Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menolak usulan Perdana Menteri (PM) Malaysia Ismail Sabri Yakoob untuk menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi Association of South East Asian Nations (ASEAN). Nadiem justru merasa Bahasa Indonesia lebih pantas.
Terdapat satu hal unik yang bisa diperhatikan dari franchise film dan seri Star Wars yang dimulai dari film pertamanya yang berjudul Star Wars: Episode IV – A New Hope (1977). Entah disadari atau tidak, film-film yang mulanya menceritakan tentang perang yang terjadi antara Rebel Alliance dan Galactic Empire ini turut melambangkan masyarakat galaksi yang multikultural.
Bagaimana tidak? Di Tatooine sendiri saja, terdapat berbagai jenis makhluk dan bahasa yang digunakan – mulai dari Jawa, Tusken, hingga Hutt. Mereka pun memiliki bahasa masing-masing yang unik.
Tidak hanya Tatooine, keberagaman budaya dan bahasa ini juga berkembang di Planet Naboo. Selain manusia, Naboo juga ditinggali oleh kelompok makhluk yang dikenal sebagai Gungan.
Tentunya, dengan berbagai makhluk dan budaya yang berbeda ini, dunia Star Wars membutuhkan satu bahasa yang bisa digunakan untuk saling berkomunikasi, yakni Galactic Basic yang sebenarnya sama dengan Bahasa Inggris di dunia nyata. Di sinilah peran penting bahasa bersama ini, yakni sebagai lingua franca (bahasa perantara) yang menghubungkan seluruh tata bintang (star systems) dalam galaksi Star Wars.
Di dunia nyata, hal yang sama juga berlaku. Dengan banyak negara yang memiliki bahasa yang berbeda-beda, satu lingua franca tentu saja dibutuhkan – entah itu untuk organisasi internasional maupun organisasi kawasan.
Bagi organisasi kawasan seperti Association of South East Asian Nations (ASEAN) di Asia Tenggara, Bahasa Inggris dipilih menjadi lingua franca dalam bahasa kerja. Namun, seperti yang kita ketahui, Bahasa Inggris bukanlah bahasa yang secara asli lahir dan berkembang di kawasan ini.
Maka dari itu, sejumlah usulan pun muncul untuk menggunakan bahasa lain untuk menjadi bahasa resmi ASEAN selain Bahasa Inggris. Salah satunya datang dari Perdana Menteri (PM) Malaysia Ismail Sabri Yakoob yang mengusulkan agar Bahasa Melayu bisa digunakan sebagai bahasa kedua setelah Bahasa Inggris.
Namun, perdebatan pun muncul. Di jejaring media sosial (medsos), misalnya, banyak masyarakat Indonesia justru lebih mendukung agar Bahasa Indonesia agar bisa menjadi bahasa resmi ASEAN – mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak di Asia Tenggara.
Tidak hanya di medsos, usulan yang sama juga datang dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim. Menurut mantan CEO Gojek tersebut, Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan dan, bahkan, juga dipelajari di banyak institusi pendidikan seperti di Australia dan Amerika Serikat (AS).
Lantas, mungkinkah Bahasa Indonesia menjadi lingua franca baru bagi negara-negara ASEAN? Bagaimana sebenarnya perjalanan historis Bahasa Indonesia. Kemudian, terlepas dari mungkin atau tidaknya, mengapa menjadi krusial bagi Indonesia untuk menjadikan bahasanya sebagai bahasa resmi ASEAN?
Bahasa Indonesia vs Bahasa Melayu
Bahasa Indonesia sebenarnya belum benar-benar eksis hingga masa-masa persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Seperti yang telah diketahui, Indonesia merupakan negara yang di dalamnya memiliki berbagai suku bangsa – dan tentunya mereka memiliki bahasa mereka masing-masing.
Bahasa Melayu yang sejak dulu digunakan sebagai bahasa perdagangan di Asia Tenggara maritim akhirnya diadopsi oleh orang-orang Eropa yang menduduki kepulauan Nusantara – membuat Bahasa Melayu (khususnya varian Riau) tersebar lebih luas lagi.
Anton M. Moeliono dalam tulisannya berjudul The First Efforts to Promote and Develop Indonesian menjelaskan bahwa Bahasa Melayu akhirnya dijadikan bahasa resmi kedua setelah Bahasa Belanda pada tahun 1918 atas permintaan Mohammad Thamrin yang saat itu menjadi anggota Volksraad. Perluasan penggunaan Bahasa Melayu ini juga terbantu karena menjadi salah satu mata pelajaran wajib.
Karena menjadi bahasa yang digunakan dalam edukasi dan administrasi, Bahasa Melayu kemudian menjadi bahasa yang digunakan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa yang berbeda – meski masih kerap menggunakan Bahasa Belanda dan pemerintah Hindia Belanda juga selalu menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap Bahasa Melayu.
Kecintaan para pejuang kemerdekaan pada Bahasa Melayu ini menjadi masuk akal karena mereka menggunakan bahasa ini untuk mengekspresikan pesan-pesan perjuangan mereka. Secara tidak langsung, mengacu pada konsep circuit culture dari Stuart Hall, bahasa menjadi medium yang turut meregulasi budaya (culture).
Alhasil, dalam berbagai persiapan kemerdekaan Indonesia, Bahasa Melayu dijadikan calon bahasa nasional – dengan Bahasa Jawa sebagai pilihan alternatif. Soekarno dan Mohammad Yamin dalam sejumlah pidato mereka, misalnya, menekankan pentingnya Bahasa Melayu sebagai persatuan.
