Wacana program bela negara selama satu semester bagi mahasiswa yang digagas Kementerian Pertahanan (Kemenhan) terus menuai pro dan kontra. Bela negara dianggap tidak sepenuhnya selaras dengan agenda progresif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim di bidang pendidikan tinggi, yaitu Kampus Merdeka. Lalu, mengapa bela negara dengan semangat nasionalisme seolah “tak diinginkan” oleh pihak tertentu?
PinterPolitik.com
Bela negara belakangan acapkali diinterpretasikan serupa dengan wajib militer (wamil). Wamil sendiri menjadi salah satu topik menarik bagi para pecinta boyband Korea Selatan, khususnya kaum remaja dan wanita muda ketika idolanya harus memenuhi panggilan wajib di negeri Ginseng itu.
Selain itu, ada pula nama Son Heung-min, penyerang timnas sepak bola Korea Selatan dan klub Inggris Tottenham Hotspur yang beberapa waktu lalu menyelesaikan dinas negara itu dengan prestasi membanggakan yang turut membuat frasa wamil kian terkenal di segmen anak muda tanah air dan kemudian jamak disandingkan dengan bela negara.
Di balik gagah dan berwibawanya impresi terhadap hal bernuansa militer, idealisme nilai luhur perjuangan dan kejayaan historis dengan semangat nasionalisme juga dinilai membuat bela negara atau wamil menjadi daya tarik terbesar bagi sebagian kalangan pemuda beberapa tahun terakhir.
Ceruk dan tren itulah yang mungkin menginspirasi gagasan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) untuk menerapkan program bela negara bagi mahasiswa di seluruh Indonesia selama satu semester dengan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Belakangan, gagasan bela negara yang sesungguhnya bersifat sukarela itu diterjemahkan oleh sebagian kalangan sebagai program wajib militer (wamil), sampai-sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengaku shock atau terkejut atas isu yang berkembang liar itu.
Hal tersebut Nadiem sampaikan baru-baru ini yang menyangsikan adanya pembicaraan mengenai program itu dengan Kemenhan, meski Kementerian yang dipimpin Prabowo Subianto itu justru mengaku bahwa mereka telah menggodok program bela negara bagi mahasiswa dan sudah membicarakannya dengan Kemendikbud.
Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) Sakti Wahyu Trenggono menyebut program bela negara untuk mahasiswa rencananya akan diselipkan sebagai mata kuliah yang bisa diambil selama satu semester oleh para mahasiswa secara sukarela.
Terlepas dari kesan adanya mispersepsi silang atas informasi program bela negara, berbagai program dengan pendekatan militeristik dalam dunia pendidikan sendiri tidak mendapatkan dukungan dari sebagian kalangan. Salah satu alasannya, program tersebut dinilai berpotensi melanggar kebebasan akademik kampus.
Ikhsan Yosarie, peneliti HAM dan sektor keamanan dari Setara Institute menyebut rencana kebijakan itu justru bertentangan dengan progresivitas Nadiem di bidang pendidikan tinggi, yakni Kampus Merdeka.
Ditambah, rencana pendidikan berbasis pendekatan militeristik dan ketahanan negara disebut oleh Ikhsan menunjukkan bahwa ada mispersepsi pemerintah akan kebutuhan serta prioritas dunia pendidikan.
Sementara dari perwakilan mahasiswa, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Pertanian Bogor (IPB), Ananditya Wicaksana tidak sepakat dengan program bela negara mengingat terdapat bermacam saluran lain untuk membangkitkan rasa nasionalisme pemuda, khususnya bagi mahasiswa yang bergerak di ranah akademis.
Selain kekhawatiran yang telah disebutkan di atas, mengapa tendensi minor justru timbul dari program bela negara yang secara kasat mata dinilai dapat membawa nilai positif berupa nasionalisme dan cinta tanah air di kalangan pemuda? Dan bagaimana kiranya Nadiem dapat mengakomodir gagasan bela negara dari Kemenhan yang seirama dengan kebebasan akademik?
Potensi Penyalahgunaan Kesetiaan Politik
Selain Korea Selatan, terdapat beberapa negara yang memberlakukan wajib militer seperti Iran, Israel, hingga Singapura. Dan menurut Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), landasan konsep bela negara secara umum adalah adanya wajib militer.
Meski Indonesia tidak menerapkan wajib militer, konsep bela negara tetap diatur, penting, dan wajib dipenuhi oleh tiap-tiap warna negara karena diatur oleh undang-undang secara umum dan filosofis.
Inti sari bela negara sendiri tidak bisa dilepaskan dari semangat nasionalisme. Dan ihwal tersebut menjadi sebuah diskursus menarik ketika berdasarkan sejarahnya, nasionalisme juga memiliki sisi kelam tersendiri.
Publikasi berjudul Why Nationalism Works and Why It Isn’t Going Away yang ditulis oleh Anderas Wimmer menyingkap perspektif lain dari nasionalisme ketika loyalitas yang ditimbulkannya dapat menyebabkan demonization atau pendiskreditan pihak lain yang dianggap tidak setia pada bangsa.
Beberapa seri tragedi kemanusiaan serta pembersihan etnis paling kejam dalam sejarah mulai dari Holocaust hingga pembantaian Srebrenica di Bosnia disebut oleh Wimmer terjadi atas nama nasionalisme yang eksklusif.
