Isu Kemendikbud yang akan menghapus mata pelajaran (mapel) sejarah tengah mendapat sorotan panas publik. Menariknya, wacana tersebut adalah rapat internal Kemendikbud yang bocor ke masyarakat. Lantas, benarkah terdapat agenda untuk menjatuhkan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud melalui isu tersebut?
Sedari awal, penunjukan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) memang menjadi tanda tanya tersendiri. Ini tidak hanya melawan tradisi, di mana pos ini kerap diisi oleh mereka yang terafiliasi dengan Muhammadiyah, melainkan juga karena mantan bos Gojek tersebut dirasa lebih cocok untuk menangani industri kreatif.
Dari berbagai analisis yang ada, mewujudkan link and match atau penyesuain kurikulum dan sistem pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja menjadi jawaban yang tampaknya paling mendekati. Link and match sendiri adalah pekerjaan rumah (PR) lama yang tidak kunjung berhasil dilakukan.
Letak masalahnya ada pada kecepatan perubahan kebutuhan kerja dengan jurusan yang tersedia. Misalnya, pada tahun 2020 jurusan X dinilai dibutuhkan, akan tetapi, di tahun 2025 ketika jurusan X telah lulus, jurusan Y justru yang tengah dibutuhkan dunia kerja.
Untuk mengatasi masalah tersebut, penguasaan data melalui Big Data dirasa sebagai jawaban. Big Data yang digunakan untuk mengolah data yang sangat banyak dan cepat memang telah lama dipergunakan untuk merumuskan kebijakan ataupun rencana yang membutuhkan kecepatan dan skala data yang begitu besar.
Nah, karena Nadiem adalah seorang pebisnis start-up yang kesehariannya menggunakan Big Data, kesuksesannya di Gojek diharapkan dapat dilanjutkan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mewujudkan link and match.
Selaku sosok muda, memang terlihat Nadiem membawa ide-ide segar, seperti Kampus Merdeka, hingga berani menghapus Ujian Nasional (UN). Akan tetapi, gebrakan ide-ide Mas Menteri tampaknya tidak mendapat sambutan hangat, melainkan dihujani kritik dan dorongan reshuffle.
Terbaru, Nadiem kembali digoyang karena terdapat isu Kemendikbud akan menghapus mata pelajaran (mapel) sejarah sebagai mapel wajib di kurikulum nasional. Sontak saja, serangan keras diterima Mas Menteri karena dinilai tidak paham betapa pentingnya memahami sejarah.
Menariknya, dalam klarifikasinya, Nadiem mengaku heran mengapa isu tersebut begitu cepat menyebar di tengah masyarakat. Tegasnya, isu itu adalah diskusi internal tentang salah satu ide penyederhanaan kurikulum yang entah bagaimana bocor ke masyarakat.
Nadiem pun menegaskan bahwa tidak ada perubahan kurikulum di tahun 2021. Pun begitu dengan menegaskan bahwa tidak terdapat rencana penghapusan mapel sejarah karena Ia sangat paham betapa pentingnya mapel tersebut dalam pendidikan.
Sekarang pertanyaannya, mengapa isu ini bisa secepat itu menyebar? Lalu apa konsekuensi terburuknya bagi Nadiem?
Pentingnya Sejarah
Seperti yang diungkapkan Nadiem, kendati mapel sejarah tidak memiliki kemampuan praktikal, mapel ini sangat krusial karena membentuk pemahaman mengenai siapa diri kita, dan dari mana kita berasal.
Christopher Berg dalam tulisannya Why Study History? An Examination of Undergraduate Students’ Notions and Perceptions about History menjelaskan bahwa sebelumnya sejarah pernah dihargai begitu tinggi dalam pendidikan, tetapi seiring waktu, mapel ini perlahan-lahan jatuh ke tepi kurikulum. Selain itu, ini juga didorong dengan mulai pudarnya minat peserta didik terhadap pejaran tersebut.
Menurut Berg, alasan penting mengapa sejarah dipelajari adalah karena sejarah tidak hanya sekadar menghafal apa yang terjadi di masa lalu, melainkan juga memungkinkan pesera didik untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan berpikir kritis, mengembangkan identitas dan kewarganegaraan, serta menjadi pelajaran yang berharga untuk memahami kondisi saat ini, bahkan juga menebak masa depan.
Konteks yang disebutkan oleh Berg ini jamak kita temui dalam berbagai buku atau litelatur, di mana analisisnya disandarkan pada temuan sejarah. Buku terkenal Daron Acemoglu dan James A. Robinson yang berjudulnya Why Nations Fail: The Origin of Power, Prosperity, and Poverty misalnya.
