Site icon PinterPolitik.com

Nadiem dan Siasat Orang Dalam

nadiem dan siasat orang dalam

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim. (Foto: Antara)

Menanggapi operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani pada Agustus 2022 lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyatakan akan mengevaluasi jajaran pimpinan perguruan tinggi negeri (PTN).


PinterPolitik.com

“Rajin pangkal pandai. Hemat pangkal kaya”

Peribahasa di atas merupakan salah satu peribahasa paling umum dan awal yang dipelajari banyak siswa-siswi di Indonesia. Sejak awal, nilai-nilai yang dianggap baik ini disosialisasikan kepada tunas-tunas bangsa ini.

Artinya pun mudah dipahami. Jika kita rajin belajar, maka kita akan memetik kepandaian yang kita miliki sebagai hasilnya. Pun demikian, bila kita hemat dan rajin menabung, maka kita akan (mungkin) menjadi orang yang kaya.  

Namun, tentu, “hemat pangkal kaya” pada faktanya tidaklah sesederhana itu. Banyak faktor eksternal yang bisa mempengaruhi seseorang untuk bisa berhemat dan menjadi kaya.

Inflasi, misalnya, menjadi salah satu faktor yang bisa berdampak pada persoalan finansial setiap orang secara berbeda-beda. Terdapat persoalan sosial dan ekonomi yang akhirnya bisa memberikan dampak pada kemampuan menabung dan berhemat seseorang.

Belum lagi, ketika harga-harga kebutuhan pokok dan bahan bakar minyak (BBM) meningkat – disertai dengan kesenjangan pendapatan di masyarakat, setiap orang harus mengatur ulang cara kerja finansial mereka masing-masing. Mungkin, ini mengapa akhirnya muncul banyak nasihat-nasihat finansial di media sosial (medsos) bagi kalangan muda seperti Milenial dan Generasi Z.

Namun, persoalan eksternal ini tidak hanya berlaku di peribahasa “hemat pangkal kaya”, melainkan juga pada kalimat sebelumnya, yakni “rajin pangkal pandai”. Pada faktanya, tidak semua orang bisa rajin belajar.

Seperti persoalan finansial tadi, kesenjangan juga mempengaruhi. Ada orang yang memiliki kesempatan lebih (privilege) untuk mendapatkan akses lebih pada pendidikan. Ada juga yang justru tidak memiliki akses sama sekali.

Mungkin, inilah mengapa muncul solusi yang ditawarkan oleh sejumlah oknum di perguruan tinggi negeri (PTN). Bagaimana tidak? Pada Agustus 2022 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani.

Karomani ini, ceritanya, menjual jasa sebagai “orang dalam” untuk membantu mereka yang ingin masuk ke PTN-nya. Beliau dikabarkan memasang tarif masuk sekitar Rp150 juta hingga Rp300 juta.

OTT KPK ini pun akhirnya menarik perhatian Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim. Mantan CEO Gojek tersebut mengatakan akan mengevaluasi PTN yang diduga melakukan “cara kerja” serupa dalam penerimaan mahasiswa baru mereka.

Bukan tidak mungkin, janji Nadiem ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Terlepas dari benar atau tidaknya aksi Nadiem ini, mungkinkah ada manfaat atau kepentingan di balik manuver tersebut? Apa sebenarnya yang ingin ditampilkan oleh Nadiem kepada khalayak umum?

Nadiem vs “Orang Dalam”

Sikap Nadiem yang muncul usai masalah timbul ini bukanlah hal yang baru. Dalam persoalan-persoalan lain yang eksis di dunia pendidikan Indonesia, Nadiem selalu muncul di akhir dengan janji akan melakukan tindakan dan kebijakan yang bisa menjadi solusi dari persoalan tersebut.

Kala terjadi insiden terhadap siswa-siswa SMP Negeri 1 Turi di Sleman, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, pada tahun 2020 lalu, misalnya, Nadiem langsung mengirimkan tim investigasi untuk menelusuri duduk perkara. Ini menjadi salah satu catatan kelam dunia pendidikan Indonesia di mana keselamatan siswa-siswi justru menjadi hal yang gagal untuk diterapkan.

Tidak hanya persoalan keamanan, Mendikbudristek Nadiem juga menjadi pejabat yang vokal dalam menyoroti fenomena pelecehan seksual yang terjadi di banyak kampus Indonesia – sebuah persoalan yang kerap viral di medsos dalam beberapa tahun terakhir.

Nadiem – dengan mengutip data dari sebuah hasil survei pada tahun 2020 – mengatakan bahwa persoalan ini sudah menjadi “pandemi” di dunia perguruan tinggi Indonesia karena sebanyak 77 persen responden mengatakan pelecehan seksual pernah terjadi di lingkungan kampus mereka.

Ini mengapa akhirnya Nadiem mengeluarkan Peraturan Mendikbudristek (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pada tahun 2021. Namun, aturan ini sempat menuai polemik karena dianggap justru melegalkan perzinaan.