Wimmer juga menyebutkan istilah menarik dari sebuah implikasi nasionalisme, yakni political loyalty atau kesetiaan politik. Ihwal inilah yang menjadi salah satu penopang terkuat nasionalisme.
Meski konteks politik yang dibicarakan ialah politik negara, political loyalty tidak jarang disalahgunakan oleh pemimpin untuk kepentingan tertentu. Dua tragedi di atas adalah sampel konkretnya ketika nasionalisme dan political loyalty menciptakan paranoid kepada mereka yang dianggap tidak loyal atau setia pada politik negara.
Di Indonesia, sisi gelap nasionalisme berupa demonization yang disebutkan Wimmer dinilai menjadi karakteristik Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Rezim kala itu jamak dianggap menyingkirkan lawan politiknya dengan justifikasi nasionalisme dan political loyalty terhadap negara.
Orde Baru dianggap meninggalkan kenangan buruk yang turut dimanifestasikan pada pengekangan terhadap kebebasan akademik, kemurnian intelektual dan perdebatan kritis di ranah universitas, baik dari luar maupun dari dalam, dengan dalih yang tidak jauh dari ideologi, nasionalisme, dan kesetiaan pada politik negara.
Oleh karenanya, memori kelam itu dinilai menjadi salah satu variabel penentu bagi perpspektif kalangan yang kurang menyambut baik wacana Kemenhan serta Kemdikbud atas implementasi bela negara bagi mahasiswa di Indonesia.
Selain faktor potensi ancaman terhadap nilai-nilai kebebasan akademik kampus, tidak menutup kemungkinan pula pihak-pihak yang kontra dengan wacana tersebut juga mengkhawatirkan timbulnya penyalahgunaan serta distorsi kesetiaan politik lebih jauh di kalangan mahasiswa seperti yang disebutkan oleh Wimmer di atas.
Lantas, ketika nasionalisme sebagai landasan bela negara memiliki tendensi kurang positif bagi sebagian kalangan, apa yang harus dilakukan pemerintah – Kemenhan dan Kemendikbud – untuk merekonseptualisasi wacana bela negara yang dapat beriringan selaras dengan aspek dan nilai kebebasan akademik?
Teladan Dari Eropa
Narasi nasionalisme ideal yang bersifat inklusif dibangun oleh sejarawan Harvard Mark Lilla serta ilmuwan politik Francis Fukuyama, yang ditandai dengan merangkul mayoritas dan minoritas, menekankan kepentingan bersama, serta menyediakan dan memastika ruang politik yang terbuka dan positif.
Wimmer sendiri mencontohkan Swiss sebagai negara yang berhasil mengimplementasikan nasionalisme inklusif tersebut. negeri di pegunungan Alpen itu berhasil melakukan integrasi nasionalisme multi-etnis dan kultural kelompok masyarakat berbahasa Prancis, Jerman hingga Italia, termasuk keterwakilan yang adil dalam politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.
Khusus pada aspek pendidikan, integrasi nasionalisme inklusif sejak dini ditanamkan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Salah satu cerminannya, Swiss terbiasa dengan sinergitas pendidikan multilingual yang membuat setiap individu merasa setiap kebebasan atas haknya dijamin oleh negara.
Oleh karena nasionalisme multi-etnis inklusifnya yang diakui sejak 1848, Swiss yang bahkan menerapkan wajib militer, tidak dihantui penyalahgunaan kesetiaan politik. Bahkan gagasan untuk mereduksi dan menghentikan wajib militer pada tahun 2013 justru ditolak oleh publik.
Berkaca pada Swiss, Indonesia tampaknya harus merekonseptualisasi definisi serta mengimplementasikan nasionalisme yang inklusif dalam sendi kehidupan bernegara sebelum berbicara lebih jauh mengenai bela negara. Seperti kepastian hukum, nihilnya diskriminasi, hingga demokrasi yang mewakili semua golongan.
Dan pada titik ini, Nadiem sebagai Mendikbud dinilai punya peran penting menanamkan nasionalisme inklusif tersebut di dunia pendidikan, khususnya pada konteks universitas, dan tidak hanya semata-mata fokus pada gagasan Kampus Merdeka yang dianggap terlalu pro pasar.
Salah satunya, merealisasikan secara konkret bela negara yang dapat dilakukan dengan pengabdian sesuai dengan ranah akademis, keahlian, atau profesi di mana bersesuaian dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara.
Karena ketika atmosfer nasionalisme inklusif sejak dini telah tercipta di ranah akademis, berbagai upaya implementasi pada domain lain seperti bela negara atau bahkan wajib militer secara otomatis tidak akan terbentur dengan diskursus kekhawatiran atas kebebasan politik maupun akademis itu sendiri, seperti yang terjadi di Swiss.
Nasionalisme dan konsep bela negara sendiri secara substansial di Indonesia menjadi sangat penting untuk menahan narasi destruktif kekinian seperti ekstremisme agama, khilafah, hingga kalangan yang anti terhadap Pancasila.
Peran pro-aktif Nadiem untuk bersinergi dengan Kemenhan menjadi cukup dinantikan untuk menyelaraskan nasionalisme yang inklusif di dunia pendidikan sebelum gagasan bela negara dapat dieksekusi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.