Keduanya banyak menyingkap tabir sejarah yang dijadikan pelajaran terkait kegagalan suatu pemerintahan dalam menciptakan kemakmuran bagi masyarakatnya. Bertolak dari kategorisasi tersebut, diharapkan menjadi pelajaran agar pemerintahan saat ini dan ke depannya tidak mengulangi kegagalan tersebut.
Tidak hanya menjadi pelajaran, seperti kata Berg, sejarah juga dapat membantu kita dalam membuat analisis masa depan. Ini misalnya terlihat jelas dalam buku Samuel P. Huntington yang berjudul The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century.
Dengan mempelajari sejarah kemunduran demokratisasi pada tahun 1922 – 1942 dan 1958 – 1975, Huntington memberikan prediksi bahwa di masa depan, gelombang balik demokrasi ketiga dapat saja terjadi. Dan terbukti, seperti yang dicatat oleh Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, sejak pertengahan tahun 2000-an, tren demokratisasi telah berbalik dan negara demokrasi jumlahnya telah menurun.
Bangkitkan Isu PKI?
Menariknya, tidak hanya berguna sebagai pembelajaran, sejarah juga dapat digunakan untuk membentuk propaganda dan citra. Kasus ini misalnya terjadi pada pelajaran sejarah di Jepang. Dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah, sejarah penjajahan Jepang justru tidak diajarkan.
Misalnya pada edisi buku sejarah yang digunakan di lebih dari 50 sekolah menengah pertama di seluruh Jepang, justru tidak menyebutkan lebih dari 300.000 kematian dalam Pembantaian Nanjing pada tahun 1937. Pun begitu dengan tidak mengakui tuduhan bahwa sebanyak 400.000 perempuan dipaksa sebagai budak seks militer Jepang selama Perang Dunia II.
Yang lebih menarik adalah, dalam pengakuan Ilham Maulana yang pernah mengeyam pendidikan sekolah menengah atas di Jepang, ternyata tidak diajarkan bahwa negeri Sakura tersebut pernah menjajah Indonesia.
Oleh karenanya, dengan beredarnya isu tersebut, mudah saja bagi pihak tertentu untuk menyebutkan bahwa pemerintah melalui Kemendikbud tengah berusaha untuk membiaskan sejarah seperti halnya Jepang. Terlebih lagi, Nadiem justru menggunakan kalimat, “relevan untuk generasi kita, agar bisa menginspirasi mereka” dalam klarifikasi terhadap beredarnya isu tersebut.
Tentu yang menjadi pertanyaan adalah, seperti apa yang relevan itu? Apakah seperti kasus Jepang, di mana sejarah dibuat sedemikian rupa agar membentuk kesan heroisme dan kebanggaan bagi generasi mudanya?
Pada konteks positif, boleh jadi pula Kemendikbud tengah berusaha untuk merevisi sejarah karena dinilai berbagai pihak telah dibelokkan oleh rezim Soeharto. Akan tetapi, ini tentunya sukar untuk diklarifikasi. Perdebatan atas hal ini juga masih terjadi karena pemaknaan atas sejarah sendiri bergantung atas sudut pandang yang digunakan.
Pada konteks negatif, isu tersebut dapat menjadi hantaman luar biasa bagi Nadiem, yang besar kemungkinan membuat dirinya dicopot. Pasalnya, dengan dalih membiaskan sejarah, mudah saja bagi pihak tertentu untuk menyebutkan Nadiem tengah berusaha mengubah sejarah tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) agar tidak lagi mendapat kesan negatif di generasi muda.
Seperti yang kita ketahui, permainan isu PKI ini adalah barang lama yang telah digunakan sejak rezim Soeharto untuk menjatuhkan lawan politik. Saat ini, isu tersebut juga berulang kali dimainkan untuk mendiskreditkan kalangan tertentu. Presiden Jokowi bahkan kerap kali diserang dengan isu PKI karena kedekatannya dengan Tiongkok dalam hal investasi.
Jika nantinya isu tersebut benar dimainkan untuk menjatuhkan Nadiem, besar kemungkinan gelombang demonstrasi akan terjadi. Apalagi, kebijakan Nadiem seperti menghapus UN dinilai merugikan pihak-pihak tertentu yang selama ini mendapatkan keuntungan dari program tersebut.
Akan tetapi, tentunya persoalan tersebut hanyalah spekulasi semata. Nadiem sendiri telah melakukan langkah tepat dengan cepat membuat klarifikasi atas isu negatif tersebut. Kita nantikan saja bagaimana kelanjutan karier Nadiem sebagai menteri ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)