Menanggapi tudingan tersebut, Nadiem justru pasang badan dan menyatakan bahwa tudingan tersebut adalah fitnah belaka. Justru, sang Mendikbudristek menyatakan jelas bahwa aturan itu secara spesifik berfokus pada pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Tidak berhenti pada persoalan pelecehan seksual, Nadiem juga menyoroti persoalan perundungan (bullying) yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Dalam sebuah rapat bersama DPR RI pada April lalu, misalnya, Nadiem mengungkapkan persoalan ini di depan para anggota legislatif.

Sikap Nadiem sebagai pemberi solusi di akhir ini bukan tidak mungkin menjadi sebuah pola yang ingin ditampilkannya – baik di media maupun publik. Bukan tidak mungkin, pola kebijakan ini baru bisa muncul di dunia pendidikan karena kemauan politik (political will).

Mengacu pada tulisan Lucie Cerna berjudul The Nature of Policy Change and Implementation, perubahan kebijakan seperti bisa saja terjadi karena ada kemauan politik dan kehadiran perencana serta pelaksana kebijakan yang sejalan dengan sektor yang dibidangi.

Namun, mengapa Nadiem muncul sebagai sosok yang berjanji untuk menebus persoalan-persoalan yang disebutnya sebagai “dosa-dosa” pendidikan? Apa efek yang ingin dimunculkan oleh Nadiem dari pola sikap dan kebijakannya ini?

Mendikbud(ristek) yang Berbeda?

Pola kebijakan yang ditampilkan Nadiem ini bukan tidak mungkin menciptakan dikotomi baru – khususnya di antara sang Mendikbudristek dengan menteri-menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) sebelumnya. Pasalnya, sejumlah persoalan yang dijadikan fokus oleh Nadiem ialah persoalan yang sudah lama hadir di dunia pendidikan Indonesia.

Persoalan perundungan di lingkungan pelajar, misalnya, merupakan persoalan yang sudah hadir selama bertahun-tahun. Bahkan, ada kesan bahwa persoalan perundungan – baik secara verbal maupun non-verbal – adalah hal yang lumrah.

Kala terjadi kasus perundungan di antara pelajar SMP Negeri 273 Jakarta pada tahun 2017 silam, misalnya, Muhadjir Effendy yang saat itu masih menjabat sebagai Mendikbud justru meminta agar persoalan itu tidak dibesar-besarkan. 

Kasus perundungan juga pernah terjadi saat Anies Baswedan masih menjabat sebagai Mendikbud pada paruh pertama tahun 2016 silam. Saat terjadi kasus perundungan di SMA Negeri 3 Jakarta, Anies menawarkan sebuah solusi yang masih bersifat normatif, yakni melakukan pembinaan baik terhadap pelaku dan korban perundungan.

Berbeda dari Anies dan Muhadjir, Nadiem justru mengaggap perundungan sebagai dosa besar dan menyiapkan solusi yang bersifat preventif. Daripada hanya mendiamkan dan memberikan solusi bersifat normatif, Nadiem justru menyiapkan strategi guna memperkecil potensi terjadinya perundungan, yakni dengan menekankan pada peran pelajar yang punya pengaruh besar di lingkungan sebagai pelindung atas perundungan (guardian).

Kebijakan dan sikap yang kontras dari Nadiem ini terhadap mendikbud-mendikbud sebelumnya ini setidaknya menghadirkan dikotomi atas dirinya sendiri, yakni sebagai Mendikbud(ristek) yang berbeda. Ini pun akhirnya bisa dikaitkan dengan penjelasan Michael Hatherell dan Alistair Welsh dalam tulisan mereka yang berjudul Rebel with a Cause.

Dalam tulisan itu, Hatherell dan Welsh menggunakan konsep kepemimpinan karismatik (charismatic leadership) dari Max Weber untuk menjelaskan fenomena Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ahok sendiri kerap menjadi sosok pejabat yang menghadirkan perbedaan atas dirinya dengan pejabat dan politisi pada umumnya melalui sikap dan kebijakannya.

Kunci dari konsep kepemimpinan karismatik yang dicetuskan Weber adalah bagaimana seorang pemimpin mencari hal yang terus-menerus bersifat baru – sesuatu hal yang lebih dari bersifat biasa (mundane) dan sugestibilitas (suggestibility) emosional bahwa diri pemimpin tersebut eksepsional sebagai bentuk pengabdian diri (personal devotion).

Bukan tidak mungkin, Nadiem ingin menghadirkan sifat eksepsional di depan publik dan media. Ini pun bisa jadi juga berlaku dalam persoalan-persoalan baru di dunia perguruan tinggi, seperti pelecehan seksual dan fenomena “orang dalam” yang baru saja melibatkan Rektor Unila.

Lagipula, sesuai dengan peribahasa di awal tulisan, seharusnya orang-orang rajin dan pandai yang berhak untuk mendapatkan tempat di perguruan-perguruan tinggi yang diinginkan oleh mereka. Jangan sampai peribahasa itu diubah menjadi “uang pangkal kursi khusus”. (A43)


Exit mobile version