politik yang memadai. Mulai dari kualitas Nadiem sendiri yang membuat keputusan politik penunjukan menteri Jokowi bermuara padanya, PDIP yang memang acapkali punya tendensi membelanya sejak awal, hingga tak ketinggalan dukungan politik dari PPP hingga PKB, agar memberikan Nadiem kesempatan lebih.

Karenanya, manuver PAN terhadap Nadiem membuka ruang tafsir bagi eksistensi kepentingan tertentu. Hal ini seirama dengan apa yang dikemukakan oleh Catherine Gallagher dalam tulisannya yang berjudul Politics, the Profession, and the Critic.

Gallagher mengatakan, kritik yang berkesinambungan merupakan political signifier atau sinyal yang bersifat politis dan memiliki kecenderungan kepentingan tertentu yang tak terbantahkan.

Ketidakterbantahan seperti yang disebutkan Gallagher inilah yang menjadikan sikap PAN terhadap Nadiem cenderung bermakna politis dan sarat kepentingan tertentu. Namun, kepentingan seperti apakah yang diincar oleh PAN?

Untuk menjawab hal itu, momen saat elite PAN menghadap Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta pada 20 Juli lalu dinilai dapat menjadi pintu masuknya. Meskipun konfirmasi partai adalah sekadar silaturahmi, pertemuan itu dibalut tajuk menarik yang dikemukakan kepada publik yakni “PAN akan terus bersama pemerintah dalam menggerakkan pembangunan nasional”.

Dan silaturahmi ke Istana tersebut dinilai menjadi semacam “adat istiadat politik” yang harus dilalui PAN sebelum berbicara konteks lain yang lebih jauh. Manuver tersebut juga terlihat simultan dengan kritik bertubi-tubi dari PAN secara spesifik kepada Mendikbud Nadiem, bahkan menyarankan agar segera dilengserkan oleh Jokowi. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan apakah PAN terlibat atau melibatkan diri dalam downside game seperti yang dijelaskan oleh Issers sebelumnya.

Singkat kata, boleh jadi ini merupakan strategi PAN untuk mendapatkan kursi menteri. Terlebih lagi, beberapa waktu yang lalu, isu PAN akan mendapatkan jatah kursi menteri jka terjadi reshuffle juga sempat menyeruak.

Lantas, menarik pula untuk mengetahui sejauh mana upaya Nadiem bertahan dan menemukan solusi dari berbagai tekanan politik yang ada.

Nadiem Masih Terlalu Berkelas

Pasang surut tekanan kepada Nadiem selama ini nyatanya tak menggoyahkan posisinya sedikitpun. Belakangan, ia bahkan dinilai melakukan pemutar balikkan situasi yang elegan dalam polemik POP Kemendikbud.

Ya, kemarin Nadiem meluangkan waktu untuk meminta maaf secara khusus kepada NU, Muhammadiyah, serta PGRI atas ketidaknyamanan yang dialami tiga organisasi legendaris dalam pendidikan Indonesia tersebut akibat kesalahpahaman POP.

Dalam hal ini, Nadiem tampak memiliki kualitas dalam apa yang disebut oleh Tessa Basford dalam Leader Apologies: How Content and Delivery Influence Sincerity Appraisals sebagai strategy self-presentation technique.

Strategi itu dapat tercermin dari gestur apology atau permintaan maaf serta gratitude atau ungkapan terima kasih dalam intisari tulisan Basford, yang dikonseptualisasikan dengan baik dan dapat berdampak pada pembalikan situasi dan impresi yang positif bagi mereka yang berhasil melakukannya.

Pada konteks permintaan maafnya atas polemik POP Kemendikbud, Nadiem dinilai secara paripurna mengimplementasikan strategic self-presentation technique. Momentum yang tepat, pilihan diksi elegan, serta komprehensivitas konteks persoalan dapat tersampaikan dengan baik.

Bahkan, Nadiem yang mengklaim bahwa pihak swasta dalam POP tidak keberatan untuk mendanai secara mandiri tanpa dukungan APBN pada programnya, dinilai menepis isu miring yang dianggap turut mendegradasi POP, sekaligus meredakan tensi publik serta pihak-pihak terkait.

Terlebih pada kesempatan yang sama, Nadiem juga berterima kasih serta menyampaikan invitasi kolaboratif kepada semua pihak yang telah mendukung berbagai program Kemendikbud. Oleh karenanya, jika memang benar ada intensi dan kepentingan tertentu dari sikap PAN terhadap Nadiem, di luar tujuan konstruktif, hal tersebut dinilai akan sulit terwujud.

Selain karena Nadiem adalah seorang teknokrat yang memiliki beking politik yang cukup solid, sosok menteri muda itu juga agaknya mulai beradaptasi bagaimana “melawan balik” tekanan politik yang ada atas kebijakannya. Dan gestur elegan permohonan maaf terbarunya dapat menjadi pertanda.

Bagaimanapun, kritik memang dibutuhkan di alam demokrasi untuk mengawal jalannya kebijakan pemerintah. Namun alangkah baiknya jika kebijakan serta kritik saran maupun masukan yang ada semata-mata berlandaskan ketulusan dan niat yang konstruktif tanpa bermotif kepentingan pribadi. Itulah harapan kita bersama. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version