Bahasa Melayu – dengan nama baru Bahasa Indonesia berdasarkan dari dorongan tokoh Kongres Pemuda I yang bernama M. Tabrani – akhirnya disepakati menjadi bahasa nasional dalam rangkaian kegiatan Sumpah Pemuda 1928 dan Kongres Bahasa Indonesia 1938. Masyarakat Indonesia yang awalnya tidak terlalu mengenal bahasa ini akhirnya mengikuti regulasi budaya – misal melalui sistem pendidikan – yang diatur oleh para elite nasionalis tersebut.
Bila Bahasa Indonesia akhirnya berhasil menjadi lingua franca bagi negara Indonesia sendiri, lantas, bagaimana bila bahasa nasional kita ini menjadi bahasa resmi bagi ASEAN? Mengapa usulan Nadiem ini justru bisa menguntungkan Indonesia?
Andai Bahasa Indonesia Jadi Bahasa ASEAN
Apa yang diusulkan oleh Nadiem – seperti yang disebutkan di atas – bukan tanpa alasan. Pasalnya, berdasarkan data dari Statista, Bahasa Indonesia menempati urutan ke-11 dengan jumlah penggunanya sekitar 199 juta orang di seluruh dunia (tanpa pengguna Bahasa Melayu asli).
Sementara, Bahasa Melayu yang masih asli digunakan oleh sekitar 55,4 juta orang di Asia Tenggara – dengan sebaran di Indonesia (33,1 juta), Malaysia (18,9 juta), Thailand (2,51 juta), Singapura (677 ribu), dan Brunei (199 ribu). Tidak dapat dipungkiri bahwa Bahasa Melayu menjadi salah satu bahasa yang digunakan di banyak negara.
Namun, Bahasa Indonesia sendiri bisa digolongkan dalam Bahasa Melayu. Bial digabungkan, total pengguna Bahasa Melayu secara keseluruhan bisa menjcapai sekitar 260 juta orang.
Artinya, bila Bahasa Indonesia memang menjadi bahasa resmi ASEAN, bukan tidak mungkin mereka yang menggunakan Bahasa Melayu juga bisa memahami Bahasa Indonesia. Belum lagi, pengguna Bahasa Indonesia – baik sebagai bahasa pertama atau kedua – mengambil porsi lebih besar dari Bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia.
Andaikata Bahasa Indonesia bakal menjadi bahasa resmi ASEAN, bukan tidak mungkin ini bisa berdampak baik bagi Indonesia dalam politik internasional. Bahasa sendiri kerap dianggap menjadi medium penyaluran budaya – yang mana dalam studi hubungan internasional dapat menjadi sumber kekuatan lunak (soft power).
Bahasa Indonesia yang kini banyak dipelajari di Australia, misalnya, dinilai bisa meningkatkan ketertarikan orang-orang Australia terhadap budaya dan posisi politik Indonesia di panggung internasional. Bukan tidak mungkin, mengacu pada kajian David T. Hill yang berjudul Language as “Soft Power” in Bilateral Relations, besarnya perhatian orang-orang Australia ini berpengaruh pada kekuatan lunak Indonesia – membuat Australia menginginkan hal yang sama dengan Indonesia.
Dalam jangka panjangnya, bagi masyarakat Indonesia sendiri, ini bisa memunculkan dominansi bahasa (language dominance). Kathryn Accurso dalam tulisannya di Encyclopedia of Diversity and Social Justice menyebutkan bahwa dominansi bahasa ini merupakan proses sosial di mana bahasa-bahasa yang berbeda ditempatkan dalam tingkatan penting atau tidaknya bahasa itu – menciptakan status sosial dan politik dari bahasa itu sendiri, misalkan Bahasa Inggris.
Boleh jadi, dengan menjadi bahasa resmi bagi organisasi kawasan Asia Tenggara, Bahasa Indonesia bisa mencapai dominansi bahasa di ASEAN. Ini nantinya bukan tidak mungkin bakal memberi bahasa nasional kita status politik dan sosial yang lebih tinggi.
Namun, kemungkinan bahwa Bahasa Indonesia untuk dapat menjadi bahasa resmi ASEAN ini bukan tidak mungkin akan mendapatkan hambatan dan tantangan. Malaysia, misalnya, bukan tidak mungkin akan tetap mendorong Bahasa Melayu.
Di sisi lain, bukan rahasia lagi bahwa keberagaman (diversity) masyarakat ASEAN yang terlalu berbeda selalu menjadi hambatan bagi kekompakan masyarakat kawasna ini. Seperti yang kita ketahui, Bahasa Indonesia dalam standarnya merupakan bahasa yang menggunakan abjad latin. Sementara, bahasa-bahasa yang digunakan di sejumlah negara kontinental ASEAN seperti Thailand dan Myanmar masih menggunakan abjad yang masuk dalam keluarga Abugida – seperti Aksara Jawa, Sunda, dan Bali.
Mungkin, bila Bahasa Indonesia berhasil jadi bahasa resmi ASEAN, bukan tidak mungkin bahasa kita akan menjadi lingua franca layaknya Galactic Basic di galaksi Star Wars. Namun, layaknya di dunia Star Wars, bukan tidak mungkin juga, akan ada orang-orang yang seperti Tasu Leech yang menolak untuk menggunakan lingua franca tersebut bila tidak dapat benar-benar diserap di kawasan Asia Tenggara. (